27. Khawatir

313 24 0
                                    

Akhirnya, selesai sarapan di kamar. Setelah sedikit keributan karena Sena tak sarapan dan malah menyuapi Jesse.

"Lo libur kan? Pas banget abis ini ke kantor gue. Ada yang mau gue tunjukin." Sena meminta persetujuan Kai setelah selesai menyuapi Jesse.

Kai mendongak dan mengangguk. "Emang di kantor kamu ada apanya? Ada rudal atau nuklir?" tanyanya polos.

Sena membola jengah. "Lo pikir gue mau bikin kiamat kecil-kecilan? Pake nuklir segala," tukasnya.

"Ya kali, orang macem kamu nggak pernah pentingin nyawa orang, kan?" Kai berkilah. Mengesalkan!

"Bodo amat, lo turun sana! Gue mau ganti baju, ntar lo nyusul ke gerbang belakang." Sena lalu bangkit dengan terpincang ke kamar mandi.

"Ayah! Bunda!" Kai berteriak dari arah tangga sambil menggendong Jessen.

"Ini rumah sayang, bukan hutan!" Iris melayangkan protes atas suara suaminya yang tidak santai. Kai cuma senyum tanpa dosa diikuti Jesse.

"Kenapa bang?" tanya Gabriel pada akhirnya.

"Gak pa pa. Nitip Iris sama Jesse dulu, aku ada urusan bentar," jawab Kai.

Atria mengernyit. "Abang mau ke mana? Katanya libur?" tanyanya.

"Kantor bentaran. Ada yang harus dicek." Kai menyerahkan Jesse ke gendongan Atria dan pergi ke gerbang.

Beberapa saat, Sena juga keluar dengan style serba hitam. Dua juga menenteng pedangnya.

"Ngapain ke sini? Kan gue suruh ke gerbang belakang," ucap Sena langsung, "udah ayok."

Kai bangkit dari kap mobilnya. Berjalan mengikuti adiknya ke gerbang belakang.

"Kamu ngapain sih?" tanya Kai gatal. Padahal ada mobil di garasi, tapi kenapa ke gerbang belakang.

"Ambil mobil," jawab Sena tanpa menoleh.

Selama perjalanan, hanya diisi keheningan. Laju mobil juga masih santai sekarang. Sena sedikit melirik ke kaca spion memastikan ada yang mengikuti atau tidak.

"Kita ke rumah dulu, ada yang mau gue pastiin," Sena membuka suara memecahkan keheningan.

"Rumah mana?" tanya Kai heran. Tapi sama sekali tak direspon.

Mobil masuk ke pelataran rumah bercat putih kusam. Setelah terparkir rapi di halaman, Kai dan Sena turun. Sejenak, Kai memandang takjub rumah itu. Walau kolam telah mengering dengan tulang-tulang ikan di sana, tak melunturkan kesan wah rumah itu.

"Rumah siapa?" tanya Kai begitu memasuki pintu utama dengan sensor mata.

Sena berbalik menghadap Kai. "Rumah trio setan dulu. Ben, Deva, sama gue. Tapi Aaron sama Alam juga sering ke sini dulu," ujarnya menatap setiap sudut ruang tamu. "Kapan-kapan gue ajak lagi ke sini," imbuhnya.

Sena berjalan ke lorong bawah tangga. Dia membuka pintu putih di sana dan lanjut berjalan. Kai mengikutinya dari belakang.

Sebuah perpustakaan yang lumayan besar dengan penuh rak buku berjajar rapi. Sangat membuat Kai terkesima.

"Naik sini." Sena menunjuk tangga kecil meminta Kai mengikutinya.

Di balik rak buku, ada sebuah ruangan dengan beberapa komputer di sana. Jari Sena bergerak mengaktifkan dua komputer. Beberapa saat, tampilan beranda berubah menjadi tampilan CCTV di beberapa titik.

"Kak, tolong nyalain laptop terus buka ini." Sena melempar flashdisk putih yang berhasil ditangkap Kai. Sementara matanya masih fokus mengamati.

"Sebutin nama yang di blacklist sama kodenya," ucap Sena lagi.

Black Angel Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang