Cobaan apalagi ini

85 57 11
                                    

"Saat diri merasa dikecewakan, secara bersamaan Tuhan sedang memberi pelajaran. Bahwa kenyataan tidak harus sesuai dengan apa yang diharapkan. "

————

Hulya mengelus bahu Liza pelan. "Sudah, semua pasti ada alasannya. Kita ambil hikmahnya saja ya."

Liza mengusap air matanya lalu segera duduk dengan tegap. Mereka sudah sampai di kediaman keluarga Radeya, suasananya selalu terlihat sejuk dan kehangatan terasa mengelilinginya. Mereka keluar dari mobil, sedangkan pak supir masih berada di dalam untuk mengendarainya menuju garasi.

"Ada umi gak di dalam?" tanya Liza seraya melangkahkan kakinya menuju pintu yang sedikit terbuka.

"Ada kok, palingan di dapur atau lagi romantis-romantisan sama abi." Hulya sedikit terkekeh saat mengingat umi dan abinya yang masih sering kasmaran, padahal umur mereka sudah tidak muda lagi.

Liza mengangguk, dia paham betul. Liza pun ingin sekali kisah cintanya seperti itu, meskipun usia sudah terkikis waktu, tubuh sudah termakan usia tapi perasaan yang tumbuh semakin tumbuh bahkan bermekaran seperti tak ada hari untuk layu.

"Yaa, aku ke dapur dulu ya mau minum," kata Liza ketika Hulya sudah menaikki tangga.

"Iya, nanti sekalian ambilin cemilan sama minuman buat di kamar," ucap Hulya menoleh ke arah Liza, lalu mulai berjalan ke arah kamarnya setelah mendapat dua jempol dari sahabatnya.

Liza berjalan ke arah dapur dengan senandung kecil, dia dengan mudah sampai ke tempat yang dia tuju. Namun langkahnya terhenti saat melihat tubuh seseorang menjulang tinggi berdiri di lemari pendingin. Oh iya, dia baru ingat kalau Barra ternyata abangnya Hulya. Laki-laki itu menoleh ke arahnya, seperti seorang maling Liza malah gelagapan kedapatan dirinya di tatap sedemikian rupa.

"Anu ehm saya ...." Liza menggaruk keningnya bingung.

Barra melihatnya pun tersenyum, lalu menggeser dirinya sendiri. Siapa tahu dirinya menghalangi gadis itu.

"Gakpapa, mas cuma ngambil ini kok." Barra menggoyang-goyangkan minuman yang ada di genggamannya.

Liza membalasnya dengan senyuman canggung, dia berjalan cepat ingin mengambil air putih untuk di minum. Dia merutuki dirinya sendiri ketika dengan tidak sengaja, Liza menyenggol sebuah cangkir yang terisi setengah air. Otomatis cangkir itu jatuh dan isinya tumpah.

"Tak apa, biar saya saja yang membereskannya," ucap Liza, saat Barra mengambil alih untuk membereskan kekacauannya. Gadis itu merasakan Barra sedikit tertawa, yang membuat Liza menatapnya dengan kesal.

"Gak usah terlalu formal, kita sekarang berada di luar kampus, ingat.
" Barra berdiri membuat Liza ikut berdiri, Liza memperhatikan Barra yang menutupi tumpahan itu dengan kain.

"Mas gak nanya kenapa aku ada di sini?" Liza agak sedikit aneh dengan pengucapannya sendiri.

"Ngapain aneh? Kamu 'kan udah sering ke sini bareng Hulya." Barra sedikit menaikkan alisnya.

"Kenapa baru muncul sekarang, maksudnya selama di sini Liza gak pernah lihat Mas Barra."

"Mas banyak urusan di kamar, Mas juga jarang pulang ke rumah karena kerjaan di Yayasan." Barra sibuk mengambil sesuatu, lalu di pindahkan cemilan dan minuman yang ada di tangannya ke pelukan gadis di depannya. "Mau ngambil itu 'kan? Mas ke kamar dulu ya." Barra meninggalkannya dengan senyuman kecil di bibirnya.

Pangeran Syurga Khaliza (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang