Suara binatang tak terlihat menyambut kedatangan gue dan Dimas di hutan ini. Pohon-pohon yang menjulang tinggi menutup sang surya memberikan cahayanya. Jam masih menunjukkan pukul tiga sore, namun memasuki kedalam hutan suasana semakin gelap dan mencekam. Gue memeluk erat lengan Dimas, bayangan kejadian waktu camping memenuhi kepala gue. Gue mengedarkan pandangan ke sekeliling gue dengan raut yang sangat cemas.
"Dim, lo ngapain sih bawa gue kesini?" tanya gue ketakutan.
"Ikut aja, gue mau nunjukin sesuatu ke lo." Dimas membelai lembut tangan gue. Menyalurkan rasa aman buat gue.
Gue mengangguk dan percaya sama dia. Sampai gak lama kita sampai di sebuah rumah pohon yang cukup besar. Rumah pohon itu terlihat sangat terawat. Dimas mengajak gue untuk naik keatas sana. Satu persatu anak tangga gantung yang menjadi jembatan untuk naik keatas dia lewati. Dengan sedikit ragu, gue mengikuti Dimas. Gue sedikit takut karena ini pertama kalinya gue naik ke rumah pohon.
Sesampainya di rumah pohon, gue dibuat takjub oleh isi didalamnya. Sangat keren. Dimas benar-merawat rumah pohon ini. Rumah pohon ini tidak terlihat seperti rumah pohon biasa, tapi di lengkapi dengan sofa, tv, kamar tidur, kamar mandi, bahkan ada dapurnya juga. Gue melangkahkan kaki menelusuri setiap inci dari rumah pohon ini. Ada banyak gambar-gambar sains disini, menunjukkan bahwa Dimas benar-benar seorang jenius. Ada foto-foto dia juga dari dewasa saat ini bahkan sampai waktu dia kecil.
Gue berhenti didepan foto kecilnya Dimas. Gue mengambilnya dari meja dan memperhatikan wajah kecil dia. Kenapa gue gak asing sama wajah ini? seperti milik seseorang dimasa lalu gue. Gue pun beralih ke foto satunya, foto yang menunjukkan Dimas kecil bersama seorang gadis cilik yang tersenyum lebar kearah kamera. Senyum yang familiar. Seperti senyum gue. Tunggu, bukannya ini memang gue?!.
Gue berbalik kearah Dimas dibelakang gue dan menunjukkan foto itu ke dia.
"Dim, kok lo punya foto ini? ini gue kan?" tanya gue dengan alis yang mengkerut. Gue benar-benar bingung, apa gue memang pernah kenal Dimas dimasa lalu gue?
Dimas tersenyum menjawab pertanyaan gue. Dia mengambil foto itu dan melangkah menuju sofa. Dia duduk disana sambil terus memandangi foto itu. Seperti mencoba menerawang ke masa lalunya.
"Ini emang lo, Nay. Dan kita memang pernah kenal dulu," ucapnya yang semakin membuat gue bingung.
Gue mencoba mengingat masa kecil gue, tapi seingat gue, gue gak pernah punya teman masa kecil kecuali kakak ganteng gue alias Gara. Meskipun saat ini gue udah gak terlalu ingat gimana muka dia waktu dulu, tapi gue ingat cuma dia satu-satunya teman yang gue punya.
"Gak mungkin, Dim. Gue gak pernah kenal lo waktu dulu." Gue menghampiri Dimas dan langsung duduk disebelahnya.
"Lo inget teman masa kecil lo yang memperkenalkan dirinya dengan sebutan kakak ganteng kan, Nay?" ucapnya, Dimas mengalihkan pandangannya ke gue.
"Gue inget, dan kakak ganteng itu adalah Gara," ucap gue lagi semakin bingung.
"Kakak ganteng itu bukan Gara, Nay. Tapi gue,"
Gue terkejut tak percaya mendengar kata-kata Dimas. Gak mungkin, gak mungkin kakak ganteng itu dia. Gara udah mengakui bahwa itu adalah dia. Gue menggelengkan kepala mendengar ucapan Dimas.
"Gue serius, Nay. Gara udah boongin lo selama ini. Dia ngaku-ngaku jadi kakak ganteng lo karena dia ingin menghancurkan gue. Dia tau semua tentang kita dimasa lalu, karena dulu dia sahabat gue sejak kecil." Dimas meletakkan foto itu dan menggenggam tangan gue yang udah gemetaran.
"Gak mungkin, lo boong kan?" gue mencoba mencari kebohongan lewat mata Dimas. Tapi, nihil mata beningnya tidak menyimpan kebongan apapun. Hanya ketulusan yang gue lihat dari matanya.
"Lo inget anak kecil bertubuh gempal yang sering jailin lo waktu main sama kakak ganteng lo?"
Gue mengangguk menjawab pertanyaan Dimas. Gue gak akan melupakan anak kecil itu, karena diantara teman-teman yang bully gue, dia adalah satu-satunya yang paling sering bully gue bahkan sampai gue berdarah.
"Dia itu Gara, Nay, Gara mantan pacar lo. Waktu SMP dia satu sekolah sama gue di Kanada. Tapi karena suatu masalah, dia membenci gue dan akan menghancurkan gue. Kemudian dia kembali ke Indonesia dan bertemu dengan lo. Dia udah lama ngincer mau nyakitin lo, tapi gak pernah berhasil." Perkataan Dimas membuat gue shock. Benarkah kalau Gara adalah orang yang sangat berbahaya bahkan sejak masih kecil?. Gue kembali teringat saat Gara menculik dan berusaha menyakiti gue.
"Kalau emang lo adalah kakak ganteng gue, kenapa lo tinggalin gue saat gue butuh lo!. Saat yang paling berat buat gue?!" teriak gue emosi ke dia.
Gue teringat masa dimana kakak ganteng yang selama ini selalu menemani gue, tiba-tiba pergi tanpa sepatah kata pun buat gue. Seperti di telan bumi, dia menghilang gitu aja. Membuat gue tumbuh dalam rasa egois dan arogan yang tinggi.
"Maafin gue, Nay. Penyesalan terbesar buat gue adalah karena gue gak memberi tahu lo nama asli gue dan gue pergi gitu aja tanpa mengucapkan selamat tinggal ke lo." Dimas menggenggam erat tangan gue, menyalurkan rasa penyesalannya yang begitu amat besar.
"Lo tau, Dim. Setelah lo pergi, hidup gue semakin hancur. Gue gak punya lagi tempat untuk berbagi, orang tua gue yang selalu berantem membuat gue semakin stres ditambah lagi bullyan dari anak-anak seumuran gue, membuat gue merasa terpuruk setiap hari," ucap gue lirih dengan air mata yang telah membasahi pipi gue.
Dimas mengusap pelan air mata itu, dia kemudian menarik gue kedalam dekapannya. Gue menangis dalam dekapan Dimas, gue menumpahkan segala beban dihati gue sama dia.
"Maafin gue, Nay. Gue gak tau kalau lo akan melewati masa kelam seperti itu. Andai dulu gue gak ikut orang tua gue pindah ke Kanada, pasti lo gak bakal sesakit ini. Maafin gue, Nay." Suara Dimas terdengar pilu. Apa dia juga ikut menangis?
Setelah merasa lebih baik, gue melerai dekepan Dimas, dia menyentuh pipi gue dan menghapus sisa air mata gue. Dimas membai lembut wajah gue dan mengecup pelan kedua mata gue yang sembab.
"Mulai sekarang, gue gak bakal biarkan siapapun nyakitin lo, Nay." Ucap Dimas mantap membuat gue tersenyum.
"Gue cuma minta lo jangan pernah tinggalin gue lagi, itu udah cukup buat gue," ucap gue masih dengan tersenyum manis ke Dimas.
"Lo tau Nay. Rumah pohon ini gue buat spesial lo." Dimas mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru rumah pohon.
"Benarkah? kenapa?" tanya gue heran.
"Lo inget waktu kita nonton film Heart Series di rumah lama gue?" gue mengangguk menjawab pertanyaan Dimas.
"Lo waktu itu bilang, kalau lo ingin punya rumah pohon seperti punya farel dan rahel. Jadi setelah itu gue mencari tempat yang cocok untuk buat rumah pohon, dan ketemulah di hutan ini. Tapi sayangnya, sebelum gue membawa lo kesini orang tua gue harus pindah ke Kanada, yang mau gak mau gue harus ikut." Tutur Dimas menjelaskan ke gue.
Ya ampun Dimas, padahal waktu itu gue cuma bercanda dan asal ngomong aja. Tapi ternyata dia mengganggapnya beneran dan bahkan sampai membuatkannya. Gue terharu mendengar ucapannya, gue langsung memeluk dia. Gue benar-benar bahagia kenal sama dia. Dan saat ini gue lebih bahagia karena kita bisa bersama lagi.
Suara perut lucknut gue, menggangu moment uwu gue sama Dimas. Gue menyengir kuda saat Dimas melepaskan pelukannya dan menatap iba ke perut gue yang rata.
"Gue bikinin makanan dulu, Nay." Dimas beranjak dari sofa menuju dapur dibelakang kita.
Dia membuka almari makanan, dan mengambil makanan sejuta umat khas anak kos. Apalagi kalau bukan Indomie selerakuuu.
Sementara Dimas sibuk membuat indomie, gue menyalakan televisi dan menonton acara khas wanita teraniaya. Yang backsoundnya selalu ~Kumenangis membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku. Dengan alur yang selalu sama yaitu istri yang selalu tersakiti.
Gue geram sendiri menonton tayangan seperti ini, gue pun mengganti chanelnya ke acara yang lebih dewasa yaitu film dua bocah botak yang gak lulus-lulus dari tk. Gue paling suka sama karakter Fizi di film ini, karena dia sama seperti gue. Gak ada akhlak.
Beberapa saat berlalu, Dimas selesai membuat indomienya. Dia memberikan satu mangkuk pada gue. Kita pun menikmati semangkuk indomie hangat sambil menyaksikan film dewasa ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA (Belum Revisi)
Teen Fiction"Gue gak pernah nyangka. Orang pertama yang bantu gue saat gue hancur adalah target bully an gue". - Kanaya Aurellie Gustofa. "Karena gak setiap perbuatan jahat harus dibalas dengan jahat pula. Justru dibalas dengan kebaikan adalah pukulan mental te...