14 - Bima

108 52 12
                                    

Note:
Tulisan Italic Bold (Aaaa): Isi pikiran seseorang.

Semoga yang baca engga pada bingung ya.
Happy reading🌸

****

Bima
Rin, lagi apa?

Ririn
Lagi baca novel. Kenapa?

Bima
Hari ini ada pergi?

Ririn
Engga ada, dirumah aja.

Bima
Pergi nonton mau?
Sekalian temenin beli kado buat mama.
Aku engga ngerti kalo urusan beli kado
Gimana?
Mau yaa?

Ririn
Jam berapa?

Bima
Ini aku mandi, mungkin sekitaran jam 2 aku gerak kerumah.

Ririn
Oke. Aku siap-siap kalo gitu.

Bima
Oke

Yes!
Aku langsung melempar hpku sembarangan, kemudian bergegas masuk ke kamar mandi.

Setelah kupikir-pikir. Aku tidak pernah benar-benar menunjukkan kalau aku suka dengan Ririn.

Setelah ada Dimas, aku kemudian menyadari kalau dia adalah sainganku.

Dimas menyukai Ririn. Aku tau itu. Naluri sesama laki-laki.

Ririn juga masih sering berdebar ketika bertemu Dimas. Aku harus membuat Ririn menyukaiku. Bagaimanapun caranya.

Aku kemudian menuruni tangga dan mengambil kunci mobil di atas meja dekat tv.

"Mau kemana Bim?" tanya mama padaku.

Aku menjawab sambil nyengir, "Ngedate ma."

"Loh, tapi kamu bilang kamu ketemu sama pasangan kamu itu? Kamu jangan jahat loh. Kasian kalo dia sakit-sakit karena kamu bandel."

Aku tertawa mendengar celotehan mama.

"Bima engga bandel kok ma. Malah ini mau jalan sama Ririn," ucapku.

"Wih, jalan bareng CALON ISTRI?" tanya Denis dari arah dapur.

Denis abangku. Beda 4 tahun dariku. Denis berkuliah di luar pulau. Sehingga jarang sekali dia ada dirumah. Paling hanya ketika libur kampus, seperti saat ini.

"Calon istri apaan. Masih SMA juga," ucapku kebingungan.

Calon istri? Ah, tidak-tidak. Masih kecil. Gaboleh ngebet banget.

"Ya kan nanti dia juga bakalan jadi calon. Kan katanya memang sudah takdirnya."

Aku mengibaskan tangaku. "Apaan sih bang. Masih kecil juga. Udah urus aja pacarmu. Jangan urusin aku."

Denis kemudian menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tv, duduk di sebelah mama.

"Nah itu dia, kamu enak Bim. Gaperlu nyari-nyari udah ada takdirnya, ceilah. Aku ini gimana? Perempuan aja gaada yang mau deket"

Aku dan mama tertawa.

"Ya makanya, muka itu jangan jutek banget. Perempuan juga takut mau deketin kamu bang," ucap mama.

Aku menyambung, "Harusnya abang yang deketin dong. Masa perempuannya yang ngedekatin."

Denis menatap malas padaku. "Halah. Sudahlah. Pergi saja kamu. Sana, hushhush," ucapnya sambil mengusirku.

Aku tertawa lalu pamit kepada mama lantas berjalan ke arah mobilku.

***

GarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang