Chapter Twelve / Emosional

1K 55 0
                                    

"Bagaimana kabar orang tua mu, Nak?"

Gara mendongak, memperhatikan pria paruh baya dengan tatapan lembutnya. Rambut hitamnya sedikit memutih di beberapa sisi. Tak menghilangkan kesan jiwa muda dalam dirinya yang menua.

"Alhamdulillah, semua baik Om."

"Alhamdulillah, jikalau seperti itu." Ayah menyeruput teh hangat yang tersaji di depannya.

"Kamu sendiri, ada urusan di perumahan sekitar rumah Om?" sambung Ayah kembali.

"Oh, jadi Om Agus tinggal di sekitar sini? Iya Om, saya ada urusan sebentar disini." Gara mengulas senyum tipis, enggan mengatakan jika dirinya baru saja mengantar salah satu mahasiswinya pulang.

Kedua lelaki berbeda usia itu kini menghabiskan waktu bersama di tenda pecel lele dekat masjid. Ayah Agus yang tadinya akan beranjak pulang, terhenti sesaat ketika melihat putra dari sahabatnya duduk di undakan tangga masjid.

Langsung saja Ayah Agus menyapa dan mengajaknya makan di tenda makan pinggir jalan. Beruntung, Gara tidak menolak. Pria berusia tiga puluh tahunan itu menerima tawaran makan di tenda makan dengan senang hati, kebetulan dirinya belum mengisi perut sejak siang.

Ayah mengangguk paham, "Selain mengajar, kabarnya Nak Gara ini juga seorang pengusaha, betul?"

Gara tersenyum malu, "Sebenarnya saya hanya meneruskan perusahaan Papa, Om. Kebetulan saya tidak sengaja mendengar jika ada yang membutuhkan tenaga pengajar di salah satu Universitas. Jadi saya mencoba kembali."

"Kembali? Jadi, sebelum ini Nak Gara sudah menjadi dosen?" Ayah menangkap kata sedikit janggal di kalimat Gara.

"Betul sekali, Om." Gara menjawab dengan tawa renyah.

"Waaah! Tidak heran, Om tidak pernah ragu akan keturunan Pramana." kelakarnya.

"Om Agus bisa saja."

"Semua ini berkat usaha diiringi doa orang tua. Saya tidak akan menjadi seperti ini jika tidak ada dukungan dari Papa dan Mama." penjelasan Gara membuat Ayah Agus terkesima.

"Dulu memang saya ingin menjadi seorang pengajar di Universitas. Namun, di satu sisi perusahaan Papa harus ada yang meneruskan, apalagi saya anak tunggal." Gara bercerita, pikirannya mengawang pada saat dirinya harus memilih pilihan yang berat.

Ayah Agus menepuk dua kali bahu tegap Gara. Memberikan seulas senyum tipis di bibirnya yang tak lagi kencang.

"Kau memang putra kebanggaan Pramana. Pantas saja, dulu ia selalu membanggakanmu di depan Om,--" Ayah menceritakan salah satu kesombongan Pramana pada putranya.

"--Mentang-mentang dulu Om masih belum memiliki anak, Pramana selalu menyombongkan dirimu yang dulunya masih kecil. Om kan jadi ingin memiliki anak juga." guraunya.

Gara tertawa kecil, "Benarkah Om? Saya tidak mengira dulu Papa suka pamer."

"Papa mu itu dulu jiwa mudanya selalu menggelora. Penuh ambisi dan tantangan, segala hambatan ia hantam begitu gigih. Kau tau, Nak? Asal mula perusahaan Papamu dapat sebesar ini?" tanya Ayah Agus di sambut gelengan Gara.

"Setau saya, perusahaan Papa dari Kakek yang Papa kelola hingga saat ini."

Ayah Agus menggeleng, "Tidak salah. Tidak sepenuhnya benar."

"Maksudnya Om?"

"Dulu, perusahaan itu sempat mengalami collabs. Pramana yang belum pernah merasakan sengatnya matahari terik dan tajamnya batu kerikil merasakan semua kesakitan itu. Dia harus banting tulang setelah pulang sekolah, koleksi motornya terpaksa ia jual demi menyambung hidup setelah kehidupannya terbalik. Apalagi saat itu, Nenekmu sempat syok dan sakit sebab masalah perusahaan."

Yes, Mr Lecturer!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang