Bab 3 Apa arti teman

8 2 0
                                    

"Bagaimanakah arti pertemanan sesungguhnya?"

Zuha

Aku memasuki kelas dengan perasaan yang tak enak. Mendengar perkataan mereka begitu menyayat hati. Mengapa setelah beberapa tahun bertemu lagi dengan mereka malah perkataan pedas yang ku dengar. Aku tahu perkataannya benar, tapi semua ada alasannya. Bagaimana aku menetap jika tak nyaman dan di anggap. Aku akui lebih baik berkata tak suka dan berterus terang daripada bersikap seolah-olah baik-baik saja namun dia membenciku.

Aku memasuki kelasku. Beberapa mahasiswa sudah hadir dan sedang menunggu sholat. Kebetulan aku sedang udzur jadi tidak sholat. Aku memilih bangku nomer empat dari depan, tepat di samping tembok persis. Aku ingin menenangkan diri. Semuanya terlalu rumit bagiku. Aku membuka tasku, mengambil novel membiarkan diriku tenggelam dalam cerita novel dan mengabaikan sekitar. Aku juga mematikkan handphoneku tak ingin diganggu. Ini adalah hal yang slalu aku lakukan jika sedang badmood atau sedih, hal ini sangat manjur sekali. Setidaknya aku akan menunggu dosen sambil membaca buku.

"Assalamu'alaikum," Dua belas menit kemudian seorang lelaki paruh baya memasuki kelas. Aku menutup novel yang ku baca, berusaha konsentrasi pada materi yang di sampaikan. Namun aku tidak bisa fokus. Kembali ku buka novel, tapi tak bisa fokus. Akhirnya aku membuka hpku yang ku matikan. Aku membuka wa ada beberapa pesan masuk dari grup. Mataku membelak tak percaya, ada lima panggilan tak terjawab dari Fahmi.

"Dia mikir apa tidak sih. Sudah tahu aku sedang kuliah malah ditelpon," batinku dalam hati.

Tiba-tiba layar berubah. Terlihat satu vc masuk. Fahmi calling.
Aku membiarkan panggilannya. Aku memang tak ingin di ganggu, apalagi ini waktu mata kuliah sedang berlangsung. Ku buka game di hpku dan memainkannya.

"Zuha, kita di minta bikin kelompok untuk tugas lapangan. Satu kelompok 3 orang," kata Teressa.

"Iya aku denger juga kok. Nanti aku pinjam catatanmu," Aku masih setia memainkan game di hpku.

"Nanti satu kelompok sama aku ya? Kamu lagi bedmood? Kenapa?"

"Seperti biasa. Ya begitu deh. Nanti aku ceritakan," kataku pelan-pelan pada Teressa agar tak terdengar dosen.

"Zuha, satu kelompok denganku ya?" kata Sandra yang menoleh ke belakang karena posisiku ada di belakang deretan duduknya.

"Boleh, nanti sama Teressa juga. Jadi tinggal cari sisanya," sahutku dengan mata yang masih fokus pada game.

"Loh kok sama Teresya. Sama Fitri dan Aliya juga kok. Kelompokkan sama kita saja ya," Aku bingung deh sama dia, dia kan yang minta satu kelompok tidak bilang sama Fitri dan Aliya. Lagi pula Teressa juga bilang duluan. Kok bisa-bisanya minta aku jadi kelompok mereka. Nanti Teressa gimana.

"Kelompoknya kan tiga orang. Pas dong kalau Aku, Kamu dan Teressa."

"Jumlah kita kan empat puluh. Jadinya ada yang empat, sama kita saja ya?" Coba pikirkan bagaimana perasaan Teressa mengetahui Sandra bicara seperti itu di depannya. Bagaimana rasanya?

"Teressa kan udah bilang duluan jadi ya aku, kamu dan Teressa nah misal mau empat kelompok ya salah satu mengalah, Fitri atau Aliya. Aku tidak pernah memandang sebelah mata siapapun bisa jadi kelompokku. Yang bilang duluan ya dia yang ikut kelompokku, jadi adil." Aku menjelaskan panjang lebar padanya. Aku sudah kesal ditambah sikapnya yang egois. Apa dia tidak memikirkan jika yang dialami Teressa dialami oleh dia.

"Ya sudah deh. Aku cari yang lain saja," Sandra kemudian berbalik dengan raut wajah yang tidak enak.

"Zuha, kamu kelompokkan sama Sanda, Fitri dan Aliya tidak apa-apa kok," kata Teresha lirih.

"Ya tidak bisa begitu dong. Kan kamu yang bilang duluan. Aku tidak mandang dia dekat atau tidak kok sama aku. Aku hanya mengiyakan yang bilang duluan," Aku kesal karena Teresha selalu begitu.

"Tapi Zuha, Sandra jadi sinis sama aku. Tatapannya  beda," sahut Teressa dengan raut wajah yang gelisah.

"Sudah lah tidak usah di pikirkan. Kalau dia di posisimu juga akan merasakan yang sama seperti yang kamu rasakan. Sampai kapan kamu akan terus tidak di hargai dan diremahkan?" Kebetulan guru sudah keluar, aku memarahi Teressa tidak peduli yang lsin mendengar dan tersinggung. Tugas kelompok ikut mengerjakan tapi tidak diikutkan, diskusi kelompok usul dibiarkan padahal usulmu yang benar, dan masih banyak lagi.

Aku heran diam dia saja di perlakukan seperti itu. Dia hanya mampu dia. Aku akui penampilannya biasa, tapi bukan bearti harus diremehkan bukan. Bukankah jika kita mau dihargai kits harus menghargai orang lain. Lalu jika tak bisa menghargai orang lain, mengapa kesal saat tak dihargai. Jadi segala yang kita lakukan akan berbalik pada kita sendiri.

                            ***
Kebetulan hari ini aku hanya satu mata kuliah. Setelah selesai aku keluar hendak memesan grab.

"Zuha," Aku menoleh, ternyata Ade yang menyapaku. Dia menghentikan motor tepat di dekatku.

"Kamu ada apa di sini?" tanyanya lagi.

"Aku kan kuliah di sini," Ade tersenyum padaku. "Aku tahu itu. Maksudku kenapa berdiri di pinggir jalan,"

"Aku lagi mau pesan grab."

"Tidak bawa motor?"

"Kamu meledekku ya? Lihatlah kondisiku." Ade memandang ke arah kakiku. "Maaf, itu kenapa? Mau ku antar pulang?" Aku tak salah mendengar dia mau mengantarkanku pulang. Kita baru bertemu kembali setelah sekian lama, rasanya masih canggung berbincang dengannya. Haduh ... Ada apa denganku.

"Mau atau tidak?" tanya lagi.

"Nanti merepotkan kamu kan harus kerja juga," Aku berharap dia ada acara jadi tidak jadi. Aku tak bisa membayangkan satu motor dengan orang yang selalu muncul di mimpiku. Apa aku harus menceritakan mimpi-mimpiku padanya ya. Tapi aku takut, apalagi kita baru bertemu kembali setelah sekian lama. Aku tak mencintainya lagi namun mengapa aku gelisah di dekatnya.

"Aku dapat sift malam. Gimana? Sekalian kita makan dan ngobrol sebentar. Sudah lama kita tak ngobrol bareng setelah kejadian dulu kita sangat canggung jika ngobrol,"

"Boleh kalau tidak merepotkan. Lagian itu kan dulu. Sekarang kan beda. Remaja umur enam belas tahun dan dua puluh tahun pemikiranya beda juga kok." Aku rasa Fahmi sekarang juga bukan Fahmi yang dulu. Aku akhirnya di antarkan pulang oleh Fahmi. Sebelum sampai di rumah kita mampir ke cafe untuk makan dan berbincang. Awalnya aku cangguh tapi ku rasa itu hanya sugestiku saja.

"Jangan diam saja. Masak diam-diaman tidak enak deh," kata Ade saat kita menunggu pesanan.

"Maaf ya. Rasanya cangguh karena kita udah lama tidak ngobrol,"

"Iya juga sih. Kamu masih sama seperti dulu. Orangnya malu-malu,"

Budayakan membaca, vote Terima kasih. 😃

Lucid DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang