*_*
Rasa sakit paling hebat adalah ketika mendapati orang yang paling kita percaya ternyata menusuk dari belakang.
*_****
Berbeda. Hal yang dirasakan Kanaya akhir-akhir ini. Sikap Dimasnya yang tak lagi sama, yang semakin asing dan mengacuhkan dia. Gadis itu tau, disini dia yang patut disalahkan. Namun, sangat tidak adil karena Dimas ikut andil dalam kesalahan ini. Dimas yang tak mau mendengar setetes penjelasan pun dari Kanaya, membuat hubungan mereka diambang kehancuran. Ditambah lagi kehadiran Clara-gadis yang merupakan rivalnya sejak masuk SMA itu makin memperburuk hubungannya dan Dimas.
Punggung tegap seorang laki-laki yang tengah berjalan di koridor kelas pagi ini, membuat manik mata Kanaya terkunci. Pandangannya tak bisa lepas dari punggung kokoh yang sering melindungi ia dari bahaya sejak kecil.
Dengan langkah kecil-kecil, Kanaya berlari menghampiri Dimas yang berjalan santai. Dia tidak peduli lagi, dengan penolakan Dimas yang tidak mau berbicara barang sedetik pun dengannya. Yang penting baginya saat ini, menemui Dimas dan berusaha lagi untuk menjelaskan apa yang terjadi. Dia tidak ingin kehilangan sosok yang begitu penting dihidupnya, hanya karena kesalahpahaman belaka.
Kanaya berhenti berlari setelah berteriak memanggil Dimas dengan lantang. Beruntung baginya karena pagi ini sekolah masih terlihat sepi. Hanya segelintir siswa yang sudah pasti merupakan murid rajin yang telah datang ke sekolah. Memang, Kanaya sengaja datang sepagi ini hanya untuk menemui Dimas. Karena beberapa hari ini, Dimas tak lagi menjemputnya. Sudah pasti Dimas berangkat lebih pagi hanya untuk menghindarinya.
"Dimas!!" suara yang tak lagi asing di telinga Dimas, suara yang beberapa hari ini ia rindukan, membuatnya menghentikan langkahnya.
Dimas menolehkan kepala kebelakang, menatap sejenak gadis yang berdiri di belakangnya. Ada setitik deras rasa rindu yang menyelinap dalam hati Dimas. Ingin sekali saat ini ia rentangkan tangan untuk mendekap gadis yang beberapa bulan ini menemani harinya, namun ego masih menguasai dirinya. Ia masih enggan untuk melupakan apa yang ia lihat pada malam itu. Tanpa memperdulikan Kanaya yang kembali berlari mengejarnya, Dimas kembali melangkahkan kakinya untuk menjauhi Kanaya.
Bukan karena dia ingin hubungannya dan Kanaya berhenti sampai disini. Namun, ada hal yang tak bisa Dimas jelaskan dihatinya. Mungkin untuk saat ini, menjauh dari Kanaya adalah pilihan yang terbaik. Meski dia tau, ini akan menyakitinya dan juga gadis itu.
"Dimas ... Gue mau ngomong, berhenti dulu!" Kanaya mencekal pergelangan tangan Dimas setelah berada tepat dibelakang lelaki itu.
Dia menatap wajah kekasihnya yang sedetik pun tidak memandang ke arahnya.
Tidak ada kata yang mampu mewakili bagaimana perasaan Kanaya saat ini. Seperti ada ribuan jarum yang tertusuk bersamaan dihatinya. Begitu pilu melihat laki-laki didepannya begitu dingin kepadanya.
"Dim, dengerin penjelasan gue. Kali ini aja ..." lirihnya menatap nanar wajah acuh tak acuh Dimas.
Perlahan tangan Dimas melepaskan cekalan Kanaya, "Udah gak ada yang perlu di jelasin, Nay. Semua udah jelas. Dan mulai sekarang berhenti ganggu gue, karena gue udah punya Clara," ucapnya yang tak selaras dengan hatinya. Dimas melangkahkan kaki hendak meninggalkan Kanaya dengan hati yang bercampur aduk.
Dengan sigap Kanaya kembali menggenggam tangan yang biasanya selalu memeluknya saat ia hancur dan rapuh. Namun, berbeda dengan saat ini. Tangan ini justru begitu dingin seakan menggambarkan perasaan sang pemilik.
"Dim ... kenapa lo jadi kaya gini? Lo bukan lagi Dimas yang penuh kehangatan seperti yang gue kenal. Lo udah jadi orang lain yang gue gak kenal, Dim." Mata Naya berkaca-kaca, ia tak sanggup lagi menahan rasa sakit ini.
"Lo lebih paham apa yang buat gue jadi seperti ini, Nay." Kembali Dimas melepas genggaman Kanaya. Langkah kakinya membawanya menjauh dari Kanaya, namun hatinya seakan enggan untuk pergi dari sana. Hatinya tak sanggup melihat gadisnya meneteskan air mata di depannya.
Kanaya menatap kepergian Dimas dengan begitu sesak. Punggung itu, punggung yang selalu kuat melindungi Kanaya selama ini. Melindunginya dari bahaya apapun. Tapi sekarang, justru punggung itu kian menjauh. Mereka begitu dekat, namun terasa sangat jauh.
***
"Hiks...hiks...hiks..." suara yang terdengar pilu menggema di salah satu bilik kamar mandi sekolah.
Suara itu berasal dari bibir ranum seorang gadis yang tengah bersimpuh memeluk dirinya sendiri. Punggungnya bergetar, hidungnya yang memerah mengeluarkan cairan bening, serta matanya yang bengkak menandakan berapa lama gadis itu menangis. Setelah kepergian Dimas, Kanaya langsung menuju kamar mandi sekolah, dan mengunci diri di salah satu bilik.
Gadis itu memukul dadanya yang begitu terasa sesak. Kenapa rasanya sesakit ini? Semesta benar-benar pandai menciptakan rasa sakit yang begitu memilukan. Baru sedetik dia merasakan kebahagian dengan orang yang dia cintai, kini dengan kejamnya semesta kembali merenggut sumber kebahagiaannya.
"Hiks ... kenapa lo jahat, Dim! Lo anggep gue apa?! Kenapa lo gak mau dengerin penjelasan gue!!" teriaknya frustasi membanting gayung yang ada di kamar mandi tersebut hingga pecah berkeping-keping, seakan menggambarkan keadaan hatinya saat ini.
"Gue suka cara kerja lo buat misahin Kanaya sama Dimas."
Kanaya menghentikan tangisan sesaat setelah sayup-sayup mendengar suara yang tak asing ditelinganya. Suara ini, suara yang setiap hari dia dengar. Suara seseorang yang selalu menemani hari-harinya. Tapi apa Kanaya tidak salah dengar, dia menyebut dirinya dan Dimas?
Kanaya merapatkan tubuhnya di pintu bilik untuk dapat lebih jelas mendengarkan percakapan mereka.
"hahaha... So pasti. Gue gak pernah mengecewakan siapa pun"
Sahut seseorang yang diyakini Kanaya adalah seorang laki-laki. Mendengar dari suaranya yang berat.
"Gue puas dengan kerja lo, nih ambil sisanya. Dan ingat, jangan sampai ada yang tau masalah ini!"
"Lo tenang aja, gue pastiin gak bakal ada yang tau masalah ini,"
"Bagus. Dengan begini, gue lebih mudah menghancurkan Kanaya." Smirk khasnya terbit menghiasi bibir ranumnya.
"Nay, l...lo kok a...ada disini?" wajah terkejut begitu kentara di wajah ayunya. Mata bulatnya hampir terlepas saat ia melihat Kanaya ada tepat dibelakangnya.
"Sahabat macam apa lo yang tega nusuk sahabat sendiri dari belakang!!"
Amarah Kanaya telah sampai di ubun-ubun. Wajahnya yang merah akibat menangis tadi, kini semakin merah seperti cabai. Dadanya naik turun mengatur emosi yang ada dalam dirinya. Sungguh hal yang tak pernah ada dalam benaknya, bahwa orang yang paling dia percaya justru adalah orang yang menyakitinya paling dalam.
"Maksud lo apa sih, Nay? Gue gak ngerti," masih memasang tampang tak berdosanya. Sintia melangkah maju mendekati Kanaya.
Gadis itu menepuk pelan pundak Kanaya, "bagus deh kalo lo udah denger, jadi gue ga perlu pura-pura baik lagi depan lo," bisik Sintia di telinga Kanaya yang membuat emosi Kanaya makin tak terbendung.
Rasa sakit paling hebat yang dia rasakan saat ini. Bukan karena kehilangan Dimas, namun karena dikhianati orang paling dia percaya yang dia sebut sebagai sahabat. Mungkin, mulai detik ini kata-kata sahabat adalah kata terbullshit untuk Kanaya.
***
21 November 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA (Belum Revisi)
Teen Fiction"Gue gak pernah nyangka. Orang pertama yang bantu gue saat gue hancur adalah target bully an gue". - Kanaya Aurellie Gustofa. "Karena gak setiap perbuatan jahat harus dibalas dengan jahat pula. Justru dibalas dengan kebaikan adalah pukulan mental te...