Ch. 20 - Jadian?

38 10 1
                                    

Tak lama saat gue dan Dimas menikmati indomie sambil asik menonton tv, suara rintik hujan terdengar jatuh diatas atap rumah pohon ini. Hujan yang semula hanya rintikan-rintikan kecil berubah menjadi buliran besar dan lebat. Hawa dingin masuk melalui pintu yang terbuka, membuat gue memeluk tubuh kedinginanan. Dimas yang menyadari gue merasa dingin langsung beranjak untuk menutup pintu. Suara petir dan gemuruh saling bersahutan di luar membuat gue merasa takut. Apa jadinya jika pohon tempat gue ini tersambar petir?!.
Pikir gue dalam hati.

"Lo tenang aja, rumah pohon ini dilengkali dengan anti petir," ucap Dimas seakan mengerti ketakutan gue.

Gue menghembuskan nafas lega. Rasa cemas gue pun berkurang.
Gue kembali menikmati indomie yang belum habis. Memang sangat nikmat dingin-dingin begini ditemani oleh semangkuk indomie hangat.

Gue bersendawa saat semangkuk indomie telah berpindah ke perut gue. Dimas juga sudah menghabiskan mienya. Hujan belum juga berhenti, sementara jam sudah menunjukan pukul lima sore. Gue menatap ke Dimas yang juga balik natap gue.

"Dim, gimana kita pulangnya? hujan gak reda-reda." Gue merebahkan tubuh gue di sofa dengan paha Dimas sebagai bantalnya.

Dimas membelai lembut rambut gue. "Kita tunggu hujan reda ya, nanti gue yang bilang sama papa lo."

Gue mengangguk membalas Dimas.

"Nay, duduk deh, gue mau ngomong sesuatu," ucap Dimas membuat gue penasaran.

Gue pun bangkit dari posisi tidur gue dan duduk dengan kaki bersila diatas sofa menghadap Dimas. Gue menunggu dia mengatakan sesuatu.

"Nay, meskipun aku memiliki banyak hal untuk diungkapkan, tapi kata-kata itu bersembunyi dalam diriku dan aku gak bisa menungkapkanya. Satu hal sederhana yang ingin aku ungkapkan adalah Aku Mencintaimu hari ini, esok dan selamanya." Dimas menggenggam tangan gue erat dengan manik mata yang tak lepas dari manik milik gue.

Gue gak bisa berkata apa-apa mendengar ucapannya. Gue terdiam membeku dengan debaran jantung yang begitu cepat. Lidah gue kelu, hawa dingin yang tadi meneyelimuti gue seketika berubah jadi rasa panas. Mana dia ngomongnya pakek aku-kamu lagi.

"Nay, maukah kamu menyempurnakan apa yang belum sempurna dariku?, mengisi hari-hari yang selalu suram sebelum bertemu denganmu kembali, menjadi warna indah dalam hidupku yang hanya ada kelabu, maukah kamu menjadi milikku selamanya?" ucap Dimas yang membuat gue semakin membeku dengan pipi yang sudah memanas. Apa dia lagi nembak gue?

Dimas mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk mahkota.

"Kalau kamu menerima aku menjadi pelengkapmu, pakailah kalung ini tapi jika tidak ambil saja dan simpan," ucapnya lagi dengan raut yang tak bisa gue artikan.

Gue mengambil kalung itu dengan ragu. Apa yang harus gue lakukan? gue terima atau enggak? gue bermonolog dengan diri gue sendiri.
Gue menggenggam kalung itu, hendak memasukkannya ke saku seragam gue untuk gue simpan, raut wajah Dimas terlihat kecewa menatap gue. Gue mengurungkan niat gue dan langsung membuka pengait kalung itu lalu gue pasang kan di leher gue. Dimas langsung berseri-seri melihat gue mengalungkan kalung itu leher gue. Dengan cekatan Dimas mengambil alih kalung itu dari tangan gue dan  memasangkannya.

Dimas memeluk gue erat, dia gak percaya kalau gue menerima dia sebagai kekasih gue. Bahkan gue lebih gak percaya kalau gue menerima dia. Gue membalas pelukan Dimas tak kalah erat.

Gue gak akan melupakan hari ini, Rabu, 23 Januari 2020. Hari paling bersejarah dalam hidup gue. Hari yang akan gue peringati sebagai hari jadian gue sama Dimas. Catat baik-baik ya tanggal 23 Januari 2020 deringati sebagai hari jadian Kanaya Aurellie Gustofa dan Dimas Anugerah Semesta!.

Cinta memang aneh ya, berawal dari Dimas yang menjadi target bullyan gue, sampai dia berkali-kali menyelamatkan gue dari bahaya. Hal yang paling tak terduga adalah bahwa dia kakak ganteng gue yang selama ini gue kira adalah Gara.

Takdir memang tidak bisa ditebak, ia mampu mempertemukan dua insan dalam keadaan apapun. Menyatukannya dalam tali kasih sayang. Semua hanya soal waktu, kapan dan bagaimana takdir akan menyatukannya.

Dimas melerai pelukan kita, dia tersenyum penuh bahagia menangkup wajah gue. Gue membalas senyum hangat dia. Senyum yang cuma ditunjukkan buat gue. Gue perlahan melepas kacamata yang dia gunakan, dan meletakkannya di meja. Gue menyentuh kelopak matanya, mata yang selalu menatap teduh ke gue.

"Jangan pakai kacamata lagi ya, Dim. Gue ingin melihat mata lo secara langsung," ucap gue menatap maniknya yang bening.

Dia tersenyum mengangguk. Membelai lembut rambut gue, perlahan wajah Dimas mendekat sampai hanya berjarak satu senti dari wajah gue. Nafas hangat dia menyapu kulit gue. Gue memejamkan mata merasakan sentuhan lembut dia di pipi gue. Dia membisikan sesuatu ke gue. Gue rasakan hangat nafas dia menerpa daun telinga gue membuat gue merinding.

"Nay, ayok pulang. Hujannya udah reda," bisiknya dan kemudian menjauh dari gue.

Gue membuka mata dengan rasa kecewa menyelimuti hati gue. Hancur sudah bayangan uwu di kepala gue. Dimas beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu. Gue beranjak dari sofa dan mengikuti di belakang dia.

Dengan muka cemberut gue menurni tangga yang sedikit licin. Sementara Dimas sudah aman berpijak di tanah. Karena anak tangga yang lumayan licin akibat hujan, kaki gue gak sengaja terpeleset anak tangga yang masih cukup jauh dari bawah.

"Aaaaa ...." Gue berteriak saat tubuh gue melayang jatuh ke bawah.
Gue merasakan tubuh gue melayang gak menyentuh tanah. Saat gue membuka mata, wajah Dimas yang pertama gue lihat. Dimas menangkap gue dengan kedua tangannya, membuat gue berada digendongannya.

"Nay, turun. Berat," ucapnya melepaskan gue.

Gue yang gak siap pun terjatuh, membuat punggung gue mencium tanah yang masih basah. Dimas yang melihat gue jatuh pun panik dan segera membantu gue berdiri.

"Ck. Lo gimana sih, Dim. Sakit tau!" kesal gue ke dia.

Niat nolongin apa nggak sih?!.

"Sorry, Nay. Abis tadi lo berat banget," ucapnya lagi merasa bersalah yang gue balas dengan decakan sebal.
Gue dan Dimas pun berjalan keluar dari hutan dengan handphone sebagai penerangnya. Hutan ini lebih gelap dan seram dari tadi waktu gue masuk. Gue memeluk lengan Dimas ketakutan.

Akhirnya, setelah melewati aura yang mencekam, gue dan Dimas berhasil keluar. Hari mulai larut, dan jalanan menjadi basah karena hujan tadi. Dimas menyalakan motornya, gue pun segera naik ke motor dia. Setelah memastikan gue aman, Dimas melajukan motornya. Menembus jalanan yang sepi.

Hawa dingin kembali memasuki tubuh gue, membuat gue memeluk erat Dimas. Dimas menggosok tangan gue dengan tangan kirinya. Dia mempercepat laju motornya, agar cepat sampai di rumah.

Beberapa saat, kita sampai di depan rumah gue. Papa terlihat mondar-mandir di depan rumah. Gue lupa, kalau iphone gue di silent. Pasti papa khawatir nyariin gue. Melihat gue pulang dengan Dimas, raut khawatir di wajah papa mulai menghilang digantikan dengan raut lega.

Dimas menyalami papa yang diikuti oleh gue.

"Kalian dari mana aja?" tanya papa

"Maaf, Om. Tadi saya bawa Kanaya ke rumah pohon milik saya. Dan karena tadi hujan, jadi kita pulang terlambat." Dimas menjawab papa tanpa ragu sedikit pun.

Papa melihat gue, gue pun mengangguk membenarkan ucapan Dimas.

"Ya sudah, yang penting kalian pulang dengan selamat. Sekarang kamu pulang saja, hari sudah malam. Nay, ayo masuk." Papa menggandeng tangan gue untuk segera masuk ke rumah.

Gue melambaikan tangan pada Dimas sambil tersenyum. Dia membalas senyuman gue dan segera melajukan motornya pulang.

Gue segera menuju kamar mandi setelah sampai di kamar. Guyuran air hangat dari shower kamar mandi menghilangkan rasa dingin yang sejak tadi menyelimuti gue. Selesai mandi, suara notifikasi dari iphone membuat gue berjalan menuju nakas untuk mengambilnya.

Gue membuka isi pesan yang ternyata dari Dimas.

Dimas
Selamat tidur, My Pacar.

Gue
Selamat tidur juga, My Boy.

KANAYA (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang