3. Public

719 51 2
                                    

Hangatnya matahari masih malu-malu menunjukkan wajahnya. Hanya sorotan cahaya dari jendela tanpa adanya sensasi hangat di kamar Sena.

Lagi-lagi dia begadang berkutat dengan laptopnya. Sena terbiasa bangun pagi, jadi semalam apapun ia tertidur, pasti ia akan terbangun di jam yang sama, 04.00.

Lima belas menit, dengan hoodie pendek dan celana jogger hitamnya, Sena keluar menuntun sepeda dari garasi. Sampai tahun ajaran baru, Sena tak ada kegiatan di pagi hari selain olahraga. Sangat membosankan.

Mengayuh sepeda santai, ia sampai di taman komplek. Cukup ramai di hari Sabtu, mengingat beberapa SMA juga libur.

Sena duduk menikmati sensasi dingin dari cipratan air mancur dari kolam. Ia teringat beberapa hari lalu diceburkan Kai saat pagi-pagi buta hanya karena Kai mau pulang. Senyum samar terulas di bibirnya.

Sudah dua tahun ia tak ke taman itu, dia berjalan-jalan sejenak setelah menitipkan sepedanya ke warung terdekat. Memakai headset, Sena mulai berlari kecil.

"Sena!"

Seorang cowok berambut cokelat terang sedikit blonde melambaikan tangannya. Sena ingat, dia Deva. Tapi Sena biasa memanggilnya Iblis.

"Kata tante Atria, lo ke Chelmsford dua tahun lalu."

Sena mem-pause musiknya. "Iya. Tapi gue balik lagi," ujarnya tersenyum manis.

"Ohh, oke. Gue balik deh, see ya," Deva melambaikan lengannya dan pergi dari hadapan Sena.

Sena lanjut berlari kecil mengitari taman sampai pukul enam lebih. Dia duduk selonjoran di bangku bawah pohon sampai capeknya sedikit mereda.

Sampai tiba-tiba ada cowok entah siapa yang mendekati Sena. Dia membawa gitar. "Maaf, boleh saya nyanyi?" tanyanya.

Sena mendongak melepaskan headset nya. "Nyanyi aja."

Dia mulai memetik gitarnya. Sampai dia bernyanyi lagu Indonesia, yang entah apa judulnya. Sena tak begitu tau lagu yang trend di Indonesia.

Seorang Sena mau mendengarkan lagu Indonesia itu sebuah keajaiban. Kai saja yang pernah menyalakan lagu Indonesia dengan soundsystem langsung disemprot Sena. Berakhirlah dengan lagu dari Linkin Park.

Dia selesai bernyanyi. Sena sedikit bertepuk tangan. "Suara lo bagus." Sena mengulurkan uang dua puluh ribuan. Dia menerima dengan sumringah.

"Makasih," ucapnya tersenyum.

"Lo sekolah?"

"Iya, di SMA Taruna. Tapi gue terancam di DO kalau gak bayar SPP minggu depan. Nyokap sakit, jadi gue berusaha kerja buat biaya nyokap sama sekolah gue."

Sena mengangguk paham. "Kelas?"

"Bentar lagi dua belas." Seumuran dengan Sena.

"Geng?"

"Hah? Perasaan dari tadi lo ngomong singkat mulu. Lo sariawan?" tanyanya sewot. Pasalnya sedari tadi Sena hanya sekata dua kata.

"Lo ikut geng?" Sena memperjelas ucapan soal gengnya.

"Dulunya. Gue keluar Brixton sejak nyokap gue sakit," jawabnya sendu.

"Gitar," Sena menengadahkan tangannya.

"Buat apaan?" tanyanya cengo tapi tak urung ia memberikan gitarnya.

Sena menuju tengah taman yang cukup ramai. Hal itu menarik atensi ke Sena yang membawa gitar. Singing in public.

Sena tambah menarik perhatian dengan suara tepukan tangannya. Orang-orang mulai memperhatikan dirinya. Sementara si pemilik gitar itu jadi bingung sendiri.

Black Angel Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang