Ch. 18 -

34 10 1
                                    


Dering ponsel membangunkan gue yang sedang menikmati tidur gue. Dengan mata yang masih terpejam, gue meraba-raba nakas mencari iphone gue yang dari tadi gak berhenti berbunyi.

Dengan asal gue menekan ikon dilayar iphone gue.

"Princess, bangun!!" Teriak Dimas saat gue mengangkat video call dari dia. Mata gue yang masih lengket mengerjap-ngerjap perlahan. Gue memandang jam di hp gue yang masih menunjukkan pukul 05.30.

"Lo ngapain sih, Dim, bangunin gue sepagi ini," ucap gue kesal sambil kembali menggulung selimut gue.
"Pagi darimana sih, Prin. Ini udah siang, buruan lo bangun. Gue udah siap buat jemput lo."

"Yaelah, gue biasanya setengah jam lagi baru bangun. Mayan ini setengah jam gue bisa mimpi satu lagi,"

"Udah buruan bangun, atau gue samperin lo dan gue tarik lo!!" ancam Dimas dengan muka sok galaknya. Bukannya keliatan galak malah keliatan lucu dia.

"Iya-iya gue bangun." Gue membuang asal selimut gue dan merangkak turun dari ranjang dengan satu tangan masih memegang iphone gue.

"Yaudah matiin video callnya, gue mau mandi."

"Lo gak butuh bantuan gue, Nay?" ucap Dimas dengan smirknya.

"Mesum lo, gak lah!. Udah gue mau mandi dulu." Gue langsung mematikan panggilan video itu.

Dasar Dimas, muka doang keliatan alim taunya dalemnya sama aja. Mesum!!.

Lima belas menit gue menyelesaikan ritual mandi gue. Gue berdiri di depan meja rias gue, menata rambut gue dan terakhir mengoleskan lip balm pink ke bibir gue. Perfect!.

Gue menuruni tangga, dibawah papa udah siap untuk berangkat ke kantornya.

"Hey, anak papa udah mau berangkat, dijemput pangeran lagi hari ini?" goda papa sambil mengedipkan sebelah matanya membuat gue tersipu malu.

Papa emang udah tau soal Dimas, dan papa mendukung banget asal gue bahagia.

"Papa apaan sih," ucap gue menahan senyum gue.

Suara klakson motor membuat debaran jantung gue. Papa tersenyum ke arah gue.

"Tuh, pangerannya udah jemput, Princess." Ucap papa kembali menggoda gue membuat gue semakin malu.

Dengan riang, gue menuju ke pintu depan, gue membuka pintu dan tampaklah Dimas yang sudah menunggu gue di depan rumah gue. Gue berpamitan ke papa, dan segera menghampiri Dimas di motornya.

"Hey," sapa gue setelah berada disamping Dimas.

"Pagi, Princess," sapa Dimas dengan senyuman yang sangat manis yang gue balas dengan senyum manis gue.

"Dah siap?. Ayo naik, kita berangkat." Ucapnya sambil mengacak rambut gue membuat gue mengerucutkan bibir kesal.

Gue pun segera naik ke motornya, dia kemudian melajukan motornya setelah merasa gue aman dibelakangnya. Gue melingkarkan tangan gue di pinggang Dimas, menyenderkan kepala gue pada punggung tegapnya. Menghirup dalam aroma maskulin dari tubuhnya, aroma yang sangat menenangkan buat gue. Aroma ini akan masuk dalam list aroma favorit gue, bahkan mungkin menjadi nomor satu.

"Lo kenapa gak pernah naik mobil ke sekolah, Dim?" tanya gue heran saat masih dalam perjalanan menuju sekolah.

"Gue lebih suka naik motor, Nay. Bisa lebih deket sama lo." Ucapnya yang membuat gue tersipu.

Gue mengeratkan pelukan di pinggang Dimas. Dimas tersenyum melihat gue begitu nyaman memeluk dia. Sampai saat hampir tiba di sekolah, gue melepaskan pelukan gue dan bersikap angkuh seperti biasa.

Dimas memakirkan motornya di deretan parkiran motor, gue turun dari motor dan tiba-tiba muncul dua curut yang langsung ngledekin gue.

"Cie...yang makin nempel tiap hari kayak cicak didinding," Karin menyenggol lengan gue sambil ketawa meledek.

"Sampai kita dilupain ya, Rin." Tambah Sintia yang ikutan ngledekin gue.

Gue tersenyum malu. "Apaan sih kalian,"

Dimas cuma tersenyum melihat gue dan dua curut disamping gue.

"Gue masuk ke kelas dulu ya, Princess. Ini sarapan buat lo," ucap Dimas seraya memberikan kotak bekal makanan dan tak lupa mengacak rambut gue yang disaksikan oleh dua jomblo disamping gue.

"Cabut yuk Rin, kita udah gak dibutuhin lagi," ucap Sintia mendramatisir keadaan. Sok sad.

Karin dan Sintia hendak pergi meninggalkan gue, dengan sigap gue menarik tangan mereka.

"Eh-eh, mau kemana kalian?"
"Biasa lah, kantin kuy," Karin menarik tangan gue dan Sintia. Gue dan Sintia cuma pasrah dengan ajakan Karin setiap harinya.

Sesampainya di kantin, gue membuka kotak bekal dari Dimas, yang isinya nasi dan telur mata sapi yang diberi kecap membentuk lengkung senyum. Gue tersenyum menatap bekal itu, gak tega rasanya merusak senyum indah itu.

"Dimakan kali, Nay. Gak bakal kenyang kalau lo liatin doang, atau mau gue bantu?" Karin bersiap merebut bekal gue yang langsung gue tampol tangannya, enak aja mau makan bekal dari pangeran gue.

"Enak aja, tuh bakso lo udah dateng!" kesal gue sambil menunjuk abang tukang bakso langganan kita di kantin.

Abang tukang bakso,
Mari-mari sini,
Karin udah laper.

Karin pun riang gembira menyambut baksonya, gue dan Sintia cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Karin. Untung temen.

Gue mulai memakan bekal dari Dimas, rasanya gak seperti telur mata sapi biasa. Mungkin karena ditambah bumbu-bumbu cinta jadi terasa lebih lezat.

***

Suara bel pulang yang berbunyi, membuat para siswa segar kembali. Suara yang sangat dirindukan para siswa sejak tadi, termasuk juga gue.
Anak-anak yang sedari awal pelajaran terakhir meletakkan kepalanya di meja mereka mulai berdiri satu persatu. Wajah yang tadinya suram seperti tanggal tua mulai kembali berseri-seri. Bu Nooni yang tengah menjelaskan pun segera berhenti, guru dengan pipi gembul itu ikut tersenyum mendengar bel berbunyi.

"Baik, Anak-anak. Pelajaran kita sudahi sampai disini, saya akhiri selamat siang." Ucapnya yang langsung pergi meninggalkan kelas setelah merapikan mejannya.

"Siang, Bu!!" teriak anak-anak sekelas.

"Kuy, cabut!" ajak gue pada Karin dan Sintia.

Mereka menerima ajakan gue dan langsung berdiri dari tempat duduknya masing-masing.
Gue keluar dari kelas dan ternyata Dimas sudah nungguin gue diluar kelas. Gue tersenyum melihat dia yang dibalas senyuman juga oleh Dimas.

"Yuk Sin. Gue gak mau jadi obat nyamuk." Karin segera menggandeng Sintia dan pergi ninggalin gue sama Dimas.

"Ayo pulang," ajak Dimas menggandeng tangan gue.

Kita berjalan beriringan dengan tangan bergandengan menuju parkiran. Sesampainya disana, parkiran terlihat sudah sepi. Dimas segera mengeluarkan motornya dari parkiran, gue pun naik keatas motor Dimas. Dimas menarik gas dan perlahan melajukan motornya.

"Nay, mau ikut gue ke suatu tempat gak?" tanya Dimas di tengah perjalanan.

"Mau, asal sama lo," ucap gue mengeratkan pelukan ke pinggang Dimas.

Dimas mempercepat laju motornya, hingga beberapa saat kita berhenti di suatu tempat. Sebuah hutan yang cukup lebat.

KANAYA (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang