*-*
Terkadang kita melepaskan kebahagiaan saat ini, hanya untuk mengejar kebahagiaan fana masa depan.
*-****
Kanaya mematung mendengar bisikan sahabatnya itu-mungkin mulai sekarang lebih tepatnya, mantan sahabat. Dia berusaha mencerna kata-kata yang masuk ke gendang telinganya baik-baik. Perasaannya semakin tak karuan setelah mencerna kalimat itu. Tak ada yang salah dalam kalimatnya.
"Tapi kenapa, Sin? Bukankah kita bersahabat baik sejak pertama kali bertemu?"
Bibirnya gemetar menahan amarah. Jika bukan Sintia yang ada didepannya saat ini, mungkin Kanaya sudah berubah menjadi singa kelaparan yang akan mencabik-cabik mangsanya. Namun, mengingat apa yang telah mereka lewati hampir tiga tahun ini, Kanaya berusaha menahan amarahnya, membiarkan Sintia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Itu dulu, Nay. Sekarang semuanya udah berubah, termasuk persahabatan kita. Gue capek pura-pura baik depan lo, pura-pura dukung dan semangatin lo. Gue juga terpaksa nglakuin ini. Semua ini gue lakuin demi Reno."
"Maksud lo demi Reno apa? Atau jangan-jangan lo juga tau siapa yang nerror gue selama ini?"
"Lo dateng aja malam ini ke alamat ini. Nanti lo juga bakal tau semuanya."
Sintia berbalik pergi meninggalkan Kanaya di kamar mandi itu setelah mwnyodorkan selembar kertas bertuliskan sebuah alamat. Ada sedikit penyesalan dihati gadis itu, namun dia berusaha menampiknya. Menghilangkan fakta bahwa Kanaya adalah sahabat paling baik yang pernah dia temui.
Sementara itu, Kanaya meremas kertas yang berisikan sebuah alamat itu penuh amarah. Dia tidak pernah menyangka bahwa Sintia akan mengkhianatinya demi seorang laki-laki yang pernah menyakitinya. Sahabat yang dikenalnya sejak pertama kali ia masuk di SMA Angkasa. Seseorang yang telah ia anggap sebagai rumah keduanya, justru dialah yang dengan tega menghancurkan kebahagiaannya.
Seperti itulah manusia. Terkadang mereka lupa dengan siapa mereka menghabiskan duka yang mereka punya, hanya sekedar untuk mengejar sesuatu yang belum tentu membuat mereka bahagia di masa depan.
***
Seusai membersihkan jejak air mata di pipinya, serta mengompres matanya yang bengkak agar kembali normal, Kanaya berjalan ringan menuju kelasnya. Bukan karena dia ingin belajar, dia hanya ingin menemui Karin dan mengajaknya untuk bolos sekolah hari ini. Persetan dengan adanya Sintia atau tidak di kelas. Karena dengan tidak menyakiti Sintia merupakan kemurahan hatinya, mengingat seperti apa persahabatan diantara mereka-dulu.
Karin tampak sedang memainkan ponselnya, ketika Kanaya sampai dikelas. Gadis itu tengah tersenyum ceria membalas pesan entah dari siapa. Sedangkan Sintia tengah mencorat-coret buku didepannya. Kanaya menghembuskan nafas menetralisir amarah yang ingin kembali memuncak saat melihat Sintia. Kata-kata Sintia terus terngiang-ngiang di telinganya.
Kanaya menghampiri Karin, menatap jengah pada gadis yang tengah sibuk dengan handphonenya itu. Sementara Sintia seolah cuek dengan kedatangan Kanaya. Tangannya tetap setia mencorat-coret buku dihadapannya, wajahnya setengah tertutupi rambutnya. Kanaya melirik sekilas ke arah Sintia sebelum menarik paksa Karin, membuat gadis itu memekik jengkel.
"Tangannya mulai aktif ya, Bund !" Maki Karin yang tak ditanggapi Kanaya.
Langkahnya yang cepat, membawanya ke rooftop sekolah. Dia melepaskan tangan Karin dan lantas merebahkan diri di sofa. Sejenak dia teringat dengan kenangan bersama sahabat-sahabatnya disini. Bukankah ini memang tempat favorit mereka menghabiskan jam pelajaran? Matanya terpejam, menikmati segala rasa campur aduk didalam hatinya.
Karin menatap sahabatnya itu, dia tidak mengerti apa yang terjadi antara Kanaya dan Sintia. Namun, satu hal yang dia yakini mereka sedang tidak baik-baik saja. Karin mengambil duduk disamping Kanaya, dia ikut memejamkan matanya menikmati hembusan angin. Sudah lama, ia dan kedua sahabatnya tidak menikmati hal ini.
"Rin, kalau nanti lo harus memilih antara gue atau Sinta, gue minta lo pilih dia." Suara Kanaya yang tiba-tiba memecah keheningan itu.
Karin mengerjapkan matanya setelah mendengar penuturan Kanaya. Dirinya menatap bingung ke arah Kanaya yang masih setia memejamkan matanya.
"Kenapa gue harus memilih kalau gue bisa punya semuanya?" tanya Karin menatap ke arah Kanaya.
Kanaya membuka matanya, perlahan bibirnya membentuk senyum tipis. "Karena akan ada saatnya persahabatan kita gak akan seperti dulu, dan jika saat itu terjadi gue minta lo pilih Sintia."
"Sebenarnya ada apa sih antara lo dan Sintia. Tadi waktu di kelas, gue perhatiin Sintia beda banget. Dia cuma diem waktu gue tanyain lo dimana. Bahkan dia bilang, udah gak mau tau tentang lo lagi. Sebenarnya kalian ada masalah apa?"
Karin benar-benar tak paham dengan kedua sahabatnya ini. 'Perasaan kemarin masih baik-baik saja kok' batinya.
Kanaya tak mengindahkan pertanyaan Karin, dia kembali memejamkan matanya. "Rin, makasih ya lo udah jadi sahabat terbaik gue, lo satu-satunya yang gue yakin gak akan pernah khianatin gue." Ucap Kanaya tulus.
Karin memeluk Kanaya dari samping. Dia tidak peduli apa yang terjadi antara dua sahabatnya. Tapi dia benar-benar tidak ingin kehilangan mereka. Untuk Karin, Kanaya dan Sintia adalah sahabat terbaik yang pernah dia temui.
Kanaya membalas pelukan sahabatnya itu. Dia mengusap punggung Karin, sambil tersenyum tulus. Dia bersyukur, Karin adalah gadis polos yang tulus. Akan lebih baik jika dia tidak pernah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Udah ah, lepas. Dikira lesby nanti gue," ucap Kanaya sambil melepaskan pelukan Karin.
"Amit-amit dah, gue kalo lesby juga milih-milih kali, ga bakal mau sama lo, haha"
"Ck ... Jangan-jangan lo beneran lesby, Rin?" Kanaya menatap Karin penuh selidik. Memperhatikan tubuh gadis itu penuh seksama.
Karin tersenyum menggoda seraya mengedipkan sebelah matanya, centil. Menatap Kanaya yang masih menatapnya penuh selidik. "Kalo gue lesby kenapa, Nay?"
Plak...
Kanaya menampol ringan pipi Karin. Membuat sang empunya mengaduh kesakitan. "Sadar Rin, ngeri gue ngeliat lo kayak gitu,"
"Sakit bego," umpat Karin sambil memegangi pipinya.
***
"Gue udah lakuin semua yang kalian suruh, sekarang gue mau kalian lepasin dia!"
Emosi tertahan begitu kentara di wajahnya. Gerahamnya menggeram tertahan saat berbicara dengan seseorang di sebrang telepon. Matanya berkilat penuh amarah.
"Lo tenang aja, asal kerja lo bagus gue bakal lepasin dia," ucap seseorang di sebrang telepon itu, terdengar suaranya penuh rasa puas.
Tut ...
Telepon terputus begitu saja, dengan rasa kesal dia melempar telepon itu ke atas meja nya. Ada rasa yang tak bisa ia jelaskan dalam hatinya. Rasa itu seperti ia berada di antara dua jurang, dimana di kedua sisi terdapat orang yang harus dia selamatkan. Orang yang selalu ada setiap dia butuh, atau orang yang begitu dia cintai meski dia tau dia pernah merasakan sakit yang luar biasa karenanya. Sintia menelungkupkan kepalanya ke atas meja, membuat rambutnya terjuntai. Air mata nya perlahan mengalir, jujur dia tidak sanggup kehilangan sahabatnya. Namun, dia lebih tidak sanggup kehilangan Reno.
Katakanlah bahwa dia egois. Dia rela mengkhianati persahabatan yang hampir 3 tahun terjalin, hanya untuk seseorang yang pernah menyakitinya. Namun, seperti itulah rasa cinta. Ia mampu menutup mata hati seseorang terhadap kenyataan. Dia tidak peduli, yang dia pikirkan saat ini adalah kembali bersama Reno, mantan kekasih yang masih sangat dia cintai.
"Maafin gue, Nay, Rin. Hiks ..."
***
Bandar lampung
15 Desember 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA (Belum Revisi)
Teen Fiction"Gue gak pernah nyangka. Orang pertama yang bantu gue saat gue hancur adalah target bully an gue". - Kanaya Aurellie Gustofa. "Karena gak setiap perbuatan jahat harus dibalas dengan jahat pula. Justru dibalas dengan kebaikan adalah pukulan mental te...