Bab 4 Masa Sekolah

11 3 1
                                    

"Karena keterpaksaan bukan dari hati dan hasilnya tidak akan baik."

Zuha

"Zuha sudah kelas sembilan SMP. Sekarang dia akan masuk  SMA yah," kata Ibu Zuha saat mereka asyik menonton tv di ruang keluarga.

"Zuha masuk MAN saja," sahut Ayah Zuha yang memang tak banyak bicara.

"SMA saja yah. Biayanya juga murah tidak sebanyak MAN. Coba saja Shareen yang MTS saja biayanya banyak banget. Kita ini cuma buruh yah, kalau bisa masuk negeri biayanya agak miring," kata ibu Zuha sambil menghitung tabungannya untuk sekolah Zuha selanjutnya.

"Akan aku usahakan bekerja keras. Di sana dia mendapatkan ilmu agama loh,"

"Kerja keras? Biaya sekolah Zuha dan adiknya saja aku yang selalu bayar. Gajimu berapa hah?"

"Aku mau melanjutkan ke SMK titik. Ini sudah keputusanku. Maaf yah bukannya aku tak menghargai pilihanmu tapi aku lebih suka sekolah di sana karena ada mata pelajaran yang ku sukai. Aku tidak suka jurusan bahasa, IPS atau IPA. Aku lebih menyukai hitungan yah," kataku memohon agar menyetujui pilihanku.

"Baiklah kamu  lanjut sekolah di SMK. Kalau kamu berubah pikiran ayah masih sanggup menyekolahkanmu. Ayah sebenarnya ingin kamu sekolah di MAN sekaligus mondok tapi kalau itu yang menjadi pilihanmu ayah akan mendukungmu," Ayah Zuha bukan orang yang suka memaksakan kehendak. Jika dirasa yang dipilih juga hal yang baik juga akan didukung. Jika bertengkar dengan istrinya, Ayah Zuha lebih memilih diam karena tak ingin memperbesar masalah. Lalu esoknya mereka sudah baikan lagi.

"Tidak SMA saja?" tanya Ibu Zuha.

"SMK  hampir sama seperti SMA buk. Cuma bedanya kalau SMK kan dibekali keahlian. Jika aku tak bisa melanjutkan kuliah, aku bisa kerja. Kalau ada rejeki juga bisa kuliah. SMK kan juga negeri biayanya juga tidak terlalu mahal. Aku juga kan ada KIP bisa ku gunakan," Kalau tidak ngeyel bukan ibu Zuha. Ibu Zuha memiliki watak yang keras. Jika menginginkan A maka ya harus A. Terkadang butuh perdebatan yang panjang untuk menjelaskan padanya agar mau mengerti. Watak keras dan pemarah sangat dominan sekali. Ibu Zuha orangnya sangat mudah marah bahkan hanya untuk hal-hal yang tak disukainya.

"Ya sudah. Terserah kamu." Ibu Zuha melanjutkan kembali menonton acara tv bersama ayah.

Zuha pun melanjutkan kegiatan belajarnya. Waktu UN semakin dekat, dia harus giat belajar agar mendapatkan nilai bagus. Berbagai cara dia lakukan. Seperti mengerjakan soal-soal di buku paket, memfotocopy soal-soal dari teman di pelari dan lain-lain. Meskipun dia sudah bekerja keras belajar dengan giat dan mengandalkan dirinya sendiri tetap saja di pandang miring oleh beberapa temannya.

"Zuha, kemarin kan Dina cerita ke aku katanya kamu kelihatan pintar kok nilai segitu-segitu saja nilaimu rendah dari yang lainnya," kata Ara saat  kita sedang memakan jajan di depan kelas IX C.

"Ya susah biarkan saja. Yang penting itu hasilku sendiri tanpa mencontek," Zuha memang orangnya acuh dengan sekitar, tak memperdulikan perkataan atau sindiran orang. Dia sudah merasa tak disenangi tapi diam saja. Perkataan dari teman-temannya membuktikan bahwa yang dirasakan itu benar adanya namun tetap diabaikan.

"Kamu ini ya Zuha, orangnya cuek tidak memperdulikan perkataan orang. Aku juga pengen bisa gitu mengabaikan omongan orang tapi susah," sahut Nika.

Zuha hanya cengengesan. "Hidup itu sekali, jadi dibuat happy saja. Lagian kita tak bergantung sama mereka kok  ngapain dibikin susah. Hidup kita kan yang menjalani kita bukan mereka. Biarlah waktu yang membuktikan segalanya,"

Seiring berjalannya waktu, semua siswa sibuk menyiapkan ujian nasional. Les untuk kelas IX semakin gencar dilakukan oleh guru. Siswa semakin dijejali dengan soal-soal ujian. Satu minggu menjelang UN kabar kunci jawaban beredar ke penjuru sekolah. Ada yang punya kunci jawaban lah dan lain-lain membuat sedikit keresahan dihati Zuha, Nika dan Ara yang berniat mengerjakan tanpa menyontek.

"Kunci jawaban belum tentu benar kan," kata Nika. Waktu itu mereka sedang berkumpul bersama.
"Meski nanti kunci jawaban tepat tapi kita harus percaya pada kemampuan kita," sahut Zuha.
"Iya benar kita harus yakin. Kita belajar bareng lagi ya, lebih giat lagi. Semoga hasilnya memuaskan," kata Ara. Mereka bertiga saling menguatkan walaupun ada kecemasan dalam hati masing-masing.

Ujian Nasional sudah tiba. Nika, Ara dan Zuha memaksimalkan kemampuan mereka. Ternyata hasilnya di luar dugaan nilai mereka bagus-bagus dan mendapatkan peringkat tiga puluh pararel. Mereka bersyukur ternyata usaha tak menghianati hasil. Tak sia-sia mereka belajar karena hasilnya memuaskan. Kabar tersiar ke penjeru sekolah jika kunci jawaban tak tepat.

Yang hanya mengandalkan kunci jawaban nilainya buruk dan tak bisa memilih sekolah lanjutan terbaik karena untuk masuk SMA atau SMK menggunakan Nilai UN. Jika nilainya bagus bisa masuk ke sekolah yang favorid. Jika hasilnya buruk hanya bisa masuk ke sekolah swasta.

Pesta kelulusan telah tiba. Semua merayakan kelulusan dengan senyuman begitu juga Ara, Zuha,  Niha dan teman-temannya yang lain.

Budayakan membaca, vote Terima kasih🙂

Lucid DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang