Part 37: Retak

107 29 0
                                    

Lima Hari kemudian.

Bandara Soekarno Hatta, Jakarta...

Tak terasa hari ini perlombaan sudah resmi ditutup. Walaupun tim Zara tidak meraih juara umum, setidaknya mereka meraih juara harapan satu dalam perlombaan yang melibatkan kampus se-Asia Tenggara ini.  Rena  memutuskan untuk menetap di Beijing dua hari lebih lama guna bertamasya. Zara sendiri sebenarnya sangat tergiur dengan ajakan mereka, sayangnya hatinya terlampau merindukan Rey. Setiap malam ia hanya bisa memandangi foto Rey sembari mencurahkan rasa rindu itu melalui tarian tinta di atas hamparan kertas. Pasalnya selama perlombaan berlangsung, para peserta dilarang memegang ponsel supaya fokus terhadap perlombaan yang ada.

Pesawat yang Zara tumpangi mendarat di bumi Jakarta pada pukul 16.00. Dengan bersemangat Zara melangkah ringan menuruni tangga pesawat, matanya sibuk menjelajahi pemandangan di depannya, mencari keberadaan Rey di antara kerumunan manusia. Sayangnya, nihil. Zara merasa sedikit kecewa sekarang, Rey bilang melalui pesan whatsappnya siang tadi bahwa ia akan menunggu Zara tepat di lobi bandara.

Zara berusaha menghibur diri dengan membeli ice cream coklat dan menikmatinya di ruang tunggu. 'Mungkin Rey sedang ada urusan mendadak,' hiburnya Zara seorang diri. Zara melirik ponselnya berharap ada panggilan masuk dari Rey.

Satu jam berlalu dan Zara masih belum beranjak dari tempat dudukknya. Rey juga tidak menghubungi Zara sama sekali. Terpaksa Zara yang menghubunginya terlebih dulu. Zara mendesah kecewa ketika hanya suara operator yang menyapa panggilannya dari ujung sana, bukan Rey Hirano. Padahal Zara sangat ingin mengenalkan Rey pada seseorang yang baru saja tumbuh dalam rahimnya. Zara mengelus pelan perut ratanya, berharap yang di dalam sana tidak ikut merasakan kesedihan ibunya itu.

Zara menggeliat pelan lalu memijit tengkuknya yang terasa pegal akibat tertidur pulas di atas sofa dengan kepala menyandar pada pegangan sofa yang tinggi. Matanya melirik pada jam dinding. Ia mendesah kecewa ketika mengetahui bahwa hari sudah menunjukkan esok, sedangkan Rey belum juga kembali. Ia menatap nanar dekorasi sederhana yang ia buat di sekeliling ruang tamu guna merayakan hari ulang tahun Rey. Belum lagi kue tart green tea yang ia buat hampir seharian dengan bantuan profesor youtube. Ia melirik layar ponselnya, berharap ada notifikasi panggilan dari Rey, pesanlah minimal, tapi kenyataannya nihil. Diusapnya lembut kotak yang berisi kado ulang tahun istimewa untuk Rey yang sudah ia persiapkan sejak masih di China.

Lelah dengan penantiannya, Zara pun bangkit dan memutuskan untuk berangkat ke kampus, mengingat jadwal kuliahnya hari ini cukup padat. Tak lupa ia menyiapkan sandwich sayur mix daging kalau saja Rey pulang dan merasa lapar. Sebuah note kecil bertengger manis di sisi piring saji, 'Happy breakfast' tulis Zara di atas note itu.

Diwangkara University...

Zara bersikeras memutar otaknya menuju mode auto fokus. Hari ini ialah hari terakhirnya masuk kelas, karena minggu besok ia harus mengikuti ujian semester. Meski sudah berusaha fokus, otaknya masih saja terasa bebal, kekecewaannya pada Rey semakin asyik menghantui pikiran Zara. Kemana saja ia pergi? Dengan siapa ia pergi? Bagaimana keadannya?

"Oi!" Shelin merangkul bahu Zara sembari menoel gemas pipinya yang belakangan ini makin membulat. "Yang habis temu kangen sama misua cek!!!"

Zara melengos tanpa memerdulikan ocehan Shelin. Padahal, sebenarnya banyak sekali hal yang ingin ia ceritakan padanya. Shelin yang merasakan adanya keganjilan pada sahabatnya itu kemudian memasang wajah serius. "My Ara! coba cerita masalah kamu ke Shelin."

"Ngaco. Kayak dukun aja," elak Zara dengan tatapan super dingin.

Shelin mengacungkan jempolnya pada Zara, isyarat kata iya. "Buktinya aku bisa tahu kalau sahabatku ini lagi punya masalah."

Zara melirik layar ponselnya, kembali ia mendesah kecewa mendapati Rey tidak mengabarinya sama sekali. Ia menatap Shelin yang kini tengah menantikan kisah dari Zara. "Pernah nggak kamu dijanjiin sesuatu sama cowok yang kamu cinti tapi malah diingkari?

Akhirnya Zara mulai terbuka.

"Pernah," jawab Shelin singkat, ia ingin memberikan Zara akses lebih banyak untuk bercerita.

"Rey juga," Zara menghembuskan nafasnya dengan kasar lalu menunduk. "Aku harus gimana?"

"Jangan terburu-buru menyalahkannya. Dalam suatu hubungan, kita bukan cuma pakai hati, tapi juga otak. Tanyakan dulu, minimal cari tahu apa penyebab Rey melakukan hal itu. Bisa saja memang ada hal mendesak di luar sana, kan?" ujar Shelin dengan bijak. Sahabatnya satu ini memang memiliki karakter seperti bunglon. Ada kalanya ia berubah menjadi sosok yang super bijak, lalu tiba-tiba berubah menjadi sosok yang super manja.

Shelin memeluk Zara erat, berharap bisa menyalurkan rasa tenang. Shelin kemudian mengajak Zara berjalan-jalan ke taman kota, menikmati atmosfer pagi Jakarta yang masih sejuk. Rutinitas seperti ini merupakan kegiatan wajib bagi Zara dan Shelin di tiap akhir pekan, tapi dulu sekali sebelum mereka berdua sibuk dengan keluarga masing-masing. 

Bride from NowhereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang