11 - Ririn

136 70 20
                                    


Note:
Tulisan Italic Bold (Aaaa): Isi pikiran seseorang.

Semoga yang baca engga pada bingung ya.
Happy reading🌸

***

Aku berjalan lemah melewati gerbang sekolah sambil menghela napas keras.

Tadi pagi ketika sedang sarapan, terdengar suara ketukan di pintu rumah.

Mama membuka pintu dan tersenyum melihat sosok yang berdiri di depan pintu tersebut.

"Eh Bima. Ayo masuk. Kamu udah sarapan?"

"Bima udah sarapan tante. Bima cuma mau jemput Ririn."

Aku yang mendengar namaku dipanggil melongokkan kepalaku ke arah pintu rumah.

Mama kemudian menoleh kebelakang. "Rin, ada Bima ini. Mau jemput kamu. Kamu udah siap sarapan kan? Cepat pakai sepatu. Nanti Bima kelamaan menunggu. Ayo masuk dulu Bima."

Aku mengernyitkan keningku bingung sambil memakai sepatu.

"Ma, pa, Ririn berangkat ya," pamitku.

Aku langsung berjalan ke arah mobil Bima.

"Kamu ngapain jemput aku?" tanyaku ketika sudah duduk di sebelah Bima.

"Aku menjemput pacarku. Apa salahnya?" tanya Bima santai.

Aku mendengus mendengar jawabannya. "Kalau seperti ini yang ada aku makin dicecar sama fans-fansmu, Bim."

"Tidak akan, justru karena itulah aku menjemputmu. Biar mereka yakin kamu pacarku dan tidak macam-macam denganmu."

Aku tidak membalas lagi ucapan Bima. Kalau dibahas pun, Bima selalu punya sejuta jawaban untuk pertanyaanku.

Tiba-tiba Bima bersuara kembali, "Nanti aku jugabakalan nganterin kamu pulang ya."

"Engga mau," jawabku cepat.

"Kenapa?" tanyanya heran.

"Pokoknya engga mau. Ayolah Bim. Aku ingin menghabiskan masa SMA dengan biasa-biasa saja. Aku bahkan baru masuk, tapi sudah dikenal banyak orang karena berpacaran denganmu. Ah, maksudnya pura-pura pacaran denganmu."

"Aku tidak pura-pura pacaran denganmu."

Aku mengernyitkan dahi. "Tentu saja pura-pura. Kita tidak saling suka satu sama lain."

"Suka itu belakangan. Kau tidak tau kalau lama-lama dekat akan tumbuh benih-benih?"

Aku tertawa mendengar ucapannya. "Ugh, lebay."

Tiba-tiba nada suara Bima berubah menjadi serius. "Tapi aku serius, Rin. Emm, kau pasangan takdirku, tentu kedepannya kita akan lebih dari pacaran, menikah, berkeluarga. Karena ada kamu, tentu aku tidak bisa memilih pasangan lain," ucpnya sambil menatapku.

Tiba-tiba saja pipiku terasa panas. Aku mengalihkan pandanganku.

Masih terlalu cepat untuk membicarakan hal itu. Kami bahkan masih duduk di bangku sekolah. Masih remaja labil.

"Disini aja, Bim. Dari sini aku akan jalan sampai ke gerbang," ucapku terbata-bata.

"Hah? Engga-engga. Aku akan antar sampai ke parkiran."

Aku menekan perutnya dengan telunjukku. "Berhenti! Disini saja, Bim."

Namun reaksi Bima sungguh lucu. Dia memiringkan badannya ke kanan.

"Jangan di colek gitu, Rin. Geli. Sudah kamu tinggal duduk saja, kita sudah hampir sampai."

Mendengar itu aku langsung mendapatkan ide. Aku mengulurkan tanganku ke perutnya dan menggelitiknya.

GarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang