-*-
Mungkin kita punya keinginan
Tapi semesta punya kenyataan
-*-***
"Mba hh, pasien atas nama Dimas Anugerah Semesta dimana?" tanya Kanaya terengah-engah setelah sampai di rumah sakit.
Suster itu membuka data pasien rumah sakit untuk mencari nama Dimas. "Atas nama Dimas Anugerah Semesta sedang dalam penanganan di UGD, Mba."
Kanaya segera mempercepat langkahnya setelah mendengar jawaban dari suster resepsionis itu. Dia bergegas menuju UGD untuk memastikan keadaan Dimas. Sesampainanya disana, bunda Dimas tengah menangis sesenggukan melihat didepan pintu kaca UGD. Kanaya menepuk pelan bahunya.
"Bun..." lirihnya.
Ayu yang merasakan tepukan seseorang di bahunya, lantas menoleh dan langsung memeluk Kanaya.
"Nay..." jawabnya lirih tidak mampu berkata-kata, hanya air mata yang mengungkapkan betapa pedih hatinya melihat putranya terbaring lemah dibrankar rumah sakit.
Kanaya tidak mampu menahan air matanya lagi, deras sungguh deras air matanya mengalir. Menatap sang kekasih terbaring tak berdaya disana.
Setelah merasa lebih tenang, Ayu mengajak Naya untuk duduk di kursi tunggu.
"Bun, kenapa Dimas bisa seperti ini?"
"Dimas kecelakaan setelah pulang dari rumahmu, Nay. Hiks... dia kehilangan kendali atas motornya saat menghindari sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti dan menabrak pembatas jalan. Hiks.." jelas Ayu sesenggukan.
Dirinya tak pernah menyangka bahwa putranya akan mengalami kejadian na'as seperti ini.
Air mata Naya semakin luruh mendengar penuturan Ayu. Ia membungkam mulutnya dengan tangannya. Menunduk dalam dengan tangisan yang menciptakan isakan-isakan yang terdengar pilu. Hatinya bagai tertusuk ribuan anak panah, membuatnya begitu sakit. Kembali kenangan sore ini bersama Dimas terlintas dibenaknya. Dia serasa tak percaya dengan apa yang terjadi. Baru saja dia menikmati tawa bahagia bersama Dimas, lalu kenapa semesta begitu cepat merenggut semuanya?
Kanaya segera mengambil iphonenya setelah merasakan getaran notifikasi yang tak henti-henti. Sebuah spam pesan masuk dari nomor misterius itu, sepuluh pesan dengan isi yang sama.
+111 *******
Bagaimana hadiahku, Nay? senangkah kamu melihat Dimas tak berdaya di rumah sakit?
Kanaya menggertakan giginya, dia tak habis fikir orang ini benar-benar melakukan ancamannya. Kanaya bangkit dari kursi tunggu dan berdiri didepan pintu UGD. Dari balik kaca pintu, dia bisa melihat beberapa dokter tengah berusaha untuk menyelamatkan nyawa Dimas. Air matanya kembali luruh melihat Dimas tak sadarkan diri disana dengan berbagai alat medis tertempel di tubuhnya.
Ini semua terjadi karena dirinya, jika dia tidak bersikukuh untuk terus bersama Dimas, mungkin Dimas masih tertawa bahagia saat ini. Dia yang harus disalahkan jika terjadi apa-apa pada Dimas. Dia tidak akan pernah memaafkan orang itu dan juga dirinya sendiri.
Tubuhnya luruh ke lantai. Dia tidak bisa menanggung ini semua, dia tidak bisa kehilangan Dimas. Ayu yang melihat Naya luruh ke lantai membantunya bangkit dan kembali duduk di kursi. Dia memeluk erat kekasih putranya itu untuk saling menguatkan.
"Bun... maafin Naya, ini semua salah Naya. Dimas seperti ini gara-gara Naya. Hiks," ucapnya lirih dalam pelukan Ayu.
Ayu mengelus punggung Naya yang bergetar hebat.
"Ini bukan salah kamu, Sayang. Ini semua sudah takdir," ucap Ayu lembut menenangkan Kanaya.Naya menghapus air matanya, dia harus kuat menjalani semua ini.
"Bun... kabari Naya ya kalau Dimas udah siuman, Naya mau pergi dulu." Pamit Kanaya setelah melepas pelukan Ayu.
Ayu hanya mengangguk mengiyakan permintaan Kanaya.
Ia kembali menatap kedalam UGD, sebelum beranjak pergi meninggalkan rumah sakit dengan hati yang hancur. Orang misterius ini sungguh sulit dilacak, bahkan detektif handal papanya tak mampu melacak siapa orang misterius ini. Dia begitu licin seperti belut, saat hampir ketahuan pasti jejaknya tiba-tiba menghilang.
Langit ikut menangis deras menyaksikan Kanaya dalam keadaan hancur. Dibawah lebatnya hujan malam ini, Kanaya berjalan tak tentu arah. Dia kehilangan separuh jiwanya, akankah dia harus menjauh dan meninggalkan Dimas seperti permintaan orang itu?
Langit malam ini, seakan menemani Kanaya menumpahkan air matanya. Didalam hujan yang begitu lebat, takkan ada yang tau bahwa gadis itu tengah menangis. Dia kembali teringat saat Dimas pertama kali menolongnya dibawah guyuran hujan. Kanaya tak pernah menyangka bahwa dalam guyuran hujan pula dia harus melepas Dimas dari sisinya.
***
Seminggu berlalu, kini Dimas telah pulih dari kecelakaan tunggal yang menimpanya. Namun, seminggu itu juga Dimas tak pernah mendapati Kanaya menjenguknya di rumah sakit. Bundanya hanya mengatakan bahwa Kanaya kemari saat Dimas dilarikan ke rumah sakit. Namun, sampai saat ini dia tak pernah datang lagi.
"Bun, Dimas berangkat dulu ya!" pamitnya pada Ayu tak lupa menyalaminya.
"Hati-hati, Sayang!" pesan Ayu setelah Dimas keluar dari rumahnya.
Dimas melajukan motornya ke rumah Naya untuk menjemput gadisnya itu. Namun, saat sampai didepan gerbang rumahnya, pak Anton mencegahnya dan mengatakan bahwa Naya sudah berangkat sejak tadi. Dimas mengerutkan kening merasa heran, tidak biasanya gadisnya itu berangkat sepagi ini. Dia pun segera melajukan kembali motornya menuju sekolah.
"Nay!!" seru Dimas saat dilorong sekolah dan melihat Naya berjalan sendirian.
Merasa ada yang memanggilnya, Naya menoleh dan mendapati Dimas dibelakangnya tengah berlari mengejarnya. Naya mempercepat langkahnya, dia tidak bisa bertemu Dimas sekarang. Namun, langkahnya terhenti saat tangannya dicekal dari belakang.
"Lepasin!!" ucapnya menghentakkan cekalan Dimas.
Ada perasaan lega saat melihat Dimas sudah kembali sehat seperti dulu. Namun, tidak seperti hatinya yang takkan kembali seperti dulu. Dia harus menguatkan dirinya untuk menjauhi Dimas, demi keselamatan dan kebaikan Dimas. Dia tidak ingin, orang itu mencelakai Dimas lagi.
"Lo kenapa sih, Nay? kenapa lo gak nungguin gue dan berangkat duluan? terus kenapa lo gak pernah jengukin gue di rumah sakit?" tanya Dimas memegang lengan Naya.
Naya menunduk dalam, dia tidak mampu berkata-kata. Dia tidak mungkin menjelaskan apa yang terjadi padanya.
"Lihat gue, Nay! tatap mata gue!" Dimas mengguncang badan Naya, membuat Naya perlahan mendongakkan kepalanya menatap Dimas. Dia sekuat tenaga menahan air mata yang ingin kembali turun.
"Dim, mulai saat ini gue minta lo gak usah antar jemput gue, dan berhenti peduli sama gue," lirihnya dan melepaskan cekalan Dimas di lengannya kemudian berlalu meninggalkan Dimas dalam kekosongan yang melanda hatinya.
Kanaya segera berlari menuju taman belakang, dia tidak bisa lagi menahan sesak di dadanya. Dia berlari sampai sesekali menabrak seseorang namun tak dihiraukannya. Sesampainya di taman, dia mendudukkan diri di kursi taman. Kanaya menumpahkan segala rasa sakitnya. Dia tidak mengerti dengan apa yang dia pilih.
Hati dan logikanya kini tak sejalan. Hatinya memilih untuk tetap bersama Dimas, namun logikanya mengatakan bahwa dia harus menjauhi Dimas demi kebaikannya. Kanaya meremas rambutnya frustasi, kenapa semesta mempertemukan jika hanya ingin memisahkannya kembali.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak ya.
Karena vote dan komen itu geratiss.
KAMU SEDANG MEMBACA
KANAYA (Belum Revisi)
Teen Fiction"Gue gak pernah nyangka. Orang pertama yang bantu gue saat gue hancur adalah target bully an gue". - Kanaya Aurellie Gustofa. "Karena gak setiap perbuatan jahat harus dibalas dengan jahat pula. Justru dibalas dengan kebaikan adalah pukulan mental te...