22.Keputusan.

13.4K 688 32
                                    


Tiga hari berlalu, tanpa terasa sudah tiga hari Aila meninggalkan rumah mereka.

Dan sejak kepergian Aila, Yogi merasa seperti di neraka. Rasanya begitu sepi dan hilang. Seakan sesuatu yang penting untuknya telah lenyap. Rasa bersalah terus menghantuinya. Membuatnya hatinya merasa gelisah.

Yogi menatap kosong pada dokumen di mejanya. Dia tidak dapat lagi berkonsentrasi untuk berkerja, semua pekerjaanya menumpuk.

Pikirannya hanya di penuhi dengan sosok Aila. Kepergiaan Aila dari rumah seakan menyadarkanya akan pentingnya sosok Aila dalam hidupnya.

Yogi baru menyadarinya saat ini, bahwa cintanya pada Aila ternyata begitu dalam.

"Aila?" panggil Yogi begitu mendengar pintu kantornya perlahan terbuka.

Rasa kecewa menyelimutinya saat melihat sosok yang datang bukanlah Aila tapi Gavin sahabatnya.

Yogi segera mengalihkam pandangannya menghiraukan kehadiran Gavin yang memasuki ruangannya. Gavin berjalan mendekatinya.

"Kenapa dengan ekspresimu? Apakah kau tidak mengharapkan kehadiranku?" Tanya Gavin dengan senyum jenaka. Namun senyumannya hilang saat melihat ekspresi suram Yogi.

"Ada apa?" Tanya Gavin dengan serius. Namun Yogi lagi-lagi mengabaikannya.

"Tadi kau memanggil Aila, apakah ini ada hubungannya dengan Aila?" Tubuh Yogi menegang saat mendengar nama Aila. Melihat reaksi Yogi, Gavin yakin dengan tebakannya. Pasti tebakannya benar, semua ini pasti terkait Aila, isteri sahabatnya itu.

"Apa yang terjadi pada Aila?" Untuk yang kesekian kalinya kesunyian sebagai jawaban pertanyaannya. Yogi tetap bungkam.

Gavin menghela nafas tampaknya masalah Yogi kali ini cukup berat. Apalagi saat Gavin melihat wajah kusut sahabatnya itu.

"Jangan bilang Aila tahu hubunganmu dengan Adinda?" Tubuh Yogi kaku matanya melintas dengan perasaan bersalah. Pertanyaan Gavin membuatnya kembali mengingat ekspresi terluka Aila.

"Ya Aila tahu semuanya." Yogi menjawab semua kecurigaan Gavin, tampaknya tebakan Gavin kali ini sangat tepat. Tapi meski begitu dia tetap merasa terkejut begitu mendapat konfirmasi dari Yogi.

"Bukankah sudah ku bilang sejak awal, jangan bermain api Gi, lalu bagaimana reaksi Aila dan hubungan kalian?" Tanya Gavin. Dia merasa sedikit marah karena Yogi yang tidak mendengarkan nasehatnya dan memutuskan semua hubungannya dengan Adinda sebelum terlambat.

Dan kini semua masalah bertambah rumit saat Aila telah mengetahui semunya.

"Aila pergi dari rumah Vin, dia memberikan waktu dan memintaku memilih." Jawab Yogi lesu.

"Lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya?"

"Aku tidak tahu." Yogi mengangkat bahu. Dia benar-benar bingung, dia berada dalam dilema. Sulit baginya untuk memilih karena dari awal dia tidak bisa memilih diantara Aila dan Adinda.

"Gi hidup itu adalah pilihan, kamu tidak bisa terlalu serakah dan ingin mendapatkan segalanya. Jadi pikirkan baik-baik dan putuskanlah sebelum kamu kehilangan kesempatan." Gavin mencoba memberikan nasehat pada sahabatnya itu. Gavin berharap kali ini, Yogi bisa mendengarkan nasehatnya dan berhenti membuat masalah untuk dirinya sendiri.

"Tapi aku tidak tahu harus memilih siapa Vin. Aku tidak mungkin meninggalkan Adinda saat Adinda tengah mengandung anakku tapi aku juga tidak mau kehilangan Aila." Yogi mengacak-ngacak rambutnya. Wajahnya tampak frustasi.

Gavin menatap simpati pada kondisi sahabatnya itu.

"Aku hanya ingin memberikan saran Gi, dengarkan kata hatimu siapa yang benar-benar kau cintai."

"Tapi aku mencintai keduanya."

"Kalau begitu bayangkan dalam pikiranmu diantara mereka berdua mana yang membuatmu paling merasa kehilangan dan nyaris gila jika salah satu dari mereka meninggalkanmu dan lenyap dari hidupmu, setelah itu kau akan menemukan jawabannya." Mata Yogi bersinar begitu mendengar saran Gavin.

Keningnya berkerut tampak berpikir keras akan keputusan yang di ambilnya nanti. Siapa yang bisa membuatnya paling kehilangan di antara dua wanita yang menghiasi hidupnya.

Siapa yang bisa membuatnya gila jika dia lenyap dari hidupnya.

Setelah berapa lama Yogi akhirnya mendapatkan jawabannya.

"Terima kasih Vin, aku tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya." Yogi tersenyum penuh syukur.

"Syukurlah, aku berharap kau dapat memutuskan yang terbaik Gi." Gavin balas tersenyum dan menepuk bahu Yogi memberinya semangat dan dukungannya.

Dan Yogi membalasnya dengan senyuman terima kasih. Dia senang masih mempunyai sahabat seperti Gavin yang mau mendengarkan semua masalahnya dan memberikan saran untuknya.

***********

Adinda berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya.

Hatinya merasa sangat cemas. Yogi belum menghubunginya lagi setelah kejadian itu.

Bahkan di saat ini dia tidak bisa melihat Yogi. Adinda merasa ketakutan, takut Yogi akan meninggalkanya.

Dia tidak bisa terus diam seperti ini. Dia harus segera menemui Yogi.

Adinda kemudian berganti baju setelah itu dia mengambil tasnya dan keluar kamar. Adinda baru saja keluar rumah saat sosok yang di pikirkanya yaitu Yogi kini ada di hadapanya.

Senyuman Adinda mekar saat melihat Yogi akhirnya datang menemuinya.

"Mas kamu kembali?" Kata Adinda bahagia.

"Ya."

"Aku baru saja mau menemuimu Mas, aku merasa sangat khawatir padamu." Adinda berkata dengan khawatir.

Matanya menatap Yogi dengan ekspresi kekhawatiran yang jelas.

"Maaf membuatmu khawatir."

"Tidak apa-apa Mas, aku senang akhirnya kamu datang, Mas pasti lapar aku akan segera menyiapkan makanan, ayo kita masuk ke dalam!" Adinda berkata dengan antusias dan  menggandeng mesra lengan Yogi menariknya memasuki rumah mereka.

"Tidak usah Din!" Tolak Yogi. Ucapan penolakan dari  Yogi membuat langkah Adinda terhenti, dia lalu langsung menoleh ke samping memandang Yogi.

Yogi melepaskan rangkulan tangan Adinda membuat senyuman Adinda membeku.

Hatinya merasa tidak nyaman karena sikap Yogi yang tidak biasa. Yogi bersikap seakan dia menolaknya.

"Kamu tidak usah menyiapkan makanan, ada sesuatu yang ingin ku katakan padamu." Kata Yogi dengan wajah serius.

Entah kenapa Adinda merasakan firasat buruk.

Adinda lalu mengikuti Yogi masuk ke rumah. Yogi duduk di sofa ruang tamu dan Adinda duduk di sampingnya.

"Sebentar Mas, aku akan membuat kopi kesukaan Mas, Mas pasti haus." Adinda beranjak hendak pergi tapi pergelangan tangannya di genggam erat membuat langkahnya terhenti.

"Duduklah Din! Aku ingin bicara." Kata Yogi serius. Adinda lalu duduk, jantungnya berdebar kencang.

"Ada apa Mas, kenapa wajahmu terlihat begitu serius?" Adinda tersenyum berusaha mencairkan suasana. Namun senyumnya terasa kaku saat Yogi menatapnya dengan tajam tanpa ekspresi.

"Din ayo kita bercerai!"

Bersambung.

Maaf kalau masih ada typo.

See you guys!!

Cinta Pertama, Pernikahan kedua.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang