4 - Ririn

228 126 53
                                    

Note:
Tulisan Italic Bold (Aaaa): Isi pikiran seseorang.

Semoga yang baca engga pada bingung ya.
Happy reading🌸

***

"Apa-apaan tadi itu, Rin?" tanya Meta.

Kami sudah kembali ke kelas. Mata pelajaran matematika.

"Apanya?" tanyaku tidak peduli.

"Kak Bima tadi, kenapa tiba-tiba memegang tangan kamu?"

"Aku tadi hampir jatuh, Ta," jawabku asal.

"Tapi tadi kamu engga.."

"Hei kalian berdua, kalau masih mau bercerita keluar saja," ucap pak Edi kearah aku dan Meta.

Meta memutuskan menutup mulutnya rapat-rapat, walaupun rasa ingin taunya seperti akan meledak di dalam dirinya.

Jujur saja, aku pun bingung dengan sikap Bima tadi. Matanya menujukkan keterkejutan. Aku tidak sempat membaca isi pikirannya.

"Tapi kan, Rin. Kau lihat tatapan kak Fany tidak?"

Ah, sepertinya Meta belum jera dengan teguran pak Edi tadi.

"Astaga, siapa lagi itu? Kenapa kau cepat sekali tau orang-orang di sekolah ini?"

Meta hanya tertawa kecil.

"Aku memiliki kempuan pengintaian yang hebat," jawab Meta dengan nada serius.

Aku hampir tertawa mendengar jawaban Meta. Namun kuurungkan niatku mengingat di depan sana, Pak Edi si guru killer sedang menjelaskan rumus-rumus matematika yang membingungkan.

"Seperti itu kau bilang pengintaian? Yang iya kau kepo. Terus siapa itu kak Fany?" tanyaku dengan suara hampir berbisik.

"Itu loh, Rin. Perempuan yang menggebrak meja di kantin tadi."

"Terus, ada apa dengan tatapannya?" tanyaku pura-pura tidak tau.

"Seperti ingin menerkammu, hehe. Sepertinya kakak itu iri padamu, Rin. Menurut gosip-gosip yang kudengar, kak Fany sudah mengejar Bima dari kelas 10. Tapi sampai sekarang kak Bima tidak memperdulikannya."

"Ck, dasar tukang gosip. Sudahlah, aku tidak perduli, Ta. Perasaanmu saja mungkin."

"Aku bukan tukang gosip. Kau saja yang kuper, tidak tau perkembangan disekitarmu."

Aku mengangkat bahuku sedikit. Tidak perduli dengan perkataan Meta. Meta menghentikan pembicaraannya denganku setelah dipelototin pak Edi tadi.

Namun sepertinya mulut Meta seperti keran bocor. Hanya bertahan 15 menit dia mendengarkan dengan serius, setelah itu dia langsung berbicara lagi.

"Ah, aku sepertinya harus membeli kamera, Rin."

Aku tidak menjawab, hanya mentapnya bingung sambil mengerutkan keningku.

"Untuk masuk klub fotografi tentu aku harus punya kamera, Rin. Dasar mulutku ini, memotret dengan hp aja kadang objek yang kufoto blur. Aku hanya bisa selfie, Rin. Apa tidak ada ya klub untuk pecinta selfie sepertiku?"

Nah, ternyata benar tebakanku. Meta hanya asal bicara bilang kalau dia suka fotografi.

"Jujur saja pada kak Rio, Ta. Mungkin saja ada posisi lain yang diperlukan di klub fotografi. Tukang bersih-bersih klub mungkin."

Aku tertawa kecil ketika melihat muka asem Meta. Namun tawa yang kukira kecil ternyata sampai ke telinga pak Edi.

"Kalian berdua! Maju!" teriak pak Edi kepadaku dan Meta.

GarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang