Bab 19 Siapa kah pengisi hati 2

1 0 0
                                    


Dalam kekecewaan aku memohon agar cepat kembali pada-Mu ya Robb, namun aku terjebak dalam kebingaran kebahagiaan, yang kembali menjatuhkanku pada luka dan kekecewaan. Jika rasa sakit ini sebagai pertanda terkabulnya do'aku, izinkan aku pergi dengan segala kedamaian dan ketentraman. Pandangan yang mulai mengabur menyenggol hatiku. Nafas sesak semakin menyadarkan ku yang terlalu kecewa atau bahagia hingga terlalu jauh terjatuh hingga lupa untuk mengingat-Nya. Jika ini teguran aku harap diberikan kesempatan sebelum kembali.

Jika mencintai dari mata jatuh ke hati, maka jangan samakan dengan rasaku sebab sisi gelapmu membuatku jatuh-sejatuhnya hingga ku ingin mengelak dari rasa yang begitu rumit dan membelenggu. Bahkan aku tak pernah mengira bisa mencintai seseorang dengan cara seperti ini. Entahlah tapi aku lelah terus menetap dengan rasa yang tak akan ada ujungnya. Aku ingin mengakhiri rasa yang ternyata lebih rumit jika dipikirkan dengan logika.

Tak bolehkah aku berhenti mempertahankan rasa yang rumit ini? Logika pun tak mampu menerjemahkan  bahasa alam. Memang benar jika semuanya tak perlu ada jawabannya.

Apa yang salah bo ? Mengapa kau tak mau duduk tak bercerita tentang masa lalu? Apa yang kau takutkan? Waktu memang sudah berlalu dan masa itu memang sudah terlewati, mengapa kau tak sanggup bercerita? Kau jangan khawatir aku hanya ingin sedikit mengenang masa lalu, walaupun tak ku tahu apa yang harus dikenang, kisah kita berbeda. Kita bahkan tak pernah membuat kenangan mungkin itu yang membuatmu bingung harus bercerita tentang apa. Cukup kau luangkan sedikit waktumu dan menjawab pertanyaanku.

Kamu tak pernah berubah masih sama seperti dulu. Masih selalu menyibukkan diri tanpa memberi jeda untukmu sendiri. Entahlah apa yang kau cari aku tak mengerti, mencari sedikit waktumu memang sangatlah mustahil, lalu untuk apa harus ku paksakan. Sejak dulu jalan kita sudah berbeda kau dan aku bagaikan air dan minyak yang tak akan pernah menemukan titik temu.

Bagaimana aku bisa percaya dengan rasa ini saat realita selalu saja mencubit menyadarkanku. Haruskah aku tetap mempercayai perasaanku atau berhenti meyakininya. Apakah aku harus terjebak dikegelisahan yang sama lagi? Mengapa dulu saat aku mencintai seseorang dia memilih yang lain, dan saat kamu mencintaiku aku tak mencintaimu tapi apakah kamu mau menunggu sampai rasa itu hadir dan berjanji tetap menjaga rasa yang ada?

Hatiku menginginkan melupakan tapi jika takdir masih menghendaki rasa itu tetap ada aku bisa apa? Meski ku tak tahu apa kamu masih setia dengan rasa yang sama. Aku melihat senyummu sangat bebas saat kau bersamanya berbeda dengan saat kau dekat denganku. Ia memiliki banyak waktu untuk sekedar jalan atau makan bersamamu tapi aku untuk keluar saja sungguh begitu sulitnya.

Dari dulu kita berbeda, kita hanya dua jalur rel kereta api yang berbeda tujuan. Aku tahu jika akhirnya seperti ini.  Aku ingin sekali pergi sekedar berbincang bincang bersamamu tertawa bersama menceritakan segala keluh kesah atau menangis dipundakmu. Tapi aku sadar dari dulu kau tak pernah mau terbuka padaku saat kita dekat. Kau bahkan terlalu sibuk dengan temanmu. Bo ... kini kamu telah menjadi sepenggal bagian dari kisah masa laluku.

Bo adalah panggilan yang dulu kita gunakan. Kita ... Aku dan Fahmi. Aku dan Fahmi dipertemukan dalam suatu organisasi yang sama juga dengan Ade. Dulu kita adalah teman yang begitu akrab, mungkin saja waktu itu kami sedang mendekatiku. Aku sebenarnya merasakannya, hanya saja aku takut salah menyimpulkan makanya aku hanya mengabaikan perasaan itu. Fahmilah yang kerap mengirimiku pesan-pesan yang akhirnya ku balas dengan singkat.

Waktu terus berjalan, kita berteman layaknya orang lain berteman. Hingga suatu hari kamu mengajakku bertemu. Entah mengapa aku merasa kamu sedang mendekatiku. Awalnya aku pikir aku hanya terlalu kepdan karena kamu ajak bertemu. Disana kita hanya membicarakan kesibukan masing-masing yang tak menimbulkan curiga untukku.
Namun ternyata aku salah, kamu mengutarakan perasaanmu lewat pesan kepadaku.

"Jujur sebenarnya aku menyukaimu. Tadi sebenarnya mau bilang cuma aku gugup jadi tidak jadi." Itulah yang kamu sampaikan padaku. Aku bingung karena waktu itu memang aku masih mencintai Ade.

"Maaf ya sebenarnya aku belum mencintaimu. Namun aku mau memberikan kesempatan padaku, apa kamu mau menunggu sampai aku menyukaimu?" Begitulah balasanku waktu itu. Kamu menyetujui untuk menunggu. Setiap hari kita selalu bertukar kabar karena tak bisa bertemu dengan kesibukan kita masing-masing. Perlahan-lahan aku menyukaimu.

Namun saat aku sudah merasa yakin jika aku mencintaimu, kamu malah berulang-ulang menimbulkan keraguan dalam hatiku. Berkali-kali berjanji namun tak kamu tepati, bahkan tak pernah ada alasan yang kamu berikan. Aku harus berinisiatif bertanya dulu baru kamu menjawab. Di situlah aku merasa seperti dipermainkan olehmu. Berkali-kali aku berusaha meyakinkan diri jika pemikiranku yang salah. Namun kamu juga berkali-kali menghilangkan kepercayaanku.

Hingga suatu hari

"Kenapa kamu tidak datang tadi?" tanyaku waktu itu.

"Ban motorku bedah." Aku waktu itu percaya padaku hingga aku melihat storymu sedang main bola.

"Maaf ya sebaiknya kita berteman saja." Kataku padamu karena aku kesal kamu tak datang menepati janjimu. Berkali-kali kamu membatalkan janjimu lebih mementingkan pergi dengan temanmu. Seharusnya kamu menepati janjimu bukan.

Waktu itu aku semakin kesal karena kamu tak berusaha membujukku agar memaafkanmu dan memberikanmu kesempatan. Kamu hanya diam bak patung manekin. Waktu itu aku pikir meski kita berteman kita teman bisa menjalin hubungan namun ternyata itu hanya pemikiranku. Karena tiba-tiba kamu sudah mendekati cewek lain. Sikapmu lah yang membuktikan semuanya padaku waktu itu. Kita berpisah tanpa ada penjelasan darimu. Setelah itu kamu juga menjauhiku.

Kini kisah itu telah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Terkadang dalam keheningan aku merenung mengapa bayanganmu kembali menyapaku walaupun hanya lewat ilusi, apakah itu masih tentang  kisah yang telah berlalu? Kecewaku membuatku memilih melepaskan meski hati ini tak sanggup melukaimu saat rasa itu masih bersemayam dengan nyaman. Aku memang sudah mengikhlaskan untuk melepaskanmu walaupun tiap hari aku masih berharap agar engkau memberi setitik cahaya terang agar saat ku melangkah ke depan tak akan pernah ada lagi kata sesal. Aku hanya berharap mendapatkan penjelasan yang selalu ditanyakan hati kecilku. Bukan karena aku masih mencintaimu namun karena masih ada yang mengganjal dari kisah kita di masa lalu. Tak salah bukan jika aku masih menginginkan jawaban walaupun rasa itu sudah berhasil ku enyahkan dari hatiku.

Jangan lupa baca, vote dan komen. Boleh memberikan krisar. Happy Reading.😀

Lucid DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang