21. Ujian Nasional

1K 199 35
                                    


Bandung malam ini dingin, hujan rintik juga nampak awet memeluk jalan beraspal dan dedaunan. Doyoung tengah duduk di meja belajarnya. Jendela di depan ya menjadi pemandangan yang menyita perhatiannya sedari tadi. Tidak perduli ia dengan kumpulan soal Bahasa Inggris di depan ya. Ia menumpu wajah dengan kedua tangan, senyum manis menghiasi wajahnya.




“Doyi... Ayo makan”
Doyoung menoleh pada sumber suara, nampak si tante, ah atau bisa disebut ibu tirinya tengah berdiri didepan pintu membawa nampan berisi makanan dan obat malamnya. Doyoung memandang wanita tersebut, senyum yang hampir sama dengan milik mamanya, senyum yang bahkan tak pernah luntur ketika bibir Doyoung selalu menyumpahinya.




“Boleh masuk kan?” Tanya wanita tersebut, langkah kecilnya nampak memasuki kamar Doyoung. Beliau duduk di ujung ranjang. Tangannya dengan telaten menata nampan dan juga obat Doyoung yang jumlahnya lebih dari lima.



“Jangan dipaksa belajarnya, nanti kamu sakit. Oh ya besok pagi papa sampai rumah” Ujar beliau, lagi-lagi wanita tersebut tersenyum, seakan-akan mengejek Doyoung, bahwa semua tindakan Doyoung agar wanita tersebut merasa tak tenang, terpojokkan tak berarti, menyisakan menyatakan bahwa Doyoung nampak sekali jahat.



“Tante...” Panggil Doyoung, ia meremas kedua tangannya. Rasanya aneh harus berada didalam ruangan yang sama lebih dari lima menit.



“Iya?” Wanita tersebut menoleh sambil tersenyum, seakan-akan momen ini adalah hal yang ia tunggu.
“Sudah hampir sepuluh tahun” Doyoung menunduk kedua tanganya saling tertaut ragu “Sudah hampir sepuluh tahun, dan semua enggak mudah. Kenapa tante masih disini?” Tanya Doyoung.




“Berapa banyak kerugian waktu yang tante terima? Tante tukar waktu berharga tante dan milih disini? Ngurus aku yang bahkan kadang lebih mirip mayat hidup waktu sakit, mirip monster yang selalu teriak dan maki-maki tante. Menjadi istri papa, ngurus papa, yang bahkan jarang pulang. Semua merepotkan!”



Wanita tersebut tersenyum sendu “Kamu sama papa kamu kan rumah tante, lalu kemana lagi tante harus pulang kalau kalian adalah temat nyaman buat tante?” Ujar beliau.



“Harusnya tante nggak perlu mengasihani kami waktu itu. Amanat mama bukan masalah besar kan?” Doyoung masih ingat betul bagaimana mamanya yang kala itu sudah sakit parah meminta adiknya, Tiffany untuk menggantikannya mengurus Doyoung dan papa, membuat ia yang masih kecil kala itu marah besar, marah pada Tiffany yang rasanya seperti menggeser posisi sang mama dari rumah.


Tiffany, adik mendiang ibu Doyoung tersebut hanya tersenyum sebagai reaksi atas pernyataan Doyoung. “Boleh usap rambut Doyi?” tanyanya, lalu Doyoung tampak mengangguk dengan kaku.


“Terlepas bagaimana jalan kita dipersatukan, kalian adalah segalanya. Kalian adalah takdir Tuhan yang teramat tante syukuri. Tante bersyukur diberi kesempatan untuk mencintai kalian” Ujar beliau, kalimat yang benar-benar tulus terdengar. Doyoung tidak tahu kalau ia sebegitu nya dicintai, memang dia siapa?



“Tapi Doyi anak penyakitan yang jahat” Doyoung menunduk, perasaan menyesal menyelimutinya. Jahat sekali ia selama ini pada malaikat baik didepannya ini, jika itu orang lain mungkin setelah di maki dan sumpah serapahinya mungkin akan lebih memilih membunuh saja Doyoung. Iya kan?



“Enggak. Tente tahu kok pasti berat nerima tante yang tiba-tiba datang dan seperti mengganti posisi mama kan? Semua perlu waktu buat kamu, dan tante nunggu kok”



GREPP



Tubuh Tiffany hampir terhuyung kebelakang ketika Doyoung menerobos masuk pada pelukannya “Terimakasih sudah mencintai papa dan Doyi”



Panglima Tempur []✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang