"Kehidupan itu sudah di atur, realistis saja. Jalani dan ikhlaskan yang ditakdirkan."
Zuha
Terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Suara motor itu kini tak lagi asing di telingaku, siapa lagi kalau bukan Fahmi.
"Assalamu'alaikum." Suara salam terdengar. Tidak salah lagi dugaanku benar jika itu Fahmi.
"Wa'alaikumsalam." Dengan malas aku menghampirinya masuk lalu memintanya duduk.
"Kamu masih masuk kuliah nanti kan. Pergi sebentar yuk," ajak Fahmi.
"Aku sudah bilang tidak perlu di jemput. Aku mau ada yang jemput nanti. Aku tidak bisa pergi denganmu, sudah janjian mau di antar kuliah," sahutku.
"Eh ada nak Fahmi. Zuha kamu ini diajak pergi kok nolak si tidak boleh gitu. Lagian kamu mau dijemput sama siapa? Yang kemarin nganterin kamu pulang?" kata Ibuku yang ke depan melihat siapa yang datang.
"Ibu! Jangan gitu. Kenapa sama Fahmi saja ibu baik, coba kemarin ibu cuek sama dia," kataku kesal.
"Eh, ibu kok sudah tahu namanya Fahmi? Aku kan belum cerita,"
"Ya ibu denger kalian ngobrol makanya tahu,"
"Ih ibu nguping anaknya ngobrol. Tidak boleh dong. Mengganggu privasi," Aku semakin kesal dengan sifat ibukku yang seenaknya sendiri.
"Kamu pergi sama Fahmi apa salahnya coba. Orangnya juga sudah ada di sini. Batalin saja janjimu dijemput sama siapa tuh tidak tahu namanya. Hargai dia yang sudah datang Zuha dan ibu tak menerima penolakan!"
"Ibu! Sebenarnya mereka teman ibu atau temanku sih! Di atur-atur mulu. Aku bukan anak kecil lagi," Aku beranjak dari dudukku dan pergi ke kamar.
"Maaf bu, tidak baik kalau kita memaksakan Zuha untuk pergi denganku. Biarkan dia yang memilih ingin berangkat dengan siapa bu," kata Fahmi mencoba membujuk ibukku yang juga ku dengar dari kamarku.
"Ayo jadi pergi apa tidak? Mumpung aku belum berubah pikiran." Aku keluar dari kamar dan sudah selesai bersiap-siap. Aku hanya ingin menghargai dia yang sudah di sini.
"Loh kok sudah siap? Kamu yakin mau pergi denganku??" tanya Fahmi yang kaget melihat aku berubah pikiran.
"Ayo sebelum aku berubah pikiran." Fahmi beranjak dari duduknya dan berpamitan dengan ibukku. Walaupun masih kesal dengan ibuku, aku tetap berpamitan dengannya. Terlihat raut bahagia terpancar diwajah fahmi.
"Nanti mampir ke mushola atau masjid ya," kataku saat kita masih menembus jalanan.
"Mau ke kamar mandi," sahutku ketus.
"Mau ke kamar mandi kok di mushola atau masjid," katanya terheran-heran.
"Sudah deh mampir saja," sahutku kembali.
Fahmi pun menghentikan motornya dan kita mampir di musola yang kita lewati.
Aku mengambil wudu dan sholat dhuha. Fahmi menatapku dari jauh.
Setelah sholat aku berdo'a dengan linangan air mata. Setelah selesai aku menemui Fahmi yang sudah ada di luar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucid Dream
Novela JuvenilTerlihat Zuha memutar story wa teman-temannya semuanya terlihat bahagia bersama teman-temannya. Air mata berhasil lolos dari matanya. Zuha kembali membuka galeri di hpnya, membuka foto bersama teman-temannya. "Semua ini palsu dan hanya formalitas sa...