10. Rasa

359 33 2
                                    

"Hm?"

"Gimana bang Kai?"

"Sama."

"Sen, gue tau semua ..."

-----

Kata-kata Alam tadi terus terputar bagai kaset rusak di benak Sena. Hal itu membuat batin Sena sedikit tersentak. Benar, tak ada yang tau masa depan. Sena meremas dadanya kuat. Secara tiba-tiba, pasokan udara seperti berkurang. Dadanya sesak.

Ah, Sena tak ingin memikirkan itu sekarang. Dia harus fokus untuk Kai. Sena menggenggam erat tangan Kai yang bebas dari infuse. Dia menutup matanya. Semoga, saat Sena kembali membuka matanya, Kai bangun dan mengelus lembut rambut Sena. Semoga saja, doa nya didengar Tuhan.

"Tuhan, aku bukan hamba Mu yang patuh. Aku bukan hamba yang baik, yang mematuhi segala perintah Mu dan menjauhi segala larangan Mu. Tapi aku berdoa pada Mu, aku tak ingin egois. Untuk kakakku, aku hanya ingin dia bangun. Hanya itu. Aku hanya takut bagaimana orang tuaku kalau dia tak bangun. Kumohon, bangunkan kakak saat aku terbangun nanti."

Sena menutup matanya rapat. Air matanya terus menetes. Dia tak terisak, dia hanya diam membiarkan air matanya keluar. Semoga, Tuhan mendengar kata hatinya.

-----

Banyak rasa tak terdeskripsikan. Sena hanya terus berdoa sampai menjelang sore hari. Ia tak bergerak sejengkal pun dari duduknya sejak ia terbangun. Sena sedikit menyadari pergerakan jari Kai.

"Aku tau, kakak denger aku. Bangun ya? Please. Aku gak akan minta apa pun dari kakak. Kakak bangun, itu jadi kado terakhir buat aku besok dan seterusnya. Kakak gak lupa kan? Besok aku delapan belas tahun," Sena berbisik lirih di telinga Kai. Berharap dia sadar.

Mengulas senyum, Sena beranjak menuju balkon. Langit mulai gelap. Dihitung, ini hari kedua Sena di Nevada. Selama itu pula, Sena tak memberi kabar siapapun. Ia tak ingin melampiaskan semuanya dengan ponsel. Ia hanya memperhatikan Kai.

Hari sudah gelap. Jalanan kota mulai diterangi lampu-lampu.

-----

Jakarta, Indonesia.

"Kalian lagi, kalian lagi. Gak bosen apa ke sini terus?! Udah mau jam delapan aja baru masuk. Jadi apa kalian nanti?!"

"Jadi manusia yang berguna dong, buk." Leon memamerkan senyum lima jarinya.

Bu Sukma melotot tajam ke Leon. "Ya kalian kalo mau berguna ya jangan telat, jangan bolos dong."

"Yah Bu, nggak seru lah kalo SMA gak ada nakal-nakalnya. Nanti sekolah tenggelam karena terlalu senyap, gak ada yang nakal," sahut Bara nyeleneh.

"Ho oh, Bu. Nanti yang kasih BK kerjaan siapa? Kalo bukan kita," timpal Aaron menaik-turunkan alisnya.

"Terserah kalian. Semoga generasi selanjutnya gak ada yang kayak kalian." Bu Sukma meraup mukanya sendiri seolah berdoa.

Aaron tertawa, "Mana ada. Calon inti Brixton saya jamin bakalan kayak kita. Penerus kita mah, ya pastinya menyerupai kita ya kan?"

"Iya lah. Pastinya." Bara dan Leon tertawa ngakak ber tos ria. Alam? Dia mah cuma berdiri bagaikan patung Pancoran.

"Kalian ini! Bersihkan kolam renang sampai kinclong."

"Udah?" tanya Alam datar.

"Ya, kalian bersihin kolam cepet! Saya cek nanti belum bersih kalian ulangin lagi tambah kosek toilet. Gak ada penolakan," tegas Bu Sukma.

"Iya Bu, iya. Saya ngerti Bu, iya iya Bu. Iya Bu." Leon ngacir duluan sambil mendumal iya Bu berulang kali.

"Gila aja, bersihin kolam segede gini. Gue mah ogah kali basah-basahan," ujar Bara jijik. Dia yang paling ogah sama kolam renang.

"Alah sok jijik lo!" Aaron mendorong Bara ke kolam.

"Anjeng! Bangsat lo Ron!" Bara menyipratkan air ke Aaron. Alhasil bajunya sedikit basah.

"Bacot lo, Bar. Nih temen lo!" Aaron menarik tangan Leon menyeretnya ke pinggir kolam.

"Gue mah ikhlas aja, ya diceburin Aaron." Belum sampai Aaron mendorong, Leon udah nyebur duluan ke kolam. Ciri-ciri orang ikhlas ini.

"Alam mau nyebur?" tanya Aaron polos, "daripada diem kek Pancoran."

"Boleh." Alam menendang punggung Aaron. Membuatnya tercebur bersama dua orang tadi. Sialan emang si Alam.

"Lo bertiga ngapain?" Deva berjalan masuk dengan Ben tentunya.

"Bersihin kolam," jawab Leon.

"Bersihin apaan kek gitu?!" tukas Ben.

"Lah lo berdua ngapain?" Bara balik bertanya.

"Nemenin si air laut bolos," jawab Deva lempeng. Ben mencebik, gak Sena gak Deva, semua panggil air.

"Hm." Ben menuju bilik berganti pakaian. Disusul Deva dan Alam di bilik berbeda tentunya.

Mereka bertiga keluar bilik, menyaksikan tiga orang dengan seragam SMA berenang bebas. Dasarnya bangor ya bangor aja. Dihukum malah main. Emang sih, anak nakal gak kehabisan akal.

-----

Nevada.

Sena tak bisa tertidur barang sejenak. Tentang mimpinya dan ucapan Alam selalu berseliweran di pikirannya.

Gue tahu, lo yang gak akan jatuh cinta. Deva udah cerita semuanya. Lo takut, seandainya lo ninggalin Kai.

Tapi apa lo pernah mikir, seandainya Kai yang ninggalin lo? Suatu saat kakak lo bakal berkeluarga sendiri. Lo bahkan dianggap benalu buat Kai kalau seandainya lo gak mikir ke sana.

Lo selalu mikir, lo gak bisa jauh dari Kai dan lo gak akan jatuh cinta. Bukannya lo gak bisa jatuh cinta, Sen. Tapi lo terlalu seakan lo terobsesi sama Kai. Lo gak bakal siap dengan skenario terburuk kalau Kai pergi.

Hati lo seakan mati cuma buat Kai. Terkesan lo memonopoli Kai. Iya kalo lo mati duluan. Gimana kalo Kai? Lo egois, Sen! Lo terobsesi sama Kai tapi lo atas namain lo gak bisa jauh dari Kai!

Hanya itu kalimat yang terus terulang di memori Sena. Dari sekian banyaknya hal yang Sena ingat, kenapa harus skenario terburuk Kai?

Alam benar, kalau ia terlalu obsesi dengan kakaknya itu. Sena egois. Ia bahkan tak sampai berpikir, ia yang menjadi benalu, menjadi parasit sang kakak. Alam benar, hati Sena telah mati.

Ya, Sena mengakui kalau hatinya mati. Dia tak punya emosi yang dominan. Semuanya terasa hambar. Sekalipun ia menciptakan sensasi, rasanya tetap hambar. Hati, perasaan, dan jiwanya seakan mati. Sena tak punya rasa ketertarikan.

Sena memandang Kai datar. Dia tak sedih, dan dia tak menangisinya lagi. Dia tak punya perasaan. Alam benar. Dia menyadarkannya.

Egois! Egois! Egois!

Sena terlalu egois untuk menahan Kai di sisinya. Untuk menghilangkan segala ego, maka hatinya harus mati, kan?

- TBC -

Black Angel Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang