Bab 1 bagian 2 Realita

52 13 11
                                    

"Ini hanya perasaanku atau memang realitanya. Bahagiaku hanya sebatas khayalanku."

Alma

"Zuha ...," panggil Shareen saat aku melintas didepan rumahnya.

"Nanti pergi ke cafe yok," kata Shareen lagi saat aku menoleh. Aku menganggukkan kepala tanda setuju.
Sesuai janji, malam ini aku dan Shareen sepupuku akan pergi ke cafe. Biasanya disana kita akan makan, mengobrol dan menceritakan cerita keseharian masing-masing.

"Zuha, aku mau cerita," kata Shareen saat didalam cafe.

"Cerita saja biasanya juga gitu," sahutku sambil menikmati makanan yang ku pesan.

"Aku sebel tahu sama temanku. Dia itu pesan barang tapi ya gitu tidak dibayar-bayar, banyak lagi."

"Bilang saja kalau memang tidak dibayar ya ditawarin ke yang lain karena uangnya diputar untuk modal. Sebenarnya yang kamu mau ceritakan bukan tentang itu kan?"

"Tau saja kamu," sahut Shareen dengan senyuman khasnya.

Terdengar suara motif pesan masuk. Membuyarkan semua lamunanku. Mengkhayal memang indah walaupun terkadang kenyataan lebih pahit.

Shareen
Zuha adikmu ada?
09.00

Tidak ada kenapa memang?
09.01

Shareen
Tidak apa-apa
09.02

Aku menghembuskan nafas kasar. Lagi lagi yang dicari adikku. Aku tahu Shareen mau mengajak adikku pergi. Ya selalu adikku yang diajak pergi. Apa ada yang salah denganku? Aku mengira memiliki usia yang terpaut beberapa hari membuat kita bisa dekat. Realita memang tak sesuai dengan imajinasi. Beberapa hari yang lalu ....

"Zuha, adikmu ada?" tanya Shareen saat masuk ke rumahku.

"Iya ada di kamar," Shareen langsung menuju ke kamar adikku.

"Zena, yok ikut aku pergi," Akhirnya adikku bersiap-siap dan pergi dengan Shareen. Aku pun sendiri lagi di rumah.


Memiliki saudara perempuan bagi orang lain adalah hal menyenangkan. Bisa saling mengerti satu sama lain. Bisa saling bercerita dan menjalani beberapa aktivitas bersama.

Namun kenyataannya aku dan saudaraku tak pernah cocok. Kita selalu terlibat adu mulut. Kita akur hanya saat tertentu saja selebihnya hanya bertengkar. Adik kandung dekat dengan kakak, seperti itulah pemikiran orang-orang. Namun realitanya adikku malah lebih dekat dengan saudara sepupuku anak dari kakak ibukku.

Aku dan sepupuku juga tak cocok padahal usia kita hanya terpaut beberapa hari. Namanya Shareen Tian Aiyra kita lahir hanya berjarak sepuluh hari hari. Aku tak mengerti, mengapa semua enggan untuk dekat denganku. Aku juga suka di rumah. Bukan karena suka karena memang terbiasa. Bagaimana tidak, tidak ada yang mau mengajakku pergi. Aku juga tak tahu alasannya. Masih ku ingat jelas bagaimana kejadian-kejadian dulu yang masih sering terjadi sampai sekarang.

"Nanti pulang sekolah pergi yuk," kata Falisha.

"Boleh kita foto-foto ke tempat yang kemarin bagus kok," sahut Fayra.

"Iya makanannya juga enak," kata Ghiza.

"Maaf ya Zuha soal kemarin. Kami pergi sendiri tak bilang." Aku hanya diam dan mengangguk karena kemarin memang aku tidak diajak sama mereka. Padahal aku sudah bilang mau ikut juga. Saat pulang sekolah aku mencari mereka sudah tak ada jadi aku memutuskan untuk pulang.

Saat di kelas aku, Falisha, Fayra, Ghiza, Rania, Akila dan Arisha terlihat berkumpul bersama mengobrol membicarakan berbagai hal kecuali hal pribadi. Namun saat istirahat mereka sudah menghilang sendiri entah ke mana tanpa mengajakku. Aku yang merasa tak diajak pun diam saja. Aku merasa kumpulnya kita hanya formalitas. Kita teman tapi hanya saat tertentu. Benarkah memiliki teman itu seperti ini?

***

Pandangku tiba-tiba gelap semua. Kepalaku terasa pusing. Sekitarku terasa bergoyang.

"Ya Robb ... Mengapa ini terjadi lagi." kataku sambil memegang kepalaku. Aku ingin berhenti tapi takut jika ada kendaraan yang lewat. Pandanganku berubah menjadi gelap saat aku sedang menyeberang. Bagaimana mungkin aku berhenti. Terkadang hal ini sering terjadi padaku. Tak bisa diprediksi kapan datangnya dan tak tahu berapa lama. Dengan terpaksa ku lanjutkan langkah kakiku untuk menyeberang jalan, lagi pula aku tinggal berjalan lurus dan sampai diseberang jalan dengan selamat.

"Bugg...," Terdengar suara sesuatu yang sedang menghantam suatu hal dengan keras. Aku tak mengetahuinya sebab pandangan sedang gelap. Tiba-tiba pandangan gelap yang ku lihat berangsur menghilang dan ku tak sadarkan diri.

"Bagaimana dok keadaannya?" Terdengar suara laki-laki yang bertanya dengan cemas.

"Mengapa aku begitu familiar dengan suaranya ya?" batinku dalam hati sambil perlahan membuka mataku.

"Dia baik-baik saja kok hanya saja luka-luka kecil," Kini aku dapat melihat dengan jelas. Dia sedang berbicara dengan dokter. Dia berjalan menuju ranjangku. Aku kini sadar jika aku berada di rumah sakit, dan suara hantaman keras yang ku dengar tadi bearti aku yang tertabrak mobil.

"Cerebohnya aku," gerutuku dalam hati.

"Makasih ya sudah menyelamatkanku tadi. Kamu tak apa-apa kan? Kenapa sih kamu mau menyelamatkan aku?" tanyanya.

"Fahmi ...," kataku lirih.

"Apa ada yang masih sakit? Aku panggilkan dokter ya?"

"Makasih ya sudah menolongku," sahutku.

"Kamu itu lucu ya. Kamu yang menolong tapi yang berterima kasih,"

"Maaf mas. Diminta ke bagian administrasi untuk membayar biayanya," kata suster yang memasuki ruangan ku dirawat.

"Aku tinggal dulu ya," kata Fahmi padaku lalu menghilang dibalik pintu.

"Mbaknya sweet ya. Tahu pacarnya jatuh dari motor dan ada mobil dengan kecepatan tinggi ke arahnya. Tak memperdulikan nyawa mbaknya menghadang mobilnya. Saya dengar ceritanya miris loh apalagi lihat secara langsung," kata suster yang mengantarkan makanan untukku.

"Maksud suster?"

"Haduh mbaknya lupa ya? Mungkin tadi gara-gara jatuh."

"Memang bagaiamana kejadian kecelakaannya tadi sus?"

"Temen mbaknya tarikan pulang dari kerja buru-buru mau pergi. Nah ternyata karena ngebut jadi jatuh deh ketiban motor. Dari arah berlawanan ada mobil yang melaju dengan kencang. Tiba-tiba Mbaknya berjalan ke tengah dan mobil itu mengerem mendadak. Mbaknya pingsan dan dibawa ke sini,"

"Suster tolong sampaikan terima kasih pada teman saya tadi ya. Bilang nanti uangnya saya ganti. Untuk masalah kecelakaan tadi, dia salah paham mbak," Aku turun dari ranjang dan berjalan keluar dengan tertatih-tatih. Masih ku dengar dengan jelas suster yang memanggilku agar mau kembali.

Aku berdiri di pinggir jalan depan rumah sakit sambil menunggu menginstal apk grab. Aku menyesal tak menginstal dari dulu. Giliran aku butuh proses instalnya lama banget.

"Siapa yang bilang kamu boleh pulang?" kata Fahmi yang langsung mengambil paksa hpku.

"Pesanku sudah disampaikan sama suster kan?"

"Suster sudah menyampaikannya kok," sahut Fahmi.

"Ya sudah mana hpku?"

"Ayo ku antar pulang,"

"Kamu salah paham Fahmi. Semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Lagi pula aku bisa pulang sendiri,"

"Lihatlah keadaanmu sendiri. Bagaimana kamu bisa pulang dengan keadaan seperti ini?"

Budayakan membaca, dan vote😃

Lucid DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang