Sumpah, Nazar, Saksi, Perbudakan
---
Pengertian Qasamah
(Fasal) menjelaskan hukum-hukum qasamah. Qasamah adalah beberapa sumpah atas pembunuhan. Ketika tuduhan pembunuhan bersertaan dengan lauts. Lafdz “lauts” dengan menggunakan huruf tsa’ yang diberi titik tiga. Lauts secara bahasa adalah lemah. Dan secara syara’ adalah qarinah (tanda-tanda) yang menunjukkan atas kebenaran penuduh dengan gambaran, qarinah tersebut menimbulkan dugaan atas kebenaran si penuduh di dalam hati.
Dalam istilah syara’, qasamah digunakan untuk arti sumpah dengan nama Allah swt karena adanya sebab tertentu, dengan bilanhan tertentu, untuk orang tertentu yaitu si terdakwa dan menurut cara tertentu.Arti qasamah menurut istilah para fuqaha adalah sumpah yang diulang-ulang di dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan, yang dilakukan oleh wali (keluarga si terbunuh) untuk membuktikan pembunuhan atas tersangka, atau dilakukan oleh tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan.
Pada gambaran inilah, mushannif memberi isyarah dengan perkataan beliau, “lauts tersebut menimbulkan dugaan kebenaran si penuduh di dalam hati.” Semisal korban pembunuhan atau sebagian anggotanya seperti kepalanya ditemukan di dusun yang terpisah dari kota yang besar sebagaimana keterangan di dalam kitab ar Raudlah dan aslinya kitab ar Raudlah. Atau korban ditemukan di desa luas yang dihuni oleh musuh-musuh korban dan tidak ada selain mereka di desa tersebut. Maka penuduh disumpah sebanyak lima puluh kali. Tidak disyaratkan sumpah tersebut diucapkan secara terus menerus menurut al madzhab. Seandainya antara sumpah-sumpah tersebut terpisah oleh gila atau pingsannya orang yang bersumpah, maka setelah sadar ia tinggal meneruskan sisa dari sumpah yang sudah diucapkan, jika qadli yang menjadi juru hukum saat sumpah qasamah yang sudah diucapkan tersebut belum dipecat. Sehingga, jika qadli tersebut telah dipecat dan telah diganti qadli yang lain, maka wajib mengulangi sumpah qasamah-nya lagi. Dan ketika penuduh telah bersumpah, maka ia berhak mendapatkan diyat. Sumpah qasamah tidak berlaku dalam kasus memotong anggota badan .Dan jika di sana tidak terdapat lauts, maka bagi orang yang tertuduh harus bersumpah. maka ia bersumpah sebanyak lima puluh kali.
HUKUM DI SYARIATKANNYA QASAMAH
Qasamah merupakan salah satu cara pembuktian yang berlaku pada zaman jahiliah. Setelah Islam datang, Nabi mengakui dan menetapkannya (qasamah) sebagai salah satu alat bukti yang sah untuk tindak pidana pembunuhan. Hal ini dijelaskan dalam beberapa hadis Nabi.
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Salamah;
“Dari Abi Salamah ibn Abdurrahman dan Sulaiman ibn Yasar dari seorang laki-laki sahabat Nabi saw kelompok Anshar, bahwa sesungguhnya dari Nabi saw menetapkan qasamah (sebagai alat bukti) sebagaimana yang berlaku di zaman jahiliyah
PENGGUNAAN QASAMAH
Para ulama sepakat bahwa qasamah hanya digunakan untuk tindak pembunuhan, bukan yang lainnya. Hanya saja mengenai kapan digunakannya qasamah, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, qasamah digunakan apabila pelaku (pembunuh) tidak diketahui. Apabila pelakunya diketahui maka pembuktiannya tidak menggunakn qasamah, melainkan menggunakan cara-cara pembuktian biasa.
SYARAT-SYARAT QASAMAH
Qasamah tidak bisa digunakan sebagai alat bukti kecuali apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
Kematian yang dialami oleh korban merupakan akibat tindak pembunuhan, baik karena pelukaan, pemukulan, pencekikan, maupun lainnya. Apabila tidak ada bekas-bekas atau tanda-tanda pembunuhan maka tidak ada qasamah dan tidak ada diat.
Jumhur ulama selain Hanafiah mensyaratkan adanya lauts atau petunjuk yang mengarah kepada pelaku pembunuhan, seperti ditemukannya jasad korban di halaman rumah musuhnya. Apabila tidak ada lauts maka tidak ada qasamah. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan adanya lauts, melainkan cukup ditemukannya mayat dan ada bekas pembunuhan.
Hanafiyah mensyaratkan terdapatnya sebagian besar dari jasad korban di tempat kejadian. Apabila yang ditemukan hanya satu anggota badan saja, tidak ada qasamah dan tidak ada diat. Apabila terdapat separuh badan berikut kepalanya maka berlaku qasamah dan diat. Akan tetapi, apabila hanya ditemukan kepalanya saja maka tidak ada qasamah dan tidak ada diat. Sedangkan ulama yang lain tidak mensyaratkan hal ini.
Imam Abu Hanifah mensyaratkan bahwa pembunuh tidak diketahui. Apabila pembunuh diketahui maka tidak ada qasamah. Akan tetapi menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad untuk diberlakukannya qasamah, justru pembunuh harus diketahui berdasarjan adanya petunjuk (lauts). Apabila pembunuh tidak diketahui maka qasamah tidak dapat digunakan.
Keluarga korban mengajukan tuntutannya kepada tersangka.
Tuntutan yang diajukan keluarga korban tidak boleh bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Misalnya sebagian wali (keluarga) menuntut bahwa pembunuhnya A, tetapi keluarga yang lain menyatakan bahwa pembunuhnya B. Jika pertentangan dalam tuntutan itu terjadi maka qasamah tidak bisa digunakan.
Tersangka mengingkari perbuatan pembunuhan tersebut. Apabila pelaku pembunuhan mengakui prbuatannya maka qasamah tidak dapat digunakan, karena sudah ada alat bukti pengakuan.
Imam Abu Hanifah mensyaratkan adanya permintaan agar kasus pembunuhan tersebut dibuktikan dengan qasamah. Hal ini karena qasamah itu merupakan sumpah dan sumpah adalah hak penuntut yang dapat dipenuhi dengan permintaannya. Itulah sebabnya dalam qasamah, kesempatan pertama diberikan kepada keluarga korban, karena sumpah adalah hak mereka. Mereka berhak memilih dan menentukan orang-orang yang diduga sebagai tersangka pelaku pembunuhan dan meminta keluarga mereka yang baik-baik untuk bersumpah.
Imam Abu Hanifah juga mensyaratkan bahwa tempat mayat korban ditemukan adalah milik seseorang atau dalam kekuasaan seseorang. Apabila tempat (tanah) tersebut bukan milik seseorang atau bukan dalam kekuasaan seseorang maka tidak ada qasamah dan tidak ada hukuman diat. Apabila mayat korban berada di tempat yang digunakan untuk kepentingan umum maka tidak wajib qasamah, tetapi diat wajib dibayar dari baitul mal.
{Hadis Riwayat Ahmad, Muslim, dan Nasa’i}
TUJUAN DISYARIATKANNYA QASAMAH
Qasamah disyariatkan dalam rangka memelihara jiwa, sehingga dalam keadaan bagaimanapun pembunuhan itu harus tetap diselesaikan, dibuktikan, dan ditetapkan hukumannya. Dengan demikian qasamah merupakan suatu jalan keluar untuk menyelesaikan suatu kasus pembunuhan, dimana tidak terdapat bukti berupa saksi atau pengakuan.
CARA PELAKSANAAN QASAMAH
Qasamah adalah suatu cara pembuktian dengan menggunakan sumpah yang dilakukan (diucapkan) oleh lima puluh orang. Akan tetapi kepada siapa sumpah itu diberikan pertamakali, apakah kepada penuntut atau terdakwa, para ulama berbeda pendapat.
Menurut Hanafiyah, sumpah diberikan pertamakali kepada terdakwa, yaitu penduduk tempat ditemukannya mayat korban. Hal ini karena sumpah itu harus dilakukan oleh terdakwa yang dipilih dan ditunjuk oleh keluarga korban. Penuntut (keluarga korban) memilih orang-orang yang diduga sebagai pelaku pembunuhan, dan mereka sebanyak lima puluh orang, masing-masing bersumpah, dengan mengatakan:
“Demi Allah, saya tidak membunuhnya, dan saya tidak tahu siapa pelaku pembunuhan itu.”
Mereka beralasan dengan hadis yang diriwayatkan oleh bukhari dan Muslim (Muttafaq Alaih):
Dan didalam riwayat Muttafaq Alaih: maka Nabi berkata kepada mereka (Muhaishah dan Huwaishah): “kamu sekalian harus mendatangkan saksi atas orang yang membunuhnya.” Mereka berkata: “kami tidak memiliki saksi.” Nabi berkata: “kalau begitu mereka (penduduk setempat) harus bersumpah.” Mereka berkata: “kami tidak suka dengan sumpahnya orang Yahudi” maka Nabi tidak mau membatalkan kasus pembunuhan tersebut, dan akhirnya Nabi membatar diat sebanyak 100 ekor unta yang diambil dari unta zakat.
Apabila mereka (penduduk setempat) mau bersumpah maka diputuskan mereka harus membayar diat kalau pembunuhnya sengaja, dan apabila pembunuhnya tidak sengaja (al-Khata’) maka diat dibebankan kepada keluarga penduduk setempat. Apabila mereka tidak mau (enggan) bersumpah maka mereka ditahan (dipenjara) sampai mereka mau bersumpah.
Menurut Malikiyah, suafi’iyah, dan Hanabilah serta Dawud Azh-Zhahiri, qasamah pertamakali diberikan kepada keluarga korban. Mereka bersumpah lima puluh kali atau lima puluh orang yang menyatakan baha mereka (terdakwa) telah membunuh korban. Lafaz sumpah bisa dengan:
“Demi Allah, yang tidak ada tuhan kecuali dia, yang mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”
Sumpah disyaratkan harus mantap dan pasti yang menyatakan bahwa tersangka melakukan pembunuhan itu sendiri, atau bersama-sama dengan orang lain, ia melakukannya dengan sengaja atau karena kesalahan (tidak sengaja).
Pendapat jumhur ini didasarkan pada hadis Sahl ibn Abi Hatsmah, yang didalamnya disebutkan:
Nabi berkata: “apakah kalian mau bersumpah dan kalian berhak atas orang yang membunuh teman kalian…” Hadis ini menjelaskan bahwa kesempatan pertama untuk melakukan qasamah (bersumpah) diberikan kepada keluarga korban, bukan terdakwa.
Apabila para penuntut (keluarga korban) tidak mau bersumpah maka terdakwa diberi kesempatan untuk bersumpah sebanyak limapuluh kali sumpah. Kalau ia (tersangka) mau bersumpah maka ia dibebaskan dari tuduhan pembunuhan. Syarat-syarat untuk sumpahnya tersangka ini sama dengan syarat-syarat sumpahnya penuntut, yaitu sumpah harus mantap dan pasti bahwa ia tidak melakukan pembunuhan. Misalnya dalam sumpahnya ia mengatakan:
“Demi Allah, saya tidak membunuhnya, dan saya tidak turut serta dalam membunuhnya, juga tidak melakukan perbuatan yang menjadi sebab kematiannya, serta tidak menjadi sebab, dan tidak menjadi pembantu atas kematiannya.”
Apabila para penuntut tidak mau bersumpah dan mereka tidak menerima sumpahnya terdakwa maka para tersangka dibebaskan dari hukuman, dan diat dibayar oleh negara dari baitul mal menurut pendapat Imam Ahmad. Akan tetapi, ulama yang lain berpendapat dalam hal ini tidak ada diat.
Apabila para terdakwa menolak untuk bersumpah maka menurut satu pendapat didalam mazhab Hanbali, mereka harus ditahan, tetapi menurut pendapat lain tidak. Menurut Imam Malik, mereka (terdakwa) harus ditahan selama satu tahun. Apabila mereka tidak mau bersumpah juga maka mereka dibebaskan. Sedangkan Imam Syafi’i, apabila terdakwa menolak untuk bersumpah maka sumpah dikembalikan kepada para penuntut. Apabila mereka (penuntut) tidak mau bersumpah juga maka terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan. Akan tetapi apabila mereka (penuntut) mau bersumpah maka hukuman diterapkan kepada terdakwa.
Di atas telah dikemukakan bahwa sumpah dalam qasamah dilakukan oleh lima puluh orang. Menurut Imam Syafi’i, mereka (kelima puluh orang tersebut) terdiri atas semua ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, termasuk istri dan anak perempuan. Di dalam mazhab Hanbali ada dua pendapat. Pertama, sumpah dilakukan ahli waris laki-laki saja, baik dzawil furudh maupun ‘ashabah. Sumpah yang lima puluh itu dibagi sesuai dengan jumlah (banyaknya) ahli waris, tetapi tanpa pecahan. Kalau jumlah ahli warisnya sepuluh orang maka masing-masing ahli waris harus bersumpah sebanyak lima kali. Kedua, sumpah dilakukan oleh ahli waris ‘ashabah saja. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Malik. Hanya saja Imam Malik membedakan antara pembunuhan karena kesalahan dan pembunuhan sengaja. Dalam pembunuhan karena kesalahan, sumpah dilakukan oleh semua ahli waris korban, baik dzawil furudh maupun ‘ashabah. Sedangkan dalam pembunuhan sengaja, sumpah hanya dilakukan oleh ‘ashabah saja.
Menurut Imam Abu Hanifah, qasamah hanya dilakukan oleh laki-laki saja. Anak kecil dan orang gila tidak dibebani kewajiban melakukan qasamah, walaupun korban ditemukan diatas tanah miliknya dalam hal ini qasamah dibebankan kepada keluarganya (‘aqilah). Demikian pula perempuan tidak dibebani kewajiban qasamah, kecuali apabila korban ditemukan di rumahnya, dan tidak ada orang lain di dalamnya selain dia.
Sebagai akibat hukum dilaksanakannya qasamah adalah diwajibkannya diat, apabila pembunuhnya karena kekeliruan atau menyerupai sengaja. Ketentuan ini disepakati oleh para ulama. Apabila pembunuhnya sengaja maka hukuman yang harus dijatuhkan diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Imam Malik, dan qaul qadim dari mazhab Syafi’i, serta Imam Ahmad, hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman diat, baik pembunuhnya sengaja maupun tidak sengaja.
Menurut pendapat Achmad Wardi Muslich, pembuktian dengan qasamah merupakan suatu terobosan untuk menyelesaikan kasus pembunuhan yang tidak terdapat alat-alat bukti yang lazim, seperti saksi atau pengakuan. Karenanya hukuman yang tertinggi cukup dengan diat bukan dengan qishash.
Qishas
Qishash berasal dari bahasa Arab dari kata قِصَا صُ yang berarti mencari jejak seperti al-Qashâsh. Sedangkan dalam istilah hukum Islam berarti pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila membunuh maka dibalas dengan dibunuh dan bila memotong anggota tubuh maka dipotong juga anggota tubuhnya.Dapat disimpulkan Qishâsh adalah melakukan pembalasan yang sama atau serupa, seperti istilah “hutang nyawa dibayar nyawa”.
HIKMAH PENSYARIATAN QISHASH
Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan menumpahkan darah orang lain. Mewujudkan keadilan dan menolong yang terzhalimi dengan memberikan kemudahan bagi wali korban untuk membalas pelaku seperti yang dilakukannya kepada korban. Menjadi sarana taubat dan pensucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena qishâsh menjadi kaffârah (penghapus) dosa pelakunya
SYARAT KEWAJIBAN QISHASH Secara umum wali (keluarga) korban berhak menuntut qishâsh apabila telah memenuhi syarat berikut: Jinâyat (kejahatan) nya termasuk yang disengaja. Ini merupakan ijmâ’ para Ulama sebagaimana dinyatakan Ibnu Qudâmah rahimahullah : ‘Para Ulama berijmâ' bahwa qishâsh tidak wajib kecuali pada pembunuhan yang disengaja dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka dalam kewajiban qishâsh karena pembunuhan dengan sengaja, apabila terpenuhi syarat-syaratnya Korban termasuk orang yang dilindungi darahnya (‘Ishmat al-Maqtûl) dan bukan orang yang dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan pezina yang telah menikah. Hal ini karena qishâsh disyariatkan untuk menjaga dan melindungi jiwa. Pembunuh atau pelaku kejahatan seorang yang mukallaf yaitu berakal dan baligh. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: ‘Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama bahwa tidak ada qishâsh terhadap anak kecil dan orang gila. Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab udzur, seperti tidur dan pingsan.At-takâfu‘ (kesetaraan) antara korban dan pembunuhnya ketika terjadi tindak kejahatan dalam sisi agama, merdeka dan budak. Sehingga tidak diqishâsh seorang Muslim karena membunuh orang kafir;Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan) dengan ketentuan korban yang dibunuh adalah anak pembunuh atau cucunya
YANG BERHAK MELAKUKAN QISHASH
berhak melakukannya adalah yang memiliki hak yaitu para wali korban, dengan syarat mampu melakukan qishâsh dengan baik sesuai syariat. Apabila tidak mampu, maka diserahkan kepada pemerintah atau wakilnya. Hal ini tentunya dengan pengawasan dan naungan pemerintah atau wakilnya agar dapat mencegah sikap melampai batas dalam pelaksanaannya dan memaksa pelaksana menunaikannya sesuai syari’at
Kafarat
Wajib membayar kafarat bagi orang yang telah membunuh nyawa yang diharamkan secara sengaja, khatha’ atau syibh ‘amdin. Seandainya si pembunuh adalah anak kecil atau orang gila, maka wali keduanya harus memerdekakan budak dari harta keduanya. Kafaratnya adalah memerdekakan budak mukmin yang selamat dari cacat-cacat yang bisa berbahaya, maksudnya mencacatkan amal dan pekerjaan. Kemudian, jika ia tidak menemukan budak, maka wajib melaksanakan puasa dua bulan dengan perhitungan tanggal secara berturut-turut disertai niat kafarat. Tidak disyaratkan niat tatabu’ (berturut-turut) menurut pendapat al ashah (paling sahih)Kemudian, jika orang yang membayar kafarat tidak mampu untuk berpuasa dua bulan karena lanjut usia, terdapat kesulitan yang terlalu berat padanya sebab berpuasa, atau khawatir sakitnya bertambah parah, maka ia wajib membayar kafarat dengan memberi makan enam puluh orang miskin atau faqir.Masing-masing dari mereka ia beri satu mud bahan makanan yang cukup digunakan untuk zakat fitri. Tidak diperkenankan baginya memberi makan orang kafir, Bani Hasyim dan Bani Muthallib.
KAMU SEDANG MEMBACA
FATHUL QORIB ✔
ActionFathul Qorib Kitab Fikih Dasar Pesantren Salaf dan Modern Jelas dan Ringkas FIQIH PESANTREN Modern dan Salaf Tatacara wudhu, shalat, zakat, puasa, dan Haji Terimakasih kepada: 1. Meike Budi Saputri 2. Chusnul Farida 3. Mar'atus Sholihah 4. Fira 5. S...