24. Bodoh

283 28 0
                                    

Kalau bukan karena mobilnya, Sena sebenarnya enggan kembali ke rumahnya. Tapi sialnya, menyuruh orang lain mengambil mobil itu adalah perkara terlarang. Mobil sport hitam milik Sena penuh dengan senjata dan granat siap meledak.

Begitu memasuki halaman rumah, semua sudah terlihat lebih rapi sekarang. Darah yang berceceran dan bau anyir juga lenyap. Sangat berguna menyuruh Tristan dan Ansell dalam misi dadakan begini. Secara kilat, mayat-mayat koruptor itu lenyap.

"Sen!" Aaron menghampiri Sena yang barusan membuka pintu mobilnya.

"Om Gabe minta lo masuk dulu. Sama itu dua temen lo juga di dalem," jelasnya.

Menutup pintu mobil kasar, Sena berjalan meninggalkan Aaron.

"Ngapain masih nangkring di sini? Kagak punya rumah lo berdua?" sindir Sena terang-terangan pada Ansell dan Tristan yang malah ngopi. Gabriel, Kai dan Kafi juga di sana.

"Selaw dong, kita beresin ayam juga butuh tenaga." Dan dengan tak tau diri Tristan malah ngopi santai. Dasar!

"Nih ketinggalan harta lo." Ansell melempar pedang tanpa sarung milik Sena. Untung reflek bagus, jadi organnya tak akan minggat. Alias ketusuk.

Gabriel menghela napas memandang tiga orang di hadapannya. Mereka nampak santai mengatakan manusia adalah ayam. Gabriel sendiri masih ngilu melihat mayat berceceran tadi.

"Sena duduk dulu. Ayah yang minta mereka tinggal."

Gabriel mengarahkan kertas dengan sedikit cipratan darah ke depan putrinya.

Saya jatuh dengan putri Anda, tuan Gabe.

Kapten Geva

Sena menatap tak paham kertas itu. Jatuh? Jatuh cinta maksudnya?

-----

Seminggu terakhir memang jadwal yang padat untuk Sena. Rencananya untuk kembali ke Cambridge pun harus tertunda.

Duduk santai di kafe kecil sedikit meredakan letihnya. Sedikit terlintas di benaknya tentang ucapan sang ayah.

"Mereka menceritakan semuanya. Kenapa kamu lebih memilih menjadi pembunuh dan melepas marga