"Apa yang harus ku ceritakan tentang indahnya sebuah pertemanan? Bahkan aku lupa kapan terakhir tersenyum bersama seorang teman."
Zuha
Setelah kejadian kemarin, Fahmi tak menampakkan diri pagi ini. Setidaknya aku bisa bernafas lega karena tak bertemu dia pagi ini."Alma ... Ayo makan. Makanannya sudah siap," kata Ibukku dari dapur. Tumben aku tak dibangunkan untuk membantu didapur. Biasanya setiap pagi aku dibangunkan untuk membantu memasak di dapur. Walaupun tidak jago masak, tapi kalau cuma menggoreng ikan, bikin sayur kuah, atau tumis masih bisa. Hari ini aku bangun, masakannya sudah siap semuanya. Aku diam tak menyahuti ucapannya langsung pergi mandi. Aku lebih memilih diam kalau marah, ku sampaikan juga tak pernah didengarkan.
Aku makan juga dalam keadaan hening. Baru saat mau pergi ke kampus aku mau mengucapkan salam. Semarah apapun aku, kalau pergi tetap berpamitan dan mengucapkan salam.
Sampai di kampus, banyak hal yang ingin ku lakukan bersama teman-teman. Ahh ... aku sendiri tak yakin apa pertemanan yang ku impikan memiliki realita yang sama. Apakah arti teman yang ku yakini sepadan dengan teman-teman yang ku punya. Mengkhayal itu sangat indah. Mengkhayal dulu tak apa karena ku tahu realitanya yang selalu berbanding terbalik dan mengecewakan. Setidaknya aku pernah merasakannya dalam khayalan jadi kecewaku tak sia-sia.
Aku lebih memilih berada di dunia nyamanku. Bermain game, membaca novel jika kelas kosong. Kadang kali juga ngobrol sama teman, tapi ya hanya orang-orang tertentu. Satu keberuntunganku di kelas ini karena mata kuliahnya hampir serupa seperti dulu saat SMK, hanya pembahasannya lebih terperinci. Ku katakan beruntung karena aku lebih mudah memahami mata kuliah yang diajarkan. Awal semester banyak teman-temanku yang selalu minta diajarkan. Bagiku jika ada yang minta tolong diajarkan agar paham, aku sangat senang. Namun realitanya? Aku berubah menjadi kejam banget haha ... Terpaksa ku lakukan. Bagaimana tidak, jika ada tugas rumah mereka tak minta diajari caranya. Giliran ujian semesteran, jangan ditanya. Satu pesan yang rutin saat ujian semesteran.
"Zuha, fotokan dong jawabanmu,"
Bukan hanya satu pesan, tapi kebanyakan dari pesan yang masuk."Aku tak tahu jawabannya," Begitu balasan yang ku kirim serempak waktu itu. Ya ... Bukannya sombong, tapi mereka tak mau mempercayai kemampuan mereka sendiri ya jadinya seperti kisahku. Setelah mendapat jawaban seperti itu dariku, bukannya hpku sepi kayak kuburan. Namun malah di teror setiap hari dengan pertanyaan yang sama. Bahkan karena geram ku jawab dengan balasan.
"Aku bukan dosen yang bisa jawab semua pertanyaan. Aku juga mahasiswa biasa yang memiliki batas kemampuan yang tak semua bisa." Bukannya aku tak mau menjawab, tapi kalau aku tak bisa harus bagaimana? Tak bisa kok dipaksa jawab, jawab apa dong. Saking lucunya teman-temanku seperti itu. Orang tak paham mau diteror setiap hari juga pasti tak akan ada jawaban. Rasanya aku ingin bilang ke dosen agar diperlihatkan jawabanku agar mereka percaya dan puas. Apa mereka tak mempercayaiku jika jujur? Apalagi saat itu aku sedang puasa. Buat apa bohong, pahala puasa ilang nantinya.
Sebegitu kekehnya perjuangan mereka jika butuh. Bahkan tiap hari selalu ditanyai tugas. Aku juga manusia biasa yang butuh refresing dong, masak tiap hari tanya tugas terus. Lalu dimana mereka jika aku sedang butuh? Tak ada pesan dari mereka atau niat membantu mengerjakan.
