Bab 24

357 32 0
                                    

Kita tidak akan benar-benar meninggal, selama masih ada
orang-orang  yang mengingat dan menyimpan diri kita sebagai kenangan.
Dilupakan adalah bentuk kematian yang sesungguhnya.

Waktu terus berjalan, tetapi pikiran Arif selalu berada di satu tempat dan selalu stay disitu. Rasa kehilangan tidak bisa di pungkiri. Hari ini adalah hari ke 40 kepergiaan Hani. Tapi banyak perubahan sejak 40 hari belakangan, seperti Atika yang sudah memaafkan Hani dan memaafkan kesalahan ayah kandungnya di masa lalu. Kunci dari itu semua adalah ikhlas.

Astrid melihat putranya melamun di tengah kesibukan orang-orang yang menyediakan jamuan untuk  peringatan 40 hari kepergian putrinya. Astrid sangat merasakan bagaimana perasaan Arif setelah kehilangan Hani. Sosok yang begitu berarti dalam kehidupan Arif, bahkan Arif akan mengorbankan dirinya sendiri jika ia bisa menggantikan posisi adiknya itu. Tapi Allah yang mengatur semua takdir dan tidak akan ada yang bisa mengubahnya.

" jangan ngelamun, lebih baik kamu doain yang terbaik buat Hani, biar nanti bisa ketemu lagi di Surga." ujar Astrid mengusap rambut Arif. Arif ikut mengiyakan perkataan mamanya di dalam hati. Memang tidak ada gunanya memikirkan sesuatu yang melukai hatinya, tapi bayangan itu selalu menghantuinya, seolah tidak ingin pergi dari pikirannya.

"Hani akan sedih saat tahu kalau kamu terlalu larut di dalam kesedihan dan Hani juga akan marah saat tau bahwa kamu membenci saudara tirimu sendiri." Arif tersentil saat mendengar kata-kata terakhir yang diucapkan mamanya. Setelah kematian Hani, Arif mulai membenci keberadaan Atika yang sekarang bahkan sudah satu rumah dengannya. Meski Atika tidak ada kaitannya dengan kematian Hani, entah kenapa Arif sangat benci saat melihat keberadaan Atika. 

"kamu ingat waktu mama memohon kepada Rahman agar dia tidak membawa Hani ke penjara? itu karena Atika sendiri. Jika saja waktu itu Bu Rini tidak membawa nama Atika, pasti Hani tidak akan bersama kita di hari-hari terakhirnya."lanjut mamanya. 

"jangan buat Atika menyalahi dirinya sendiri karena kematian Hani, itu semua tidak ada hubungannya dengannya. Hanya itu yang ingin mama ingatkan sama kamu."  Astrid mengusap bahu Arif lalu pergi meninggalkan Arif dengan perasaan bersalah. Mamanya benar, kenapa harus Atika yang di bencinya. Padahal Allah sudah menetapkan bahwa pada hari itu Hani memang akan di jemput oleh Allah. 

Atika sibuk menghidangkan jamuan untuk tamu, Astrid tersenyum melihatnya. Seketika bayangan Hani terlintas di kepalanya. Dia teringat sosok gadis yang sangat suka tersenyum saat menyambut kedatangan tamu, sosok gadis yang begitu kuat menahan rasa sakit yang menggoroti tubuhnya.

Setetes air mata mengalir di pipi Astrid. Bukan hanya Arif yang merasakan duka begitu dalam setelah kehilangan Hani, tapi ia juga. Ibu mana yang tidak akan terluka karena kepergiaan anaknya.

~~~
"

Terimakasih ya Bu udah datang" ujar Atika tersenyum sambil memeluk erat tubuh Bu Rini. Bu Rini tersenyum menanggapi, dia merasa bahagia melihat Atika yang sekarang. Tetap ramah dan seadanya, tidak ada perubahan pada sikapnya.

"Teruslah menjadi dirimu sendiri ya nak, teruslah berharap kepada Allah agar kamu selalu ditujukan kepada jalan yang benar" Atika mengangguk mengiyakan.

Bu Rini berharap Atika akan menjadi orang yang selalu baik kepada siapapun dan sampai kapanpun. Karena semua orang pasti berubah, tapi ia harap Atika berubah menjadi yang lebih baik.

"Ibu pulang dulu ya, jaga diri baik-baik". Atika mengangguk"ibu hati-hati, kirim salam sama keluarga panti".

"Iya.., assalamualaikum"
"Waalaikumusalam Bu".

Bu Rini menganggukkan kepalanya saat melihat Astrid dari jauh. Astrid pun membalas mengangguk tersenyum.

~~~

Bunyi kaca pecah dari arah dapur mengejutkan orang seisi rumah, Astrid berlari ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. Astrid menghentikan langkahnya saat melihat pemandangan yang membuatnya tersenyum.

Heri memegang bahu Astrid saat menyadari apa yang terjadi. Heri tahu apa yang dibayangkan oleh Astrid. Ini seperti kejadian Dejavu, tapi di alami oleh orang yang berbeda.

Beberapa tahun yang lalu, Hani tidak sengaja memecahkan gelas di dapur. Dan dengan sigapnya Arif datang untuk membantu Hani yang terluka oleh pecahan kaca.

Persisnya seperti sekarang, saat Atika yang kebetulan juga terluka dan Arif membantunya.

"Kamu gak papa?" Tanya Arif saat melihat kaki Atika yang terluka oleh pecahan kaca. Atika hanya menatap Arif tanpa menjawab. Mendengar tidak mendapat jawaban, dengan cepat Arif mengambil kotak P3K.

"Duduk." Titah Arif. Atika masih tidak menjawab tapi ia mengikuti kata Arif. Atika hanya diam terpaku seperti patung saat Arif mulai mengobatinya.

Arif sangat telaten mengobati kaki Atika. Dia melihat setetes air mata jatuh di depannya. Arif menengadah dan melihat Atika mengeluarkan air mata.

"Apa itu terlalu sakit?" Tanyanya. Atika menggelengkan kepala lalu mengusap air matanya.

"Lalu kenapa?" Tanya Arif bingung. Atika tersenyum "apa kakak sudah memaafkan aku?" Tanya Atika. Arif hanya diam, dia sadar apa yang dilakukannya.

"Kau tidak punya salah apapun, aku yang seharusnya meminta maaf padamu" ujar Arif menunduk. Atika tersenyum bahagia mendengarnya.

"Bolehkah aku memelukmu?" Tanya Arif. Atika mengangguk cepat sebagai balasan. Arif bangkit dan memeluk Atika.

Sepersekian detik dunianya berubah, sebuah bayangan yang sangat nyata. Dia merasakan kerinduan yang mendalam kepada gadisnya dulu. Membayangkannya yang tersenyum kepadanya.

Atika menangis di dekapan Arif, ia merasakan kerinduan Arif tersalurkan kepadanya. Ia merasakan kerinduan seorang kakak kepada adiknya.
"Hani.. dia sangat merindukanmu".

"Kak aku ingin ke pantai".
"Ini untuk Hani"

  🌻سَهَّلَ اللهُ لَنَا خَيْرًا حَيْثُمَا كُنَّا-

Rahman Atika||ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang