"ayo kencan di akhir pekan"
Jihyo menggeleng kuat. Ucapan jungkook terngiang ngiang di benaknya.
"kencan? Dengan jungkook?! " jihyo memijit pelipisnya, ia meyakinkan dirinya bahwa ia pasti salah dengar tidak mungkin seorang jungkook mengajaknya kencan tapi.." jangan berpasangan dengan siapapun selain aku. Aku akan menjemputmu"
Jihyo menangkup pipinya yang memanas. Sesuatu dalam dirinya berdetak cepat. Rasanya seperti mimpi mengingat ucapan jungkook
"kau sakit ?"
Jihyo menoleh ke sampingnya, menatap pada lelaki yang fokus menyetir di sampingnya
"tidak. Tidak aku baik-baik saja" sangkalnya"bagaimana ujianmu? Apa berjalan lancar?"
Jihyo mengangguk pelan, seraya menenangkan dirinya
lelaki itu tersenyum simpul
Setelah itu tak ada lagi percakapan yang keluar darinya jihyo juga enggan bersuara . Sampai sedan hitam itu terparkir di depan gedung berlantai 3."turunlah. Ibu pasti senang menyambutmu" ucap pria itu dengan senyuman tulus.
Jihyo ikut berjalan di samping lelaki itu
"aku pulang" ucap lelaki itu lalu berjalan ke arah dapurSementara jihyo mewanti reaksi seperti apa yang harus ia berikan, tepat saat itu seorang wanita paruh baya menyambut jihyo dengan haru
"jihyo?! " Ia memekik pelan dengan kedua tangan yang menutup mulutnya.
Dipeluknya jihyo erat seolah takut gadis itu pergi
"kau pulang! Bagus sekali" ucapnya riang beberapa kali ia mengusap lengan jihyo bergantian mengelap sudut matanya yang berair"kau sudah makan? Kebetulan aku baru selesai menata makanan. Ayo kita makan. Kau pasti lapar" ia mengapit lengan jihyo, menuntun ke arah tempat makanan terhidang rapi
"duduklah. Chan panggilkan ayah" serunya. Raut wajahnya berseri
"apa kau makan dengan baik? Aku khawatir sekali padamu" ucapnya seraya menyendokkan nasi ke dalam mangkuk
"eoh? Kau datang?" seorang pria paruh baya tiba dan menyambut kehadiran jihyo
"ya ayah" jawab jihyo pelan
Pria paruh baya yang dipanggil jihyo ayah tersenyum tipis
"makanlah yang banyak" ujarnya
Kemudian tak ada suara lagi ia hanya menatap jihyo dengan raut sedih namun tersirat kebahagiaan karena melihat jihyo ada bersamanya*****
Jihyo menatap setiap bagian ruang bercat baby blue kesukaannya. Tak ada yang berubah. Semua masih diam ditempat masing-masing.Ia meletakkan tasnya di atas kasur beriringan dengan bokongnya yang mendarat di pinggiran kasur.
"sudah lama.. " gumannya. Pandangannya menyapu seisi ruangan yang tidak terlalu lebar. Sebenarnya tidak ada apapun yang bisa ia pandang berlama-lama. Kamar ini hanya berisi set meja belajar, rak buku yang setengahnya kosong, sebuah lemari pakaian berukuran sedang dan meja rias. Tidak ada pigura atau hiasan-hiasan yang menghiasi kamar ini.Jihyo ingat bagaimana dulu pertama kali ia datang kesini. Sebenarnya tidak ada yang berubah ia tetap disambut dengan baik disini, .Hanya saja, ada kenyataan yang sulit membuat jihyo harus menahan diri.
Flashback
Jihyo terduduk lemas. Air matanya terasa kering padahal ia masih ingin menangis. Dirangkulnya kedua lututnya erat, kepalanya menunduk ke arah jemari kakinya.
Ia masih belum terima atas kepergian sahabatnya, somi. Jika ia tau seperti ini, ia akan dengan ikhlas merelakan segalanya ia tidak akan menaruh kesal pada somi. Ia menyesal sekarang. Menyesali bahwa dirinya juga pernah menampar somi. harusnya ia lebih mengerti keadaan somi. Sekarang semua sia-sia. Jihyo hanya bisa menangis dalam diam. Tak ada yang bisa ia ubah."jisoo-ya.. " panggil seorang pria baruh baya. Tak ada jawaban dari jihyo. pria itu memeluknya erat, mencoba memberi kekuatan lewat rengkuhan hangat
" jangan menangis, kau harus merelakannya. Dia sudah bahagia disana. Kau juga harus bahagia""bagaimana bisa aku bahagia ayah? Dia pergi karena aku" jawab jihyo terbata
"tidak ada yang tau takdir. Ini Bukan suatu hal yang bisa direncanakan. Ayah yakin somi akan bahagia dengan mengingat kenangan baik bersamamu. Jangan menangis"
Jihyo tidak berkata apapun lagi. Ia hanya menangis.
---"Sudah bangun?"
Itulah kalimat pertama yang menyambut pagi jihyo
"ayo makan" ujar wanita berkepela empat itu dengan senampan makanan ditangannya.
"dimakan selagi panas" ujarnya lalu berjalan keluar
Jihyo menatap makanan itu tak selera. Matanya terasa perih dan kepalanya pusing, sudah dua bulan berlalu tapi ia belum lupa sedikitpun tentang kepergian somi, ia masih suka menangis stiap malam.
Dengan langkah gontai ia beranjak dari kasur menuju toilet untuk membersihkan diri.jihyo hendak kembali berbaring namun, pintu kamarnya terbuka. Belum sempat jihyo berkata pria itu sudah memeluknya erat
"kenapa tidak bilang padaku? Kenapa kau tidak mengabariku sama sekali?" ucap pria itu cemas campur marah"kau baik-baik saja hm?" ucapnya sambil menatap jihyo.
Jihyo menangguk pelan
"harusnya kau mengabariku, kau punya aku. Aku selalu siap mendengarkan semua" ucapnya"aku sudah dengar semua dari paman. Ini bukan salahmu. Jangan menyiksa diri seperti ini. Jangan sakit jihyo aku mohon"
Air mata jihyo kembali membasahi pipinya
"jangan menangis. Ayo duduk" pria itu menarik tangan jihyo"aku tidak akan kembali ke Amerika. Aku akan disini bersamamu" tegas pria itu
"aku sudah memikirkannya. Aku yang akan menjagamu"
"Yoongi oppa, aku baik-baik saja. Kenapa oppa bertindak sejauh ini?"
"baik apanya, kau bahkan tidak memakan makananmu. Kau hanya mengurung diri di kamar. Ini tidak akan menyelesaikan masalah, ini hanya akan membuatmu sakit. Aku juga sakit kalau kau seperti ini" ujarnya pilu
"tapi oppa.. "
"kumohon ji. Aku sudah berjanji pada bibi akan merawatmu. Biarkan aku menepati janjiku" ucapnya memelas
KAMU SEDANG MEMBACA
Flying Butterfly
FanfictionBerawal dari kecerobohan jihyo yang tidak sengaja bernyanyi di ruang latihan club musik. Sampai seorang siswa bernama deokyeom yang terus mengajaknya masuk ke club dan menjadi anggota Perlahan jihyo yang selalu menyendiri, mulai membuka diri. Sampa...