O4

12.5K 1.9K 215
                                    



Renjun menatap kosong Mark, bosnya yang tengah memberikan instruksi pada para stafnya di depan ruang rapat.


Semua yang dikatakan Mark nyaris dianggap angin lalu oleh Renjun. Masuk keluar dengan cepat melalui telinganya. Otak Renjun seolah enggan menerima rangsangan suara yang ditangkap oleh saraf pada indera pendengarannya. Karena nyatanya, pikirannya sudah penuh sesak dengan apa yang didengarnya semalam.


Tepat tengah malam, ketika akan mengambil minum di dapur, tanpa sengaja Renjun melewati kamar adiknya, Chenle.

Pintu kamar Chenle sedikit terbuka, sedangkan lampunya masih menyala -terang benderang. Membuat Renjun berdecak karena mengira bahwa Chenle tengah memforsir diri untuk melembur mengerjakan thesisnya.

Baru hendak melayangkan teguran, niat Renjun terhenti karena mendengar suara Ibunya dari kamar Chenle.







"Chenle sayang, Kau sudah coba membicarakan ini pada Kakakmu belum?" Merasa dirinya disebut, Renjun mencoba menajamkan pendengaran.

Dengan hati-hari Renjun memasang telinga. Sedangkan tubuhnya diupayakan untuk tidak terlihat dari balik pintu.

"Belum," suara Chenle terdengar. Begitu lirih dan terdengar putus asa.

"Coba kau ceritakan pada Kakakmu dulu, siapa tahu-"

"Kalau Renjun ge nya sendiri tidak berkenan bagaimana, Bu!?"

Renjun menggigit bibir bawahnya saat mendegar Chenle meninggikan suaranya. Bukan karena emosi, Renjun lebih merasa kalau itu adalah ungkapan rasa putus asa yang kelewat parah.

"Kau kan belum mendengarnya langsung dari Renjun," sahut Wendy menenangkan. "Coba kau cerita padanya kalau Jisung buru-buru melamarmu agar bisa langsung membawamu ke luar negeri untuk ikut studinya. Mungkin Renjun akan mengerti."

Ada sesuatu yang mencubit bagian yang berada di tengah dada Renjun. Bukan di jantung, bukan juga di paru-paru. Suatu tempat yang disebut orang sebagai hati, meski sebenarnya organ itu berada di rongga perut sebelah kanan.

Tanpa sadar, Renjun menggigit bibir. Tangannya terkepal kuat, hingga kuku yang belum sempat dipotong olehnya melukai kulit telapak tangannya.


Semua pertanyaan yang sejak dulu Renjun pikirkan terjawab sudah.

Seperti dugaan Renjun, ada alasan dibalik gencarnya perjodohan yang dilakukan oleh Jisung, selaku kekasih adiknya. Ternyata, semua yang dilakukan Jisung bukanlah suatu bentuk kepedulian pada calon kakak ipar, melainkan satu syarat untuk mencapai tujuannya. Melamar Chenle.

Renjun merasa bodoh malam itu. Tanpa mendengar lebih lanjut obrolan dari Ibu dan adiknya, dia bergegas kembali ke kamar.

Renjun bahkan melupakan niatannya untuk mengambil minum. Biarlah rasa dahaga dirasakan oleh Renjun. Paling tidak, dahaga yang dirasakannya dapat mengaburkan rasa kecewa pada Jisung, Chenle, bahkan kepada Ibunya sendiri.







"Jadi, bagaimana Renjun?"



Suara Mark menggema dalam ruang rapat memanggil nama Renjun. Namun, tidak kunjung direspon karena si empunya nama masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Lelaki berkemeja kelabu yang memiliki nama Mark Lee itu pun menghela napas panjang. Merasa diabaikan, akhirnya sentakan keras ia berikan kepada sang bawahan.


"Huang Renjun!"



"Iya, saya!"


Entah mengapa, secara otomatis Renjun mengangkat tangan kanannya seperti seorang siswa yang baru saja ditegur oleh gurunya. Merasa melakukan tindakan spontanitas yang sedikit bodoh, Renjun buru-buru menarik tangannya kembali. Mata tajam yang biasanya menatap berani siapapun lawan bicaranya meredup.


pretend ; hyuckren ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang