5 - Bima

227 118 52
                                    

Note:
Tulisan Italic Bold (Aaaa): Isi pikiran seseorang.

Semoga yang baca engga pada bingung ya.
Happy reading🌸

***

Namaku Bima. Aku kelas 2 SMA.

Dari kecil ada satu hal yang membuatku dicap sebagai anak gila, pembuat onar, dan masih banyak lagi.

Ketika SD aku sering bertengkar dengan teman sekelasku.

Ketika aku menjelaskan alasannya, anak yang bertengkar denganku mengatakan tidak mengucapkan hal tersebut.

Aku bersikukuh mendengarnya. Namun teman-teman kelasku pun mengatakan tiba-tiba saja aku memukul temanku.

Orang tuaku sering dipanggil ke sekolah, untuk menghadap kepala sekolah. Bahkan beberapa kali aku harus pindah sekolah.

Saat itu aku masih terlalu kecil, masih belum tau apa yang sebenarnya terjadi.

Sampai ketika aku sudah mulai remaja, tepatnya ketika aku kelas 1 SMP, tante Nisa menjelaskan semuanya padaku. Tentang kemampuan yang turun temurun ada di garis keluarga kami.

Cukup lama aku mencoba membiasakan diri terhadap kemampuanku.

Hanya dengan sentuhan tangan selama 3 detik, aku bisa membaca pikiran orang tersebut.

Karena hal itulah aku tidak bisa mendekati wanita, juga tidak suka disentuh oleh siapapun.

Terlebih, tante Nisa pernah menjelaskan tentang garis takdirku. Tentang perempuan yang akan menjadi pasanganku.

***

"Bim, ayo dong. Kau tinggal duduk saja, tidak perlu ikut percakapan. Kau tentu tau, gadis itu langsung menarik perhatianku dari kegiatan MOS," rengek Rio kepadaku.

Saat ini jam istirahat sekolah. Aku keluar kelas sambil diikuti rengekan Rio.

"Memangnya kau yakin Meta akan ke kantin sekarang?" tanya Bagas kepada Rio.

"Aku kan hanya berjaga-jaga. Misalnya Bas. Kutekankan kembali. Semisalnya, Kita berjumpa dengan Meta dan Ririn di kantin, kita harus duduk satu meja dengan mereka, agar aku bisa memulai percakapan dengan Meta," ucap Rio menjelaskan kepada Bagas.

"Sudah seminggu ini kau merengek begitu. Hentikanlah, kau seperti anak gadis saja," ucap Bagas yang berjalan disampingku.

Rio tidak menggubsir omongan Bagas lalu mengalihkan pandangan kepadaku.

"Ah, terserah kau saja," ucapku tidak acuh.

Sudah seminggu Rio berangan-angan berjumpa dengan Meta. Keinginannya belum juga terjadi. Namun sepertinya hari inilah keinginan Rio terkabul.

Rio sibuk menyikut perutku, "Bim, ada mereka Bim. Kita duduk bareng mereka ya? Hari ini kalian mau makan apa? Aku yang traktir."

"Deal!" ucapku dan Bagas serentak.

"Kau yang bilang dong, Bim," bisik Rio kepadaku.

"Bilang apa?" tanyaku sambil membawa nasi goreng ditanganku.

"Kita duduk bareng mereka," ucap Rio menjelaskan lagi.

Aku mengibaskan tanganku yang sedang tidak memegang piring, "Gak! Kau sajalah, kau yang ingin kenalan. Kenapa aku dan Bagas yang susah sih."

"Tolonglah. Ya? Kau tau Bagas seperti kayu begitu. Datar. Dia tentu tidak akan mau. Besokpun kau dan Bagas akan ku traktir. Gimana? Deal?" tanya Rio kepadaku.

GarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang