1 - Ririn

406 167 109
                                    

Note:
Tulisan Italic Bold (Aaaa): Isi pikiran seseorang.

Semoga yang baca engga pada bingung ya.
Happy reading🌸

***

Namaku Ririn. Hari ini hari pertama aku bersekolah di SMA Pelita. SMA yang kupilih dengan asal saja.

Aku tidak pintar, tidak juga malas. Aku hanya tidak tau apa yang ingin kukerjakan di masa depan. Apa yang benar-benar kusukai.

Aku merasa tidak ada yang bisa dibanggakan dari diriku. Tidak ada yang spesial. Mungkin itulah yang kupikirkan bulan lalu. Sampai kedua orang tuaku menceritakan rahasia turun temurun dari keluarga ayahku. Nanti akan kuceritakan rahasia itu.

Aku berjalan memasuki gerbang pintu masuk. Kulihat pak satpam yang memantau murid yang masuk ke gerbang, sambil sesekali tersenyum. Tampaknya dia senang melihat beberapa wajah baru yang memasuki gerbang sekolah. Sambil berjalan, aku pun melempar senyum ke bapak itu.

SMA Pelita termasuk sekolah favorit di daerahku. Sekolah tersebut cukup besar. Setelah melewati gerbang sekolah, disebelah kiri terdapat parkiran mobil, dan di sebelah kanan parkiran sepeda motor.

Setelah melewati parkiran, terdapat pintu masuk ke dalam gedung sekolah. Terdapat 4 lantai disetiap sisi-membentuk persegi-, dan terdapat lapangan olahraga di tengah-tengah gedung.

Gedung di depanku merupakan gedung siswa. Kelas X dilantai 1, kelas XI dilantai 2, kelas XII dilantai 3, dan laboratorium di lantai 4. Bagian paling kanan gedung terdapat jalan kecil yang menuntun kita ke kantin, aula, taman, dan beberapa rumah ibadah.

Aku sudah terbiasa dengan pemandangan di depanku. Sebelumnya, sudah 3 hari aku mengikuti MOS-masa orientasi sekolah- di sekolah ini.

Aku terus berjalan melewati lapangan olahraga dan berjalan ke arah aula. Hari ini seluruh siswa baru dikumpulkan di aula. Kami belum diberikan pembagian kelas, sehingga barang bawaan kami akan diletakkan di aula, kemudian kami mengikuti upacara.

Aku sudah berdiri di barisan para murid-murid baru. Upacara sebentar lagi mulai. Aku menolehkan kepala kepenjuru barisan. Ketika kepalaku menoleh kekanan, pundak sebelah kiriku ditepuk. Lantas aku menolehkan kepala. Kulihat seorang perempuan dengan rambut sepundak, membungkuk memegangi lututnya sambil terengah-engah.

"Kamu kenapa lama sekali datangnya? Kukira kau tidak masuk dihari pertama kita sekolah," ucapku padanya.

"Haduh Rin, jam dikamarku mati. Kau tau, orang tuaku sedang diluar kota saat ini. Kukira masih jam 5, ternyata sudah terang sekali di luar kamar."

"Pembantu di rumahmu tidak membangunkanmu? Kau bilang pembantu di rumahmu banyak?"

"Mereka kira aku sudah berangkat dari tadi. Mereka asik memasak di dapur. Ketika aku tergopoh-gopoh turun, barulah mereka ikut panik. Mau marah pun aku sudah tidak sempat."

Aku tertawa pelan mendengar penjelasannya. Namanya Meta, teman pertamaku di SMA Pelita. Meta terbilang anak orang kaya. Kedua orangtuanya sering berpergian keluar kota, mengurus bisnis keluarga mereka. Meskipun begitu, Meta tidak kekurangan kasih sayang kedua orang tuanya.

"Pakailah dasimu. Sebentar lagi upacara mulai. Kau tentu tidak mau diawal masuk sudah dihukum ke tengah lapangan," ujarku mengingatkannya.

Meta langsung merogoh kantong roknya dan mengeluarkan dasi. Secepat mungkin memakaikannya di kerah bajunya.

Setelah beberapa waktu, upacara tersebut telah selesai. Murid baru diarahkan ke aula untuk pembagain kelas.

"Ku harap aku bisa sekelas dengamu Rin," ucap Meta.

"Aku pun berharap begitu. Kau tau, aku sangat sulit dekat dengan orang baru. Entah bagaimana aku bisa langsung klop dengamu," ucapku tertawa.

"Ya, aku tau kau culun. Makanya aku ingin berteman denganmu. Aku ingin masa masa SMA ku biasa saja. Tidak banyak drama."

"Asal kau tau, aku tidak culun Meta. Aku hanya pendiam. Ingat itu. Pendiam," ucapku padanya.

Meta tertawa kecil mendengar perkataanku. "pendiam? Sepertimu? Oh, tentu tidak. Kau sangat cerewet. Kau harus tau itu."

Aku hendak membantah perkataan Meta saat kudengar suara laki-laki berteriak dari arah pintu aula.

"Hei, kalian, cepat sedikit kalau berjalan. Tidak perlu berjalan bak model seperti itu," ujarnya sambil menujuk ke arah aku dan Meta. 2 orang temannya tertawa mendengar perkataannya.

Kami berdua langsung menoleh kebelakang. Melihat siapa yang dimaksud laki-laki tersebut.

"Hei, kalian berdua. Kalian. Kenapa lihat kebelakang? Tinggal kalian yang belum masuk aula. Lari!" teriaknya lagi.

Memang sudah tidak ada siswa lagi —yang mengarah ke aula— dibelakang kami. Kami sontak lari menuju pintu aula.

Begitu kami masuk ke aula, pintu aula tersebut di tutup. Kami berdua langsung duduk ke bangku kami. Kami mendengarkan penjelasan dari kepala sekolah. Tidak lama kemudian, pembagian kelas pun dimulai.

Aku—untungnya—sekelas dengan Meta. Kami ber-tos ria ketika nama kami berdua ada di daftar kelas X-5. Kami berdua kemudian mengambil tas dan hendak ke kelas kami.

Saat akan keluar aula, mataku langsung terarah kearah laki-laki yang meneriaki kami tadi. Dia dan 2 orang temannya masih setia berdiri disamping pintu sambil melihat murid-murid baru yang akan keluar aula sambil sesekali saling berbisik. Mereka ingin mencari junior junior yang cantik sepertinya. Ingin didekati. Kebisaan senior.

Saat melewati pintu aula, kulihat laki-laki tersebut. Tubuhnya tinggi, tinggiku hanya sedadanya mungkin. Rambutnya tidak terlalu panjang, tidak juga terlalu rapi. Sekilas aku melihat matanya, coklat. Mata sangat penting dikehidupanku. Hal-hal yang mungkin tidak disangka orang. Semuanya berawal dari mata.

"Ada apa kau lihat-lihat? Naksir padaku?" ucapnya tiba-tiba.

Aku mengalihkan pandanganku dan terus jalan di samping Meta.

"Hei, kau. Tas biru," ucapnya lagi sambil menujuk ke arahku.

"Saya kak?" aku mengarahkan jari telunjukku ke dada. Bingung.

"Tentu saja kau. Kau yang dari tadi melirikku. Ada apa? Kau naksir?" tanyanya dengan pede. Tasku sudah ditarik sehingga aku sudah tidak di dalam kerumunan lagi. Meta berdiri di sampingku. Menemani.

Apa-apaan laki-laki ini. Kepedean sekali.

"Tentu tidak kak. Aku tidak ada melirik dan naksir kepada kakak," jawabku dengan wajah dan intonasi datar.

Jawabanku membuat dua orang temannya tertawa. Mukanya merah mendengar jawabanku.

Aku akui. Wajahnya tampan untuk seumuran kami. Bahkan di dalam aula tadi Meta berkali-kali menunjuk laki-laki ini dan menyebutnya kakak kelas ganteng.

Tapi entahlah, aku tidak ingin terlalu cepat suka dengan laki-laki. Sikapnya barusan membuatku tambah tidak suka.

Mungkin karna aku dan Meta meliriknya di dalam aula, dia merasa aku selalu memperhatikannya. Padahal hanya dua kali aku meliriknya. Diaula dan di jalan keluar aula tadi.

"Wah, hebat sekali adik ini. Biasanya kalau Bima mengatakan hal itu, wanita langsung histeris," ucap kawannya yang berdiri di sebelah kirinya sambil masih tertawa.

"Tentu saja dia tidak histeris, dia masih siswa baru. Apa adik ini yang ingin kau dekati, Bim?" tanya kawannya yang berdiri di sebelah kanan.

"Tentu saja tidak. Untuk apa aku naksir dengan perempuan ini. Pergi sana."

Tanpa disuruh dua kali aku menarik tangan Meta dan menuju kelas kami.

Ada yang beda dengan laki-laki tersebut. Matanya, aku yakin telah menatap matanya. Tapi aku tidak bisa membaca pikirannya. Ada apa ini?

To be continued...

GarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang