28. Kesetanan

305 23 0
                                    

"Emang," jawab Haruki tak tau diri. Jahat kali nih kakak.

"Ini pada ngapain sebenernya?" Kai akhirnya buka suara. Perang bantal Izana dan Ansell yang merambat ke Jefry dan Tristan membuat mereka dipertanyakan kesehatan jiwanya.

"Rencananya sih mau bunuh-bunuhan. Tapi lahan dan senjata tidak memenuhi jadi ya gini. Harga diri gue drop banget ada lo. Ketauan banget kalo aslinya pada edan." Haruki meraup mukanya sedikit malu tepatnya. Image mereka rada anjlok sekarang karena tingkah yang absurd.

Bugh!

"Heh anjeng lo ya, Jef!" Sena memekik kala bantal dilempar Jefry mendarat di mukanya. Dia akhirnya terseret dalam perang bantal.

Kai tertawa melihatnya. Sepertinya ini kali pertama Sena sangat lepas dengan teman-temannya. Padahal waktu dengan Deva dan Ben dahulu tak sampai selepas itu.

"Si Sena emang rada miring kalo udah sama mereka. Maklum, kerjaan dia cuma main ayam, eh mayat maksudnya." Haruki seakan sengaja menggunakan kata ayam dan mayat. Mendadak Kai bergidik ngeri dengan kejadian beberapa menit lalu.

"Eh, nama gue Haruki, lo?"

Kai menjabat tangan Haruki. "Kai Wisteria."

"Ohh, kakaknya Sena kan?" Kai mengangguk saja saat Haruki tau hal itu.

"Btw, itu yang tadi nangis namanya Izana, adek gue," ucap Haruki yang setelahnya ditimpuk bantal.

"Gue gak nangis sat!" Izana udah ngegas dengan rambut acak-acakan sambil megang bantal.

"Selaw dong!" Si Haruki udah ikutan perang bantal gara-gara adek laknatnya.

"Gimana temen-temen gue? Gak seperti yang lo bayangin kan?"

Kai mengangguk menjawab Sena. Dia mendadak tak bisa berkata-kata sekarang. Sena hanya terkekeh. "Mereka emang gila, dan gue juga. Banyak hal gila yang jadi kesenangan kita."

Akhirnya setelah perang bantal yang membuat urat malu putus serta teriakan umpatan yang malah bikin ngakak selesai. Di antara mereka, cuma Kai yang masih rapi. Sisanya sudah seperti keset jalanan. Entah baju atau rambut yang sudah acak-acakan. Tapi anehnya malah terlihat badass. Macem bad boy di SMA SMA gitu.

"Sebenernya, tujuan lo pada ngumpul di sini apaan? Mana gitu gue yang punya kantor diajak dadakan lagi," celetuk Sena sambil tiduran tidak elite di lantai tepat bawah AC. Gerah sodara-sodara.

Tristan dan Ansell menoleh bersamaan. Napas mereka bahkan masih terengah-engah habis perang bantal dadakan.

"Gak, cuma mau ngumpul aja. Rencana kita tadinya mau bahas si cunguk yang sabotase mobil lo sama yang nabrak Adrian. Eh, taunya malah udah qoid sama lo," ujar Ansell ikutan tepar di lantai bawah AC.

"Eh tapi masih ada dua cewek sih, yang belum beres. Lagi nyamar di rumah sakit ngawasin si kapten. Eh bentar," Tristan mengecek ponselnya yang bergetar. Ada notifikasi dari Gilang dan Andy.

Gilang send a picture

Keren kan, mahakarya gue?😂 Nih eksekusi bareng si Andy

Gilang send a picture

Andy abis mutilasi jalang wkwk

Andy send a picture

Beres, ceweknya menyumbang tiket gratis ke rumah ayam😱

"Napa lo, senyam-senyum gitu?" tanya Jefry yang melihat senyuman menggelikan Tristan.

Tristan menyimpan ponselnya. "Gak ada, dua ayam udah dimasak Gilang sama Andy," celetuknya ngasal nan santai.

"Ayam maksudnya? Mayat?" Kali ini Kai yang ngomong. Dia udah rada-rada ngerti ayam yang dimaksud mereka.

"Iyelah apalagi?" Sahut Sena bangkit dari tidurnya. "Ayam kita tu ya mayat." Ucapan Sena diangguki si Izana dan Ansell. Maklum, mereka paling seneng masalah begituan.

"Mau ke mana?" tanya Kai saat Sena beranjak hendak membuka pintu.

Sena meboleh singkat, "Ganti baju."

"Eh, lo kakaknya kan? Tapi kenapa gue baru pertama liat?" tanya Izana akhirnya. Sebenarnya dia ingin tanya ke Sena dari tadi.

Kai menggaruk jidatnya canggung. Suasana mendadak senyap sekarang. "Hm, gue ada cekcok waktu itu. Ini aja baru tau kantor ini punya Sena," jawabnya sedikit canggung.

Sementara di sisi lain, Gilang seperti orang kalang kabut. Dia mondar-mandir tak jelas di depan kamar Adrian. Adrian mendadak kejang-kejang saat ia dan Andy baru kembali.

Tak lama dokter yang menanganinya keluar sambil menurunkan maskernya.

"Kondisi tuan Adrian sudah stabil. Mungkin kejang-kejang tadi reflek alam bawah sadarnya. Saya perkirakan, dia akan segera sadar. Mohon doa dan dampingannya, saya permisi dulu."

"Makasih dok," balas Andy. Dan dokter itu pergi beserta perawatnya.

"Syukur deh, gue kira kapten kenapa-kenapa. Ngamuk ntar si Sena," celetuk Gilang mendesah lega.

"Untung gak mati sih," timpal Andy ngasal. Dan Gilang ngangguk santai.

-----

Seperti orang kesetanan, itu definisi Sena sekarang. Setelah berganti baju, Gilang mengabarinya kalau Adrian kejang-kejang. Dan Sena langsung tancap gas ke rumah sakit dengan perasaan berkecamuk. Dia bahkan tak memberi tahu yang lain di ruangan atas.

Di koridor, Sena hampir menabrak orang-orang yang menghalanginya. Di depan kamar inap Adrian ada tiga penjaga serta Andy dan Gilang.

"Nih minum dulu." Gilang melempar botol air mineral ke muka Sena.

"Kapten baik-baik aja. Katanya sih, cuma reflek tadi." Seakan tau, Gilang sudah menjelaskan duluan.

Adrian masih terbaring dengan alat penopang hidupnya. Hanya itu pemandangan yang Sena tangkap. Tangannya bergerak menyingkirkan helaian rambut cokelat Adrian yang menutupi jidatnya. Sene mendekatkan bibirnya ke telinga Adrian.

"Lo beneran buat gue gila, Geva. Lo lancang tuker mobil kesayangan gue. Tapi gue gak pernah pengen lo kayak sekarang. Lo lemah, Geva. Bahkan lo gak bisa natap gue tajam. Kalo lo gak sadar malam ini, gue jamin lo bakal mati ditikam musuh lo. Ralat, gue yang akan tikam lo dan nanti, jantung lo gue jadiin pajangan." Dia berbisik lirih di telinga Adrian. Tangannya menggenggam erat tangan dingin Adrian.

Dalam palung hatinya, jujur dia meringis melihat kondisi Adrian. Tapi sejak awal ini memang salahnya. Dia tak menyadari mobilnya ditukar Adrian. Bodoh.

Tapi Sena tak menampik adanya rasa sakit melihat Adrian yang tak bisa bergerak satu centimeter pun. Kalau bisa, ia ingin membalik waktu dan membunuh orang-orang itu duluan. Setidaknya, Adrian akan selamat.

- TBC -

Black Angel Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang