7. Main

436 37 0
                                    

Ularnya terus masuk ke kerongkongan Riko.

Riko berusaha menarik keluar ular dari mulutnya. Dia batuk darah. Riko memuntahkan semua isi perutnya. Darah kerongkongannya juga menggenangi ruangan. Tapi ular itu masih di kerongkongan Riko.

"Gue ... bener-bener bosen."

Deva menusuk-nusuk leher Riko. Darahnya mengucur deras. Deva sengaja menghindari tusukan di jalur pernapasan. Bisa dilihat, kepala ular itu merobekkan jalur pernapasannya. Kepala ular itu keluar dari kerongkongan.

Srrrshhh...

Deva menebas kepala Riko sekalian ularnya. Tubuh Riko berubah biru seketika. Racun ular itu, telah menyebar. Bau anyir menyeruak tajam.

Alina limbung seketika. Dia muntah di depan mayat Riko. The Angel itu ... kejam, batin Alina.

"Hmm, sisanya tinggal kalian. Cowok itu selalu mendahulukan cewek, kan? Jadi gue mau main sama Alina dulu." Ben mengukir senyumannya. Alina reflek merangkak mundur, ditatap Ben begitu. Dalam hati, Dika sedikit lega.

"Kok mundur sih?" Ben lantas menendang kepala Alina membuat Alina menjerit.

Sena mendekati Alina dengan membawa segelas air putih. Dia mengukir senyum ramah. Alina meneguknya rakus hingga tak tersisa setetes pun.

"Lo baik banget Sen, kasih dia minum. Padahal udah niat hancurin kita loh," ucap Deva menyindir Alina.

"Sena itu ... emang anak baik. Tapi Sena itu juga jahat. Mereka jijik dan takut bersamaan sama Sena. Sena itu, kayak iblis, kan? Makanya Ange itu Devil," Sena berucap lirih. Tatapannya menjadi sendu. Tapi dia langsung mengukir senyumnya. Dia menatap Deva hangat.

"Deva itu sama kayak Sena. Cuma Deva yang ngerti Sena." Air mata Sena turun tanpa perintah. Beberapa kenangan masa kecil mendatangi Sena.

"Udah malem, jangan ujan-ujanan." Anak laki-laki berumur delapan tahun itu membagi payungnya ke gadis di depan pagar rumahnya. Ya, dia Angelo Devarta.

"Kamu yang sama kakak itu, kan? Kakak tadi ke mana?" tanya Deva memandang Sena lekat.

Sena tetap diam memeluk dirinya yang basah kuyup.

"Aku pulang duluan. Makasih." Sena tak menggubris pertanyaan Deva tadi.

Deva tertegun, melihat senyuman pucat Sena. Senyum itu menular ke Deva.

"Santai aja." Deva mengulurkan tangannya, "Angelo Devarta, kamu panggil Angel aja."

Sena melebarkan senyumnya, "Nama kita hampir sama. Aku Angela Senarta, panggil Ange." Sena membalas jabat tangan Deva.

"Aku masuk, ya? Maaf, takut mama nyari," Deva berucap sedikit tak enak.

"Oke. Bay-bay."

Sena terus berjalan di tengah guyuran hujan. Sore begini, sudah terasa petang saja baginya. Sena benar-benar takut. Sena menepi, berteduh di bawah pohon yang menjulang.

Gledek!

Dhuaarrr!!

"Aaakhh! Kakak, maafin Cena!"

Nyaris, Sena tersambar petir. Beruntungnya, ia sempat menghindar. Sena berjongkok, menutup telinganya.

Tiba-tiba dia merasakan pelukan hangat. Dia sedikit mendongak, anak tadi.

"Hufft, kamu gak papa? Aku beneran kaget pas mau nutup pintu tadi."

"Angel? Kamu basah. Nanti sakit," balas Sena polos.

"Aku itu Angel, gak akan sakit cuma karena ujan. Kamu hampir kesamber petir. Aku tau, kamu takut." Deva tetap mendekap Sena di bawah pohon.

Sena terisak, dia ketakutan. Angel itu, padahal baru pertama ketemu. Tapi dia beneran baik.

"Kamu ke rumah aku. Besok pagi aku anter pulang." Sena yang takut, hanya menurut pada Deva.

Sena kembali ke hadapannya, Alina. Kilasan masa lalu itu, sejenak membuat Sena memandang lekat Angel nya.

"Tadi minuman apaan btw?" tanya Deva baru teringat.

"Emm alcohol, tapi gak tau jenis apa. Tequila? Vodka? Arak? Gue gak tau," Sena mengeluarkan cengiran polosnya.

"Oh iya, baru inget, itu tequila gue campur perangsang."

"Waw, dia kepanasan."

Sena beralih menatap Alina. Cepat juga reaksinya. Alina terus meraba bagian lehernya. Dia terlihat bergairah. Sena sedikit melirik Deva di sampingnya.

"Lo gila, Sen." Deva bertepuk tangan dengan ide gila Sena.

"I know, oke Ben, lo bisa mulai sekarang."

"Oke." Ben membawa sekantong plastik entah apa itu.

Ben mengusap leher dan pipi Alina, membuatnya tambah bergairah. Ben tertawa renyah, saat Alina berusaha mencium Ben.

"Calm down, baby." Ben mengusap bibir Alina.

"Ayo main, sayang," Ben berbisik mesra di telinga Alina. Napas Ben benar-benar membuat buku kuduk Alina meremang.

Ben mengeluarkan isi kantong plastiknya. Cacing tanah.

Ben memasukkan cacing lewat mulut dan hidung Alina yang mabuk. Cacing itu juga dimasukkan lewat telinga dan diletakkan di mata Alina.

Ben tertawa puas melihat Alina kesakitan ada cacing di telinga dan hidungnya.

Alina mimisan parah, dia juga muntah-muntah. Sebagian cacingnya keluar, dan sisanya di rongga pernapasan. Membuat Alina sesak napas.

Alina terus muntah darah. Sesuatu yang menjijikkan terus keluar dari kerongkongan Alina. Kupingnya sakit tak karuan. Ben menyeringai tajam.

Ben menusuk-nusuk perut Alina. Alina mulai kejang-kejang. Ben menusuk perut Alina lebih dalam, hingga menembus punggungnya.

Ben benar-benar merobekkan perut Alina. Darah mengucur di mana-mana. Terlihat patahan usus yang keluar dari perut Alina. Waw, ternyata Ben juga pas menusuk ginjal Alina hingga hancur. Alina sekarat, dan mati.

Sena bertepuk tangan, puas.

"Oke, giliran lo."

Sena mulai menggores area wajah Dika. Perih luar biasa, dan Dika hanya diam. Efek obat itu melumpuhkan sarafnya.

Sena menggores melintang dada Dika. Ia tersenyum senang saat darahnya muncrat ke muka.

Sena mulai merobek perut Dika. Dia menikmati rintihan Dika. Memutilasi apapun yang ada di perut Dika.

Sena menarik usus Dika sembari merobeknya. Ia juga menarik ginjal Dika dari tempatnya. Darah di mana-mana, dan Sena senang. Dika mati. Sentuhan terakhir, Sena menusukkan pisau ke mulut Dika tanpa mencabutnya. Mengenaskan, mata Dika melotot tajam dan isi perutnya kosong dimutilasi Sena.

- TBC -

Black Angel Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang