☘️ Dua Puluh Lima ☘️

16.1K 1.1K 203
                                    

"Okey, jam pelajaran Ibu sudah habis, tugasnya kalau belum selesai dilanjut minggu depan aja ya."

"Iya Bu..."

"Oh iya, nanti akan ada lomba Olimpiade Sains tingkat kota. Via, kamu mau mewakili Sekolah kita?"

Via terdiam sejenak, kemudian ia tersenyum kecil, "Emm, kenapa harus Via, Bu?"

"Karena diantara sekian murid kelas sebelas, hanya kamu yang nilai pelajaran Ipa-nya selalu tinggi, tidak pernah rendah."

"Adit, kenapa nilai kamu selalu menurun? Semenjak kelas sebelas nilai kamu selalu menurun, kalau begini terus, bisa-bisa beasiswa kamu dicabut—"

"Jangan Bu, saya mohon jangan cabut beasiswa saya. Hanya itu satu-satunya harapan saya agar bisa mencapai cita-cita saya, Bu," pinta Adit memohon.

Guru tersebut menghela nafasnya, "Asal kamu bisa memperbaiki nilai kamu yang menurun itu."

Adit mengangguk, "Iya Bu, saya janji."

"Kamu harus bisa mencontoh Via, nilainya selalu stabil dari dulu sampai sekarang. Awalnya, Ibu maunya kamu yang mewakili Sekolah kita untuk mengikuti lomba tersebut, tapi setelah melihat nilai kamu yang menurun, rasanya tidak mungkin jika kamu yang mewakili Sekolah ini. Jadi, Via, apakah kamu bersedia mewakili Zevard High Scchool?"

Dengan ragu, Via mengangguk pelan, "Via bersedia, Bu."

"Alhamdulillah. Setiap pulang Sekolah hari senin dan rabu, kamu jangan langsung pulang ya, kamu harus belajar di perpustakaan, nanti akan dibimbing oleh guru Sains Sekolah kita."

"Baik, Bu."

"Oke, kalian boleh istirahat sekarang." Guru tersebut pun keluar dari ruang kelas 11 IPA 1. Murid-murid yang berada didalam ruang kelas itu pun langsung pergi ke Kantin, menyisakan hanya beberapa orang saja didalam kelas, termasuk Via dan kedua sahabatnya.

"Sumpah, lo keren banget, Vi. Gue dari dulu, pengen banget ikut lomba begitu, tapi gue nyadar aja sih, otak gue mah gak kayak otak lo, otak gue kan otak kentang," ucap Sandra, Nindy dan Via tertawa dibuatnya, ada-ada saja gadis itu.

"Hahaha, ada-ada aja lo San," sahut Nindy.

"Semoga lo bisa menangin lomba itu ya, Vi." Tiba-tiba Adit menghampiri Via.

Via menatap Adit, jujur ia tak enak dengan lelaki itu, "Maaf ya, seharusnya Adit yang ikut lomba itu, eh malah Via—"

"Gak papa, Vi. Justru bagus kalau lo yang ikut lomba itu, peluang menang semakin besar, lo kan pinter, hehehe."

Via terkekeh pelan, "Adit juga pinter kok."

"Hahaha biasa aja kok Vi, gue mah kalah sama lo. Gue mau ke Kantin dulu deh, laper, bye," pamit Adit, setelah itu ia pegi menuju ke Kantin.

"Kantin juga yok," ajak Nindy.

"Mager," sahut Via.

"Yeu, bilang aja lo mau nitip," sahut Nindy.

Via menyengir, "Hehe, peka banget sih,Via nitip batagor sama es jeruk ya." Via memberikan selembar uang berwarna biru kepada Nindy, "Beliin beng-beng juga, lima."

"Sisanya?"  Nindy menaikkan sebelah alisnya.

"Ya balikin lah," sahut Via.

Nindy memutar kedua bola matanya jengah, "Kirain ongkir. Ya udah lah, kuy San kantin."

"Gue mager, nitip ya—"

"Gak! Gak ada titip-titipan! Gue gak mau ke Kantin sendirian! Ayok!" Nindy langsung menarik Sandra, tak perduli dengan ocehan gadis itu, yang terpenting ia tidak pergi ke Kantin sendirian.

Vendo for Via Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang