24 - Ririn

70 24 22
                                    

Note:
Tulisan Italic Bold (Aaaa): Isi pikiran seseorang.

Semoga yang baca engga pada bingung ya.
Happy reading🌸

***

Aku menatap jalanan di depanku sambil sesekali muncuri pandang kepada Bima yang sedang menyetir di sebelahku.

Bima sudah semakin dewasa. Perawakannya, cara berbicaranya. Namun, dia masih seperti Bima yang terakhir kali kukenal. Masih membuatku—sedikit—berdebar.

Aku menggelengkan kepalaku pelan. Gila kamu, Rin. Sebentar lagi bertunangan malah berdebar hanya dengan melihat sosok Bima.

"Apa kabarmu, Rin?"

Aku tersadar dari pikirianku. "Baik, Kak. Ah, Bim. Bagaimana denganmu?"

"Baik juga," ucap Bima sambil tersenyum.

Setelah itu? Hening. Lagi.

Ughh, apa yang harus kutanyakan padanya untuk menghentikan keheningan ini?

"Apa kegiatan kamu sekarang?" tanyaku berbasa-basi.

"Aku sebentar lagi wisuda."

"Wah, benarkah? Selamat ya, Bim. Omong-omong kamu jurusan apa?" tanyaku padanya. Aku sengaja menghindari kabar apapun tentang Bima dari Meta maupun dari Alin.

"Aku ambil kedokteran," ucapnya sambil menatapku.

Aku membuang mukaku, terkejut tiba-tiba Bima menatapku dengan lembut. "Hebat kamu. Cita-cita kamu tercapai," ucapku tanpa sadar.

Aku merutuki kebodohanku. Kenapa aku malah mengatakan hal itu. Cerita mengenai cita-cita bahkan sudah cerita lama, cerita ketika SMA. Bima bisa berpikir yang aneh-aneh bila sadar aku masih ingat dengan semua kata-katanya.

Namun Bima hanya tertawa kecil. "Ya, aku juga senang ketika diterima. Kamu tidak jadi ambil arsitektur?"

Ah, ternyata Bima juga masih ingat dengan ucapanku ketika masih SMA. Berarti ucapanku barusan tidaklah terlalu aneh baginya.

"Aku sadar bahwa nilaiku tidak memungkinkan," ucapku sambil tertawa. "Aku lalu memilih untuk sekolah pramugari."

Bima menganggukkan kepalanya. "Apa kamu masih suka menggunakan kekuatanmu?" tanyanya.

"Tidak, hanya sesekali mungkin. Hanya ketika dibutuhkan. Namun jarang sekali. Aku lebih memilih menjaga privasi orang sekarang. Bagaiamana denganmu?" tanyku padanya.

"Aku juga sama. Hanya beberapa kali. Ketika mentok menjawab pertanyaan ujian mungkin," ucap Bima tertawa pelan.

"Bohong," ucapku menatapnya tidak percaya.

Bima tertawa lagi. "Tentu saja bohong. Aku hanya menggunakan kekuatan ketika mengharuskanku menjabat tangan orang, atau tidak sengaja terpegang."

Aku tertawa pelan mendengar ucapannya. Tidak terasa perjalan tersebut sudah mengantarkanku ke depan rumah.

Mataku kemudian menangkap sebuah mobil yang sangat tidak asing. Mobil Dimas.

GarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang