26 - Ririn

60 21 9
                                    

Note:
Tulisan Italic Bold (Aaaa): Isi pikiran seseorang.

Semoga yang baca engga pada bingung ya.
Happy reading🌸

***

Aku menatap Meta dan Rio yang sedang berfoto sambil menunjukkan cincin pertunangan mereka. Aku langsung menatap cincin di jari manisku.

Cincin ini bukanlah cincin tunangan, hanya cincin pengikatku dan Dimas. Namun, dalam beberapa bulan kedepan, aku dan Dimas sudah merencanakan sebuah pertunangan.

Mataku kemudian mencari keberadaan Dimas.  Dimas sedang berbicara dengan Bagas, dan juga Bima. Seketika hatiku berbedar kembali. Hal ini tentu salah. Sangat salah bahkan.

Saat melihat Bima dengan Nadin waktu itu, aku seketika sadar bahwa posisiku dan Bima sudah sebagaimana mestinya. Bima bersama Nadin dan aku bersama Dimas.

Namun aku penasaran dengan satu hal. Apa Bima tau bahwa umur Nadin tidak akan lama lagi?

Saat itulah mataku mengikuti pergerakan Bima. Ia mengambil ponselnya lalu buru-buru bangkit dari duduknya. Ia berbicara sebentar dengan Dimas dan Bagas lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

Aku menatap kepergian Bima dengan heran. Namun, aku tidak terlalu ambil pusing.

Setelah beberapa waktu, acara pertunangan tersebut selesai. Aku, Alin, Fany, dan Dita lantas berjalan keluar rumah Meta dan menghampiri Dimas dan Bagas.

"Kalian mau jenguk Nadin engga?" tanya Bagas pada kami berempat.

"Nadin? Yang kita jumpai di kafe waktu itu?" tanya Dita.

Aku menganggukkan kepala. "Aku ikut saja. Kalau kalian mau menjenguk aku ikut."

Aku kemudian menatap Dimas, sepertinya ia masih menimbang untuk menjenguk Nadin atau tidak. Namun, sepertinya Dimas ingin bertemu Nadin. Bagaimanapun, Nadin adalah sahabatnya dulu.

Setelah berembuk cukup lama, kami berenam kemudian pamit pada Meta dan Rio lalu pergi ke rumah sakit dimana Nadin di rawat.

***

"Bagaimana keadaanya?" tanya Dimas pada Bima.

Bima mengusap wajahnya kasar. "Kritis. Padahal operasinya berjalan lancar," ucap Bima khawatir.

Dimas menepuk bahu Bima, mencoba untuk menenangkannya. Aku hanya terdiam sambil berdiri di ruang ICU.

Saat itu pintu ruang ICU terbuka menampilkan sosok Raka dan kedua orang tuanya.

"Oh? Kapan kalian sampai?" tanya Raka ketika melihat kami berenam.

"Baru saja," ucap Bagas.

"Kalian mau masuk?" tanya Raka pada kami berenam.

"Aku diluar saja. Kalian saja ya. Takutnya malah terlalu ramai kalau aku ikut masuk," ucap Dita.

Dita tidak terlalu mengenal Nadin, jadi ia menarik diri agar kami semua bisa menjenguk Nadin.

"Yang masuk hanya bisa 3, jadi gantian ya," ucap Raka.

Kami menganggukkan kepala. Bagas, Dimas, dan Bima pertama. Setelah beberapa waktu berlalu mereka keluar untuk bergantian dengan Aku, Alin, dan Fany.

Aku menatap Nadin yang terbaring lemah didepanku. Saat itu tanpa sadar air mataku jatuh. Entah mengapa melihat Nadin yang terbaring lemah membuatku sedih.

GarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang