21 - Bima

82 32 15
                                    

Note:
Tulisan Italic Bold (Aaaa): Isi pikiran seseorang.

Semoga yang baca engga pada bingung ya.
Happy reading🌸

***

Aku memasuki kantin bersama Rio dan Bagas. Saat itulah mataku melihat Meta dan Alin duduk di salah satu bangku kantin.

"Bas, pesenin ya. Aku duduk duluan. Terserah beliin apa, samain aja dengan pesananmu," ucapku pada Bagas.

Aku lantas berjalan menghampiri Meta dan Alin.

"Hai Meta, Alin," sapaku pada 2 wanita yang duduk di salah satu meja kantin.

Tumben sekali mereka tidak berasama Ririn. Pikirku.

"Kalian berdua saja? Kami bertiga boleh duduk disini?" tanyaku pada mereka berdua.

Mereka berdua menganggukkan kepala mendengar pertanyaanku barusan.

"Boleh kok kak. Duduk aja," ucap Alin padaku.

"Bagaimana ujian kalian? Lancar?" tanya Bagas pada mereka berdua sambil duduk di sampingku.

"Syukurlah lancar kak," jawab Meta.

Aku menyendokkan makanan yang dibawa Bagas sambil menimbang di dalam kepalaku.

Aku penasaran dimana Ririn. Sudah hampir satu bulan aku tidak melihatnya.

Apa dia masih sering duduk di kelas ketika jam istirahat? Namun saat ini sudah tidak ada Fany. Apa yang ditakutkannya?

"Emm, omong-omong, Ririn apa kabar?" tanyaku sambil meyendokkan makananku.

Aku mencoba terlihat tidak terlalu peduli. Namun sepertinya 4 orang di depanku tau apa yang kulakukan.

"Kabar baik, Kak," jawab Meta.

"Sudah beberapa minggu ini aku tidak melihat Ririn. Dia dimana?" tanyaku lagi.

Meta dan Alin saling pandang. Rio dan Bagas yang duduk di sampingku juga sedikit gelisah.

"Sudahlah, Bim. Kau pikirkan saja Nadin," ucap Rio sedikit ketus padaku.

Aku menatap Rio heran. "Aku hanya menanyakan kabarnya. Sudah lama aku tidak melihatnya, hanya itu."

"Ririn.. sudah pindah sekolah kak," ucap Alin.

Sontak Meta, Rio, dan Bagas melotot pada Alin.

Aku terkejut mendengarnya, "Pindah sekolah? Kemana?"

"Keluar kota, kebetulan ayah Ririn dimutasi ke daerah lain."

"Kapan?"

"Kurang lebih 2 minggu yang lalu."

Aku meletakkan sendokku dan menatapnya kosong.

Aku bahkan tidak sempat berpamitan dengan Ririn. Atau aku tidak sempat meminta maaf padanya.

Aku yang mengatakan akan menunggunya, namun aku jugalah yang meninggalkannya.

Aku langsung mengeluarkan ponselku dan mengetik nama Ririn di kontak.

Namun tiba-tiba saja Bagas merampas ponselku.

"Apaan sih, Bas? Kembalikan," ucapku sambil mengulurkan tanganku.

"Untuk apa?" tanya Bagas.

"Aku hanya ingin berpamitan padanya," ucapku.

"Tidak perlu, Bim."

Aku sedikit emosi melihat tingkah Bagas. "Apa urusannya denganmu? Terserahku ingin menghubunginya atau tidak."

Bagas kemudian meletakkan ponselku ke depanku dengan keras. "Oke, terserahmu. Hubungilah Ririn dan buat dia semakin terluka."

GarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang