Ikhlas

107 65 12
                                    

|| SELAMAT MEMBACA||

——

"Jangan terlalu larut dalam kecewa
Apalagi menyerah begitu saja
Dunia memang egois dan fana
Bangkit sendiri itu utama

Kabur dari masalah sangat percuma
Menjadi penakut itu terlalu manja
Lawan bila tidak ingin terus terluka
Yakin semuanya akan baik-baik saja"

———

"Za," panggil Hulya setelah masuk ke dalam ruangan, terlihat punggung seorang gadis yang tersentak dan langsung menoleh ke arah Hulya.

"Udah siap?" Hulya melangkah masuk, Liza hanya mengangguk sebagai jawaban. Kembali ke rutinitas semula, kuliah. Namun, semangat tak menyertainya, Liza berusaha untuk bangkit dari segala hal yang baru-baru ini menimpanya. Toh, dia masih punya Hulya dan lainnya. Dia harus membuktikan kepada ayah yang telah menelantarkan ibu dan dirinya, dia harus bisa sukses demi ibunya.

"Kok melamun? Ayo!" kata Hulya terkekeh pelan, dia menarik lengan Liza untuk berangkat bersamanya menuju kampus. Liza pun ikut terkekeh, kemudian menghela napas berusaha menguatkan diri.

"Pagi, Umi." Hulya dan Liza bergantian menyalami punggung tangan Umi Fatma.

"Abi gak di sapa nih?" tanya Abi pura-pura sedih, mereka tertawa. Di ruang keluarga yang hangat ini Hulya dan Liza harus bergegas untuk kuliah, jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Kebetulan juga Abi sedang dalam masa cuti bekerja, karena ada beberapa kendala pada kesehatannya. Mas Barra sendiri pasti sejak pagi sudah berada di kampus.

"Pagi juga Abi." Hulya menyalami punggung tangan Abi, membuat Abi mengelus kepala putrinya yang tertutup hijab. Liza tersenyum, dan betapa terenyuhnya dia ketika diperlakukan sama seperti Hulya.

Hulya mengambil sesuatu, lalu dimasukkannya ke dalam tas Liza.

"Yaa!" bisik Liza.

"Ssttt, kamu tuh belum makan dari semalem, dipanggil untuk sarapan gak mau. Jadi awas aja kalo bekal masakan Umi gak kamu habisin nanti." Hulya menoleh ke arah umi yang mengedipkan sebelah matanya, membuat gadis itu terkikik.

"Sudah sana, nanti diamuk sama dosen galak baru tahu rasa," kata Umi Fatma sambil memijat kaki suaminya.

"Ok, kami berangkat ya, Umi, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

***

Mereka berdua pun sudah menginjak pelataran Kampus Gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis, kedua gadis itu terheran-heran ketika semua orang menatapnya sambil berbisik. Liza tak menghiraukan, tapi Hulya lebih peka mencoba bertanya kepada salah satu mahasiswi yang di kenalnya. Hulya yang berhenti, membuat Liza ikut memberhentikan langkahnya.

"Ka, ada apa ya? Kok pada ngelihatin ke kita?" Gadis yang bernama Ika tersebut mengendikkan bahunya, sambil melirik ke arah Liza.

"Coba kalian lihat ke sana deh," kata Ika menunjuk kerumunan orang yang lumayan. "Sebenarnya gak terlalu penting juga, tapi ya gak nyangka aja." Ika tersenyum paksa kemudian segera pamit.

"Ayo ngapain sih, langsung ke kelas aja." Liza terus melangkah lurus diikuti dengan Hulya sambil berbincang santai, tapi tatapan mereka semakin membuat Liza risih, beberapa kali telinganya mendengar nama dia disebut-sebut. Mereka berbisik tetapi tetap saja terdengar.

Pangeran Syurga Khaliza (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang