Semua orang punya caranya tersendiri dalam mengekspresikan dan menyembuhkan luka.
Dan disinilah Eunwoo, berakhir didepan meja belajarnya seperti biasa. Buku-buku tebal dan lampu belajar dengan cahaya kuning siap menemaninya.
Menyibukkan diri untuk berusaha menyembuhkan lukanya. Meyakinkan dirinya bahwa suasana akan baik-baik saja. Hidupnya masih akan terus berjalan, dia tidak bisa hancur terus-terusan.
Kepergian Anna merupakan pukulan yang cukup keras baginya. Anna, sosok yang menjadi cinta pertamanya—hingga saat ini, Anna yang selalu menjadi adik kecilnya.
Sudah sebulan semenjak kepergian Anna. Dan dalam satu minggu, Eunwoo bisa mengunjungi makam Anna sebanyak 3-4 kali seminggu.
Makam Anna selalu cantik. Makam itu selalu dipenuhi taburan bunga dan kembang. Makamnya kini pun dirapihkan, tanahnya dibentuk kotak dan dibuat batu nisan dari keramik hitam glossy, rumput hijau melandasi tanah makam yang dibentuk kotak itu.
Ah, lagi-lagi. Sekeras apapun Eunwoo mencari aktivitas lain untuk melupakan Anna, rasanya memori tentang gadis yang belasan tahun menjadi tetangganya itu akan tetap hadir dalam pikirannya.
Pikiran Eunwoo masih berkecamuk sampai suara ketukan pintu menyapa telinganya. Eunwoo menoleh, "Ya, Ma. Masuk aja, gak Eunwoo kunci."
Dan wanita itu, Irma—Ibunya— kini masuk kedalam kamarnya dengan sebuah nampan ditangannya. Nampan itu berisikan camilan dan susu, hanya merupakan tanda penyemangat supaya anaknya bisa beraktivitas dengan semangat.
Eunwoo bangkit, mengambil alih nampan itu dari tangan Irma, berniat membantu wanita paruh baya tersebut. Ia meletakkan nampan itu di mejanya.
Irma tersenyum tipis. Ia tidak keluar dari kamar tersebut, melainkan duduk di pinggiran tempat tidur Eunwoo. Matanya menjelajah ke ruangan ini. Ruangan yang menjadi saksi tumbuh kembang kehidupan anaknya.
Menjadi saksi dimana anaknya harus belajar supaya mendapat beasiswa, menjadi saksi dimana anaknya harus belajar sambil berusaha berkonsentrasi saat dirinya dan mantan suaminya berseteru dan berdebat hebat, menjadi saksi bahwa anaknya harus belajar demi menjadi tutor untuk membantu dirinya, dan menjadi saksi dimana anaknya terluka dan patah hati.
"Eunwoo sini sayang.." panggil Irma. Eunwoo menatap wanita itu penuh tanya, namun ia tetap berjalan menghampiri ibundanya. Ia duduk di sisi kanan sang ibunda.
"Kenapa, Ma?" pertanyaan itu meluncur dari bibirnya.
"Kamar kamu berubah banyak ya." mendengar perkataan Mamanya, Eunwoo menaikkan satu alisnya. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya tentang apa yang akan disampaikan Irma kepadanya, namun ia masih diam menunggu Irma melanjutkan perkataannya.
"Dulu, kamar kamu ini catnya biru muda. Sekarang catnya perpaduan hitam dan abu-abu."
"Dulu, saat kamu masih balita, kamar kamu dipenuhi puzzle dan robot-robotan, sekarang, semuanya penuh sama buku pelajaran." Irma menarik nafas, senyum senja itu tak kunjung pudar dari wajahnya. Benaknya mengulas memori kecil yang terpatri dalam pikirnya, dan matanya memandang teduh, memandangi detail-detail perubahan yang terjadi pada kamar anaknya.
"Kamu tau, Eunwoo? Kamar kamu berubah banyak, tapi kita gak pernah sadar. Karena hal ini berjalan layaknya arus air sungai."
"Kenapa Mama bilang seperti air sungai? Karena perubahan-perubahan ini dimulai dari perubahan kecil. Hingga perubahan terbesar. Semuanya berjalan perlahan-lahan, waktu dan semesta yang mengaturnya untuk berjalan dengan semestinya. Layaknya air sungai, kita semua tau kita tidak dapat menghentikan air sungai yang tengah mengalir tersebut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Istiqlɑl-Kɑtedrɑl. [✓]
Fiksi PenggemarKata orang-orang, fase mencintai seseorang yang paling dalam adalah merelakan untuk melepaskan. Teruntuk seseorang yang kucintai begitu dalam, kepada seseorang yang menyebut nama Tuhan yang berbeda, kalau mencintaimu butuh tanda koma, maka aku akan...