-*-
Sebuah hubungan tanpa kepercayaan itu seperti masak tanpa bumbu, hambar.
-*-***
Pagi ini, kelas XII IPS 1 tampak begitu sunyi, tak seperti biasanya semua murid tengah berjibaku dengan selembar kertas jawaban dan selembar soal pilihan ganda. Wajah-wajah nampak serius mendalami soal-soal yang ada.
"Rudi! jangan tengak-tengok terus, kerjakan sebisamu!" tegur bu Novi pada salah satu murid berambut keriting yang duduk dibarisan nomor dua dari belakang.
"Saya gak ada yang bisa Bu," jawabnya menggaruk kepalanya yang tertutupi rambut lebatnya.
"Makanya semalam belajar, enggak maen game terus!"
"Saya belajar Bu, tapi yang saya pelajari gak ada yang lahir di soal ini,"
"Memang apa yang kamu pelajari?"
"Sejarah, Bu."
Semua siswa menengok ke arah Rudi, seraya mengumpatinya. "Begok."
Bu Novi menggelengkan kepala menatap muridnya itu. "Gila," gumamnya pelan.
Mendapati tatapan dari seluruh kelas, membuat Rudi menyengir kuda, dan kembali menggaruk kepalanya merasa bodoh sekali. Sejak kapan Try Out ada pelajaran sejarah.
Guru gembul dengan kacamata bulat itu berjalan mengelilingi kelas untuk memeriksa satu persatu muridnya. Dengan membawa penggaris kayu yang siap menghantam tangan siapa saja yang ketahuan mencontek. Semua murid tertunduk memandangi lembaran soal matematika yang serasa menjerat leher mereka.
"Semoga yang bikin soal cepet taubat."
"Yang bikin soal manusia apa setan sih!"
"Ngajak warr nih kertas depan gue!"
"Soalnya minta diruqiyah biar gak nyusahin orang."
Begitulah umpatan-umpatan hati para siswa menatap jengkel ke arah soal di depan mereka.
"Shhtt ... Nay!" panggil Sintia dari belakang sambil menendang kaki Kanaya.
Melihat bu Novi yang tengah berjalan keluar kelas, membuat Naya menolehkan kepalanya ke belakang.
"Apaan ..." katanya setengah berbisik."Gue gak ngerti sama sekali, gue nyontek punya lo dong!"
"Noh ... Punya gue," ucap Kanaya menunjukkan lembar jawabannya pada Sintia.
Putih bersih tanpa coretan apapun. Itulah isi lembar jawaban Kanaya. Satu jam waktu terlewati, dia bahkan belum mendapat ilham apapun untuk jawaban dari soal-soal setan di hadapannya.
"Rin, liat dong!" Kanaya menyenggol lengan Karin disampingnya. Gadis imut yang tengah berjibaku dengan soal-soap didepannya itu pun menengok.
"Nih ..." ucap Karin menggeser lembar jawabannya pada Kanaya.
Kanaya takjub pada otak sahabatnya itu, lantaran Karin telah menyelesaikan setengah dari soal-soal itu.
"Wah ... gak sia-sia gue temenan sama lo," ucapnya memuji Karin.
"Pasti lah, Karin gitu loh!" ucap Karin membanggakan dirinya sambil menepuk pelan dadanya.
Karin memang jago dalam bidang matematika. Otaknya yang menggumpal akan langsung encer ketika bertemu matematika. Tak heran jika Kanaya dan Sintia sangat mengandalkan sahabatnya ini dalam ujian seperti ini.
Waktu yang tersisa untuk mengerjakan soal tidak banyak lagi. Secepat kilat, Kanaya menyalin jawaban Karin begitu pula Sintia.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA (Belum Revisi)
Teen Fiction"Gue gak pernah nyangka. Orang pertama yang bantu gue saat gue hancur adalah target bully an gue". - Kanaya Aurellie Gustofa. "Karena gak setiap perbuatan jahat harus dibalas dengan jahat pula. Justru dibalas dengan kebaikan adalah pukulan mental te...