"Zuha, kamu kesulitan apa tidak? Kalau kesulitan aku bantu." Satu pesan yang selalu ku harapkan muncul tapi tak apa-apa. Aku hanya ingin membantu sebisaku, tak ingin mereka tergantung padaku. Aku ingin mereka juga bisa mengatasi kesulitan dalam mengerjakan. Namun sepertinya niatku disalahartikan karena mereka menjauh saat aku butuh seperti waktu itu.
Hasil Test bahasa Arab sudah keluar," kata ketua kelas.
"Siapa yang tidak lolos?" tanya temanku yang lain.
"Yang tak lolos Alma Namiira Zuha," sahut ketua kelas.
Aku yang masih sibuk dengan novelku tercengang dengan apa yang ku dengar. Dada ini terasa sesak. Bayangan sekilas saat tes berlangsung kembali terngiang-ngiang di ingatanku.
"Vin, nomer 5 dong,"
"Nanti saja ya. Aku sendiri belum selesai,"
Aku menengok ke kanan dan ke kiri. Teman-temanku sibuk bertukar jawaban dengan yang lain. Sedangkan aku kebingungan mengisi lembar jawab ini. Untuk mengisi nama saja aku harus bertanya. Ah ... Memang aku tak mengerti bahasa Arab lalu bagaimana kertas ini bisa terisi full. Apalagi aku berasal dari sekolah umum, mana ada pelajaran seperti ini. Ku lirik temanku yang dulu satu almamater terlihat sangat serius sekali.
"Waktu tinggal 10 menit,"
Aku tak punya pilihan lagi. Percuma menunggu temanku, aku sudah paham dari bahasa saat berbicara."Bismillah," kataku dalam hati sambil mencoret lembar jawaban asal. Membaca soal pun aku tak mengerti, jadi sama saja bukan.
"Zuha ... Kamu baik-baik saja kan?" Aku tersadar dari lamunanku saat Quenysya bertanya padaku.
"Eh, ada apa? Tadi baca Novel tak mendengarkanmu bicara," kataku berbohong.
"Itu hasil testnya sudah keluar di kirim di grup. Kamu ini baca novel sampai tidak mendengar sekitar," Aku hanya cengengesan menanggapi perkataannya. Andai teman-temanku waktu itu peduli denganku pasti aku juga lulus.
Teman dekatku bahkan mengomentari grup tak percaya. Andai aku di dekat mereka pasti aku lulus. Sayang tempat duduk kita berjauhan. Aku juga tak mengerti mengapa temanku yang lain bersikap biasa saja. Apa mereka tak memikirkan jika ada temannya yang tak lolos. Ah sudahlah ... Nasi sudah menjadi bubur, setidaknya sekarang aku bisa membedakan teman yang tulus dan tidak. Aku berharap tak ada yang mengalami yang ku alami karena sakit sekali rasanya.
Jam kuliah telah selesai. Aku memberesi barang-barangku lalu keluar dari kelas.
"Zuha," panggil seseorang dibelakangku. Ternyata Fayra dan Rania yang memanggilku. Mereka dulu satu kelas denganku, sekarang satu universitas hanya saja berbeda jurusan. Aku jurusan Ekonomi Syariah, sedangkan mereka Manajemen Bisnis Syariah.
"Oh kalian. Mau kemana?" tanyaku pada mereka.
"Mau makan tapi mau sholat dimasjid dulu. Lah kamu?" sahut Fayra.
"Aku juga mau makan dan sholat," jawabku.
"Ya sudah bareng saja," Aku pun bersama Fayra dan Rania berjalan menuju masjid untuk sholat. Jika tidak ada jam lagi nanti, aku pasti sudah pulang. Namun sayangnya masih ada jam lagi. Biasanya aku bersama teman-teman dekatku hanya saja mereka pada sibuk mengerjakan tugas kelompok. Jadi aku sendiriaan.
"Kamu kenapa Zuha?" tanya Rania ketika melihatku yang murung saar mau mengambil wudhu.
"Tidak apa-apa kok," Aku mengambil air wudhu menghapus air mata yang sudah mau keluar. Menahannya agar tak menangis.
"Aku ke dalam dulu ya," kataku pada Rania setelah wudhu.
Budayakan membaca, vote, komen. Memberikan krisar juga boleh. Happy reading😃
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucid Dream
Teen FictionTerlihat Zuha memutar story wa teman-temannya semuanya terlihat bahagia bersama teman-temannya. Air mata berhasil lolos dari matanya. Zuha kembali membuka galeri di hpnya, membuka foto bersama teman-temannya. "Semua ini palsu dan hanya formalitas sa...