"Hulya tau Liza di mana kalo lagi ada masalah gini. Tempat yang sepi, dan jarang ada orang ke tempat itu," kata Hulya sambil berjalan mengikuti langkah Barra yang pelan.
"Di mana?" tanya Barra dia berhenti sambil berpikir.
"Gudang?" lanjutnya.
"Gak mungkin, ngapain di gudang." Hulya cekikikan tapi tidak bisa menutupi raut sendunya.
"Taman belakang?" tanya Barra. Hulya menerawang kemudian mengangguk setuju.
"Ayo lihat dulu." Hulya menarik tangan Barra agar cepat melangkah, dengan tergesa-gesa namun orang yang dicari tak kunjung ditemukan, membuat Hulya semakin cemas.
"Ikuti Mas," ucap Barra menggenggam tangan adiknya, dan melangkahkan kaki ke arah yang berlawanan. Mereka sudah mengunjungi taman belakang, perpustakaan, mushola, bahkan gudang yang dia sebut tadi. Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan gadis itu di sana.
Hulya tau mereka akan mengarah ke mana, harap cemas semoga dia segera menemukan sahabatnya tak apa dirinya disalahkan, Allah tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Menaikki undakan tangga satu persatu, Barra memperhatikan Hulya beberapa kali.
"Capek? Mau Mas gendong?"Gadis itu menepuk pundak Mas Barra pelan, sambil mengatakan.
"Ih enggak, ayo cepetan."Barra tersenyum, sampai kapan pun dia takkan melepaskan adiknya kecuali pada orang yang tepat. Tepat imannya tepat akhlaknya, tepat rasa sayang dan cintanya, tepat kedudukannya.
Tak terasa sudah sampai, Barra segera mendorong pintu dihadapannya yang menghubungkan lantai paling atas. Rooftop. Cahaya langsung menembus iris matanya.
Hulya langsung menerobos masuk ketika melihat siluit seseorang yang dikenalnya. Sedangkan Barra menghela napas lega, akhirnya sosok yang dicari mereka sedari tadi berada di sini.
Berjalan mendekati Liza yang berada dipinggir sana, namun mata mereka terbelalak kaget saat suara gadis memecah keheningan yang ada. Hulya memanggil nama Liza berulang kali, sedangkan Barra secepat kilat bergerak mencoba meraihnya dan berhasil.
Dia memegang erat pergelangan tangan gadis itu yang tubuhnya sudah menjuntai di tepi gedung. Kericuhan pun terjadi, orang-orang yang berada dibawah gedung mulai heboh sendiri. Liza terlihat menutup matanya erat-erat.
"LIZA!" teriak Hulya, menyadarkan Liza yang berpikir hidupnya akan berakhir di sini.
"Pegang tangan saya yang erat." Barra menarik tangan Liza sekuat tenaga, gadis itu juga mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa naik ke atas permukaan. Hulya ikut membantu, berulang kali dia berdoa agar diberi keselamatan, isak tangis lagi-lagi keluar dari bibir mungilnya.
Liza terduduk lemas setelah berhasil diselamatkan, Hulya langsung memeluk sahabatnya dengan erat menangis sambil mengomel di pundak Khaliza, sedangkan Liza sendiri terdiam dia mengatur napasnya yang tidak beraturan.
"Bodoh." Suara berat dan dingin itu memasuki telinga gadis itu, melirik ke arah seseorang yang masih berdiri di posisi lain menatap ke arah langit yang mulai tertutupi awan. Liza tercengang tak menyangka jika seorang Barra bisa mengucapkan kata itu.
Jantungnya berdetak sangat kencang, napasnya masih berkejaran, terdapat peluh di sekitar leher dan keningnya. Barra menatap tangannya yang bersentuhan dengan seorang gadis.
Mengucapkan istighfar berulang kali, dan alhamdulillah dia berhasil menyelamatkan satu nyawa. Matanya sedikit memerah seperti menahan sesuatu. Kenapa dirinya sekhawatir ini? dia benar-benar takut, jika saja dirinya telat sampai ke tempat ini entah apa yang terjadi setelahnya. Rasanya ingin marah, kesal, sedih, bercampur aduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Syurga Khaliza (Completed)
Teen Fiction[FOLLOW DULU BIAR BERKAH] Ini bukan kisah cinta suci nya Muhammad dan Khadijah, karena Khaliza tidak sesuci itu hingga bisa mendapatkan seseorang seperti kekasihnya Allah, Ya Rasulullah. Tetapi anggaplah Khaliza Nur Annisa yang baru menginjak umur...