"Lo kenapa sih, Nay. Di tekuk mulu tu muka kayak orang baru di phk aja." Ucap Karin sambil menyesap minumannya.Hari ini gue badmood banget, gara-gara Dimas kemarin gue sampai gak enak makan. Gini banget ya rasanya, perasaan dulu putus dari Gara gue gak segalau ini deh. Kenapa sama Dimas yang notabennya belum jadi siapa-siapa gue malah galau banget. Serasa gue jadi orang paling sengsara di dunia.
Karin dan Sintia merasa heran sama gue yang dari tadi cuma diem sambil menekuk muka gue. Udah seperti orang yang gak punya energi buat hidup. Bahkan becandaan mereka yang biasanya buat gue ngakak banget, sekarang malah jadi terasa garing seperti kacang goreng.
Dimas juga belom nyamperin gue. Gue gak tau dia tadi pagi jemput gue atau enggak, soalnya gue udah berangkat sendiri pagi-pagi sekali. Sampai Karin dan Sintia heran, tumben gue mau berangkat sebelum jam setengah tujuh. Gue males banget soalnya ketemu Dimas. Dari kemarin juga gue belum menghidupkan iphone gue, gue berharap saat nanti gue menghidupkan iphone, bakal banyak spam dari Dimas yang nyariin gue.
Gue menatap malas ke arah Karin dan Sintia, gue menghembuskan nafas pelan. Berusaha mengurangi rasa gak enak di hati gue.
"Rin, Sin. Cabut yuk ke kelas." Ucap gue tiba-tiba menarik Karin dan Sintia untuk beranjak dari kantin.
Gue membalikan badan hendak pergi sebelum sebuah tangan mencekal pergelangan tangan gue erat. Gue membalikkan badan dan membuat gue menatap dada bidang Dimas.
"Ada apa?" ucap gue malas ke dia.
Gue berusaha setenang mungkin menghadapi Dimas. Gue gak mau kelihatan kalau gue sakit hati melihat dia sama cewek lain. Gue mengatur degup jantung gue yang gak mau diem. Eh, kalau diem mati dong gue!. Maksudnya supaya normal kembali.
"Ikut gue, ada yang mau gue omongin." Dimas menarik tangan gue yang membuat gue mau gak mau mengikuti dia.
Gue mengisyaratkan pada Karin dan Sintia untuk kembali dulu ke kelas. Mereka memutar bola mata malas melihat gue.
Dimas membawa gue ke taman belakang sekolah. Sesampainya di sana , gue menghentakkan cekalannya di pergelangan tangan gue.
"Nay, lo kok menghindar dari gue?" tanya Dimas memegang bahu gue.
Dia menatap lekat wajah gue. Gue mebuang muka dari hadapan dia. Gue gak mau luluh gitu aja cuma karena natap manik matanya itu.
"Gue gak menghindar dari lo. Gue biasa aja," ucap gue malas.
"Terus kenapa lo gak bisa dihubungin, gue jemput juga lo udah berangkat duluan, dan tadi saat gue mau menghampiri lo di kantin, lo malah mau cepet-cepet cabut saat liat gue." Ucap Dimas sedikit frustasi.
"Gak papa, gue cuma lagi mau sendiri,"
"Liat gue, Nay. Tatap mata gue!."
Dimas memegang wajah gue dan menolehkan kepala gue untuk menatap matanya. Dengan berat hati gue menatap manik matanya yang selalu bisa menghipnotis gue.
"Jawab, Nay. Ada apa?" tanya Dimas semakin menatap lekat manik mata gue.
"Lo mau tau kenapa?" jawab gue yang langsung diangguki oleh Dimas.
"Lo tau kemaren gue nungguin lo berjam-jam di depan rumah gue, sampai gue telat ke sekolah cuma nungguin lo. Gue telepon gak diangkat. Dan ternyata lo malah berduaan sama cewek lain di pinggir jalan. Lo pikir dong, gimana perasaan gue!." Teriak gue penuh emosi ke Dimas.
"Jadi, lo menghindar ke gue cuma karena itu, Nay?"
Dimas tertawa terbahak-bahak, membuat gue linglung. Dia masih sehat kan?. Ucap gue dalam hati. Dia menghentikan tawanya saat melihat gue cengo melihat dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA (Belum Revisi)
Dla nastolatków"Gue gak pernah nyangka. Orang pertama yang bantu gue saat gue hancur adalah target bully an gue". - Kanaya Aurellie Gustofa. "Karena gak setiap perbuatan jahat harus dibalas dengan jahat pula. Justru dibalas dengan kebaikan adalah pukulan mental te...