Bab 18 Media Sosial

0 0 0
                                    

"Suatu hal akan menjadi baik jika dimanfaatkan dengan baik, begipula sebaliknya jika salah memanfaatkannya maka akan menjadi buruk pula."

Zuha

Manfaat media sosial tergantung kita yang menggunakannya bukan. Aku mengenal dunia literasi melalui media sosial atau online. Mengenal dunia literasi tidak harus saling bertemu. Kita bisa belajar menulis dan dipertemukan dalam suatu komunitas secara online yang membuat kita bisa mengenal banyak orang yang berbeda-beda dari Sabang sampai Merauke. Jika grup itu bermanfaat untuk saling membagikan ilmu mengapa kita tidak memanfaatkannya.

Awalnya aku hanya tertarik menulis di buku atau kertas dari SMP hingga kuliah. Saat aku kuliah semester dua melihat story temanku tentang dunia kepenulisan akhirnya aku meminta untuk ikut bergabung dengan grup yang sama dengannya. Dari grup itu aku bertemu dengan orang-orang yang lebih dulu mengenal dunia kepenulisan dariku.

Di grup itu diadakan share materi, bedah buku dan lain-lain yang membuatku tertarik untuk menulis dan menerbitkan buku. Banyak penulis-penulis di situ yang memotivasi ku karena mereka rata-rata sudah berkali-kali menerbitkan buku.

Berawal dari satu grup lalu aku ikut grup lainnya. Karena aku pikir sulit untuk menerbitkan novel untuk pemula apalagi ilmuku belum cukup akhirnya aku memulainya dari Quotes sambil mencari materi-materi untuk membuat novel. Aku kerap mengikuti event quotes. Lalu aku tertarik untuk membuat cerpen dari sana aku juga lebih mendapatkan ilmu mendalam lagi.

Dari situlah awal aku masuk ke dunia kepenulisan. Aku beruntung bertemu dengan mereka orang-orang hebat Walaupun belum bertemu secara langsung. Bahkan tidak hanya ilmu tentang dunia kepenulisan, bedah buku atau event saja yang dishare. Kita juga berbagi materi pengetahuan agama. Kita juga kerap mengadakan tadarusan online dimana setiap orang akan mendapatkan jatah membaca Al-Qur'an sesuai ayat yang sudah ditentukan. Setidaknya kita tak hanya berlomba-lomba dalam menulis. Namun kita juga berlomba-lomba untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Semoga kita menjadi sahabat sampai surga.

Menulis semua orang bisa termasuk anak kecil hehe. Namun menulis untuk menjadikan tulisan kita menjadi tulisan yang rapi, menarik banyak orang butuh proses. Tidak bisa kita menulis langsung banyak yang membaca itulah yang ku rasakan. Menyelesaikan naskah harus berbulan-bulan tentunya dengan mencari wadah untukku menulis yang tentu dibarengi mencari ilmu-ilmunya. Menulis tanpa tahu ilmunya seperti membuat masakan tidak diberi bumbu, jadi masakan tapi tak ada rasanya.

Apalagi untukku yang ditentang menulis oleh ibuku sendiri. Pernah suatu hari aku membicarakannya dengan ibuku.

"Buk, cerpenku lolos tiga puluh besar dan lolos terbit." Bagi seorang penulis pemula yang mengikuti lomba dan cerpennya terpilih terbit tentu senang bukan. Apalagi itu awal pertama kali aku mengikuti lomba cerpen.

"Terus? Dapat uang?" Aku hanya diam mendengarkan jawaban ibuku. Aku pikir ibuku akan Bangka karena akhirnya aku menemukan bakatku, kesenanganku. Aku sudah menduga begitulah reaksi ibuku. Karena walaupun aku mendapatkan juara tiga besar ekspresinya hanya biasa saja yang membuat hatiku kecewa.

Namun aku tak ingin menyerah dengan perasaan kecewaku. Akan ku buktikan aku bisa membuat orang tuaku bangga. Dari situlah awal aku berani mempublikasikan tulisan-tulisanku. Aku menulis diam-diam tidak diketahui oleh orang tuaku. Aku hanya tak berani mendengarkan kembali kritikan pedas orang tuaku yang sering terdengar menciutkan nyakiku.

"Tulisan jelek gitu kok mau jadi penulis," kata orang tuaku dengan nada mengejek.

"Penulis itu tulisannya diketok tauk," sahutku tak mau kalah.

Hanya sahabat dan teman yang selalu mendukung menyemangatiku. Respon teman-teman yang excited dengan karyaku membuatku yakin untuk memberanikan diri mempublikasikan tulisanku. Walaupun aku masih dalam tahap belajar namun aku akan berusaha semampuku.

Aku beruntung karena masih memiliki sahabat yang selalu menasehatiku untuk meneruskan tulisan-tulisanku agar aku bisa membuktikan pada orang tuaku jika aku bisa. Walaupun aku masih tak mengerti mengapa ibuku mekarangku menulis. Padahal tidak menganggu belajarku dan yang ku ikuti juga gratis karena itu dari grup-grup kepenulisan bukan ikut yang berbayar karena aku tak ingin semakin dilarang oleh orang tuaku.

Jika semua berjalan dengan semestinya pasti kita akan bosan karena tak ada tantangannya. Itulah yang selama ini terjadi padaku. Lagi-lagi handphonelah penemuan sepi. Teman sejati yang tak membuatku merasa kesepian lagi. Bagaimana tidak liburan kerjaanku hanya makan, tidur dan nonton tv. Keluar rumah juga tak tahu ke mana. Akhirnya aku selalu berakhir di kamar tidur atau main hp.

Aku tak tahu lagi apa yang ku lakukan selain menulis. Memang dari dulu aku suka mencuhkan perasaanku lewat kata-kata daripada aku mengungkapkannya hanya berujung kecewa. Definisi kecewa bagiku ada dua : ketika aku mencurahkan isi hatiku namun mereka tak mengerti perasaanku dan saat orang lain terluka dengan ucapanku. Makanya aku ingin menulis untuk memberikan kehidupan pada orang lain dan menyembuhkan luka hatiku.

Aku dan ibu memang tak cocok. Ibu menurutku kurang bisa memahami anaknya. Dari hal kecil sampai hal besar selalu dipermasalahkan. Aku tahu itu demi kebaikanku. Namun coba bayangan hal kecil seperti membuat teh terlalu manis sedikit sudah keluar petuahnya.

"Ini tehnya manis banget. Kamu itu kalau bikin teh jangan manis-manis ayahmu, kakekmu itu punya diabetes." Aku rasa ibukku terlalu berlebihan. Hanya teh saja dipermasalahkan. Padahal teh yang ku buat takarannya sama seperti yang ku buatkan untuk ibukku tapi tak mengeluhkan kemanisan. Setiap aku membuat teh pasti ditegur karena kemanisan. Atau kalau makan selalu ditegur karena kebanyakan memberi sambal. Padahal aku sudah mengurangi takaran gulanya agar tak manis.

Entah mengapa kemanisan dan kepedasan sudah melekat pada sesuatu yang ku makan dan minum. Walaupun kenyataannya tak begitu. Menyebalkan bukan? Orang tua adalah contoh untuk anaknya. Lalu mengapa aku dikasih tahu tapi kalau kita memberitahu kebaikan untuk orang tua kita tidak boleh. Seperti aku yang suka menegur ayahku karena merokok, itu hal baik bukan? Tak salahkan jika anak memberitahu orang tuanya jika salah. Masalahnya ayahku sudah kena diabetes. Tubuhnya kering kerontang. Belum ditambah kebiasaannya merokok, apa itu baik untuk kesehatannya? Salah jika aku memikirkan kesehatan orang tuaku.

Tak hanya sampai pada teh atau makan pedas saja. Aku kesal dengan ibuku yang tak mempercayai kemampuan putrinya. Ibu selalu mengeluh karena aku tidak becus naik motor. Tapi bagaimana aku akan bisa? Kalau naik motor juga di larang. Seperti misal di rumah motor di luar. Aku diminta membelikan jajan di warung, apa salahnya kalau ku pakai? Jawabannya selalu bikin aku kecewa.

"Tidak boleh. Pakai sepeda saja, di sana itu ramai banget." Mempercayai anaknya saja tak mau bagaimana aku bisa mau terbuka dengan ibuku. Aku merasa hanya Upik abu yang tak berguna ini itu salah tak becus katanya. Namun semua kembali lagi jika hidupku berjalan seperti yang ku inginkan maka aku akan bosan bukan.

Jangan lupa baca, vote, dan komen. Boleh memberikan krisar. Happy Reading.😀

Lucid DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang