Bab 10 Kepercayaan

10 4 4
                                    

"Sejauh apapun kita pergi atau menghindar, jika dia bagian dari takdir kita pasti akan hadir, Seberusaha apapun kita dekat dengan orang, jika bukan bagian dari takdir maka dia akan jauh pula,"

Zuha

Raka
Aku masih menunggu jawabanmu loh. Apa mau sekalian ketemu setelah mata kuliah selesai nanti?
07.20

Kemarin terakhir aku bertemu dengan Raka. Aku ingat dia masih menunggu jawabku. Sekarang dia menagih jawaban itu. Walaupun kita tak bertemu tapi masih sering berteman.

Pertemananku dengan Raka berawal dari facebook. Memang di Facebook terdapat beberapa jenis tipe orang, mungkin memang takdirnya kita bertemu bisa apa. Kita sempat putus komunikasi tapi akhirnya dipertemukan kembali di universitas yang sama.

"Rania, gimana menurutmu kalau dia mengajak aku berziarah?" tanyaku waktu itu pada Rania, saat aku untuk pertama kalinya akan bertemu dengan Raka. Aku yang masih duduk dibangku kelas dua belas, apalagi lebih sering keluar bersama cewek agak ragu bertemu Raka untuk pertama kalinya. Walau pun kita sudah sering chattingan di facebook. Namun di dunia nyata sama dunia maya.

"Ya tidak apa-apa menurutku," sahut Rania waktu itu.

"Apa kamu mau menemaniku?" tanyaku kembali.

"Boleh kalau tidak ada acara," Rania kemudian diam melihat teman-teman yang lain mendekat ke arah kita. Aku memang terbiasa curhat ke Rania karena dia yang lebih dekat denganku dan sepemikiran. Bukannya aku tak mau terbuka dengan teman-temanku yang lain, tapi karena trauma kejadian masa lalu. Lagian mereka juga tertutup padaku jadi kita sama, sama-sama mencari titik nyaman kita.

"Kalian ngobrol apa kok sepertinya seru," kata Fayra yang ikut duduk diteras kelas dua belas.

"Biasalah ngobrol biasa-biasa," elak Rania.

"Iya ngobrolin kalau kapan-kapan pengen ziarah bareng-bareng," sahutku ikut mengelak. Aku juga tak berbohong karena ada keinginan untuk ziarah bersama mereka. Bukannya aku tak mau mempercayai mereka, tapi belum bisa percaya untul cerita ke sembarang orang. Pasti akan teringat kejadian di masa lalu.

"Zuha, kamu suka ya sama Arka?" tanya Weni saat aku sedang mengerjakan soal-soal di kelas.

"Maksudnya?" tanyaku pada Weni meminta penjelasan.

"Sasa cerita kamu suka sama Arka,"

"Tidak kok," Aku langsung menemui Weni dan menyakan langsung padanya. Kebetulan Weni sedang duduk di tangga sendirian sambil memainkan hpnya.

"Weni ... Kok kamu cerita ke teman-teman sih. Aku kan sudah bilang rahasiakan," kataku dengan nada kesal setelah menghampirinya ditangga.

"Ya aku kan tidak tahu kalau kamu bilang gitu." Seorang siswi kelas enam yang berumur sebelas tahun mengatakan suka sama cowok, masih labil. Di usia segitu, masih di fase namanya cinta monyet. Mana ada anak SD mengerti cinta-cintaan. Besok bilang suka dia, besoknya lagi udah bisa beda.

"Ya sudah deh, udah terlanjur juga. Lain kali kalau diceritakan jangan ember ok," kataku pada Weni langsung masuk ke kelas lagi.

"Minta nomermu dong zuha," kata Dewa yang menghampiriku.

"Kalau punya gimana? Kalau tidak gimana?" sahutku ketus karena masih kesal dengan sikap Weni. Sebenarnya aku mengagumi dia, ku katakan mengagumi karena perasaan sukaku bisa dikatakan cinta monyet.

"Kalau tidak ada, tidak apa-apa kok." Dewa langsung kembali ke tempat duduknya lagi. Aku kelas enak SD belum memiliki hp. Saat teman-temanku sudah punya, aku belum. Aku punya hp sendiri kelas delapan SMP itu juga harus menabung dulu.

Lucid DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang