Banyak kejutan

92 47 14
                                    

Apa yang menurutmu baik, belum tentu baik bagi orang lain. Dan apa yang menurutmu buruk, belum tentu buruk bagi orang yang melakukan.

___

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

___

Liza menelungkupkan wajahnya di sela-sela tangan yang terlipat di atas meja. Kelas matkul matematika sudah di bubarkan.

"Za, aku duluan yah ada perlu," ucap Hulya, gadis itu membalasnya dengan anggukan malas.

"Semangat dong."

"Iya-iya sana gih."

Hulya terkekeh lalu melangkah pergi. Rasanya Liza malas sekali pulang ke rumah, tapi dirinya juga malas mampir ke rumah Hulya. Jalan-jalan sama Zafran aja kali ya? Dia bangkit berdiri. Hari ini Liza sama sekali tidak menemui Barra, mungkin itu juga yang membuatnya tidak bersemangat. Gadis itu memutuskan berjalan ke ruangan Pak Barra untuk meminta kotak bekalnya yang belum dikembalikan.

Liza menatap sekeliling yang masih di huni oleh mahasiswa dan mahasiswi, kemudian kembali menatap ke depan saat beberapa langkah lagi kakinya mengarah ke ruangan itu. Gadis itu terpaku, melihat dari luar jendela. Pak Barra sedang berduaan.

Dengan Hulya, sahabatnya.

Sambil mengendap-endap, Liza mengintip apa yang mereka lakukan. Mereka tertawa, gadis itu melotot saat dengan tak berdosanya laki-laki itu mengusap kepala Hulya.
"Apaan mereka? Jangan-jangan Pak Barra sama Hulya sebenarnya sudah nikah? Eh nggak mungkinlah, lagian gue sering ke rumah Hulya gak ada apa-apa kok. Ah atau mereka backstreet?" Gadis itu sibuk berpikir dan menebak-nebak.

"Kok Hulya gak pernah cerita sih." Liza cemberut. " Temen makan temen nih namanya," lanjut cewek itu cemburu lalu berbalik badan enggan melihat sahabatnya bersama orang yang dia kagumi selama di kampus ini.

"Katanya bukan mahram tapi apa tuh usap-usapan, dasar sok suci!!" gerutunya berjalan cepat, hingga sesuatu menubruk dirinya membuat gadis itu sedikit terpental beriringan dengan suara benda terjatuh. Baru saja ingin mengeluarkan kata-kata kasarnya, tapi tak jadi saat melihat sang pelaku dan kesadaran kalau dirinya juga bersalah karena tak fokus. Dengan cekatan, Liza membantu untuk memungut buku-buku yang jatuh akibat tabrakkan mereka.

"Maaf ya," ucap laki-laki yang menabraknya tadi merasa bersalah. Mereka bangkit. Dan Liza memberikan buku itu kepada si empunya.

"Gue yang harusnya minta maaf, maaf ya gue gak fokus nih tadi." Liza menyengir lalu memainkan tangannya canggung.

"Oh kamu temannya Hulya 'kan?" tanyanya. Liza mengangguk.

"Muammar 'kan? Gue Liza."

"Mau ke mana?" tanya Muammar menyamai langkah pelan liza.

"Nyari seseorang sih." Muammar hanya mengangguk.

"Maaf ya, coba deh kamu jangan pake 'gue'. Ubah jadi aku kamu, biar lebih akrab."

Liza menyerngit.
"Tapi bagi gue lebih enak pake gue elo."

Muammar tersenyum menampakkan kedua lesung pipinya. Gadis itu sempat terpana, rasanya dia ingin sekali memiliki pemanis seperti itu. Manis banget!

"Aku cuma ngasih tau sih, sewaktu SMA aku juga suka pake 'gue elo' tapi semenjak bertemu seseorang. Aku lebih suka pake 'aku kamu' biar kesannya lebih baik."

"Hulya juga sempet nyuruh gitu sih, tapi gak terbiasa. Nanti bakalan balik lagi kaya semula. "

"Dibiasain mangkanya, seperti sholat. Awalnya di paksa dulu hingga nantinya baru terbiasa. Kaya perasaan juga kan, cinta tumbuh karena terbiasa." Muammar tertawa, membuat Liza ikut tertawa lalu mengangguk.

"Ok, aku coba ya. Kamu ternyata baperan juga ya."

Masih dengan senyuman.
"Nggak baper, cuma dalam hidup ini siapasih yang gak butuh cinta?"

Benar juga, seperti Liza yang awalnya susah sekali untuk salat. Namun sekarang, dia sudah mulai membiasakan diri setidaknya lima waktu. Dan mengaji setelah maghrib. Dia juga butuh cinta, itulah yang di carinya sedari dulu.

"Lain kali kita ngobrol lagi ya, pisah dulu. Aku mau balikkin ini." Muammar menggoyangkan buku yang ada di tangannya. Liza mengangguk.

"Gu- eh aku juga ada urusan sih." Liza sempat bingung, gak pegal apa ya itu bibir Muammar tersenyum terus.

"Duluan aja." Semoga pesan dariku tersampaikan dengan baik ya..

"Oh yaudah, daah." Liza melambaikan tangan sekilas. Kesan pertama Liza mengenal Muammar adalah santai dan ramah. Meskipun hanya sesingkat ini.

Liza membelokkan langkahnya ke arah toilet untuk menuntaskan panggilan alam, dia sudah mengirimi Zafran pesan. Tapi tak ada tanda-tanda bahwa pesan sudah di baca. Baru saja dia ingin membuka pintu toilet wanita, tapi suara sesuatu membuatnya penasaran. Terdengar aneh di balik tembok toilet laki-laki. Karena rasa penasarannya, dia dengan perlahan mendekati asal suara.

"Astagfirullah." Liza menutup bibirnya yang reflek bersuara, membuat aktivitas dua orang itu terhenti. Jantungnya berdegup kencang, dia segera berlari namun tangannya di cengkram kuat oleh salah satu di antara mereka.

"Liza gue bisa jelasin!!" kata orang itu, Liza berusaha melepaskan tangan cowok itu dari lengannya. Tak berhasil, gadis itu menatap cowok di hadapannya murka.

"Lo! Kita putus," ucap Liza menunjuk wajah cowok itu dengan jari telunjuknya sekilas.

"Nggak! Gue gak mau." Zafran menatap Liza tajam, lalu menatap seorang cewek yang berada di belakangnya mengisyaratkan untuk pergi.

"Lo jahat!! Gue gak nyangka, apa selama ini lo memang main di belakang gue?" Liza mengatakannya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Enggak sayang, lagian biasalah itu. Gue juga ngebiarin lo perhatian sama Pak dosen incaran lo itukan."

"Tapi gue gak mentoleransi hal tadi!!!"

"Dia juga gakpapa, kok lo yang sewot."

"Gue gak suka!! Lepasin." Liza memberontak membuat Zafran menahan gadis itu ke tembok.

"Enggak, tarik perkataan lo tadi. Gue gak mau putus Za. Gue beneran sayang sama lo!!"

"Bullshit, tau gak!" terdengar isakan yang keluar dari bibir gadis itu. Betapa banyak kejutan hari ini, dari melihat kedekatan antara Hulya dan Pak Barra, bertemu Muammar dan sekarang melihat pacarnya dengan gadis lain.

"Jangan nangis, please." Zafran menarik gadis itu ke dalam pelukannya, Liza masih berontak.

"Gue tau hidup lo terlalu bebas Zaf, tapi jangan kaya gini," ucap Liza lemah.

"Maaf, maaf, maaf." Zafran mengucapkannya berkali-kali. Laki-laki itu benar-benar menyayangi Liza, tapi untuk mengubah pola hidup dan pergaulannya, dia tidak bisa. Teman-temannya dan kebiasaanya adalah obat sekaligus pelarian dari rasa sakitnya terhadap kehidupan.

***

Huwaaaa ketemu sama mereka sekaligus nih, peran Barra sama Hulya di part ini gak terlalu kentara. Kita kedatangan peran baru muehehe, kemarin dia juga sempat lewat kan yah. Dia juga bakal sering lewat-lewat aja, serius deh Muammar tuh manis banget!!! Dia temen online aku:v, pinjam namanya ya bang.😂 siapa tau dianya mampir ke work akukan wkwk.

Bisa ke ambil gak pelajaran tersirat dari part kali ini?

Happy Reading ya Gays, jangan lupa bacanya sambil ngemil. Kan enak.

Pangeran Syurga Khaliza (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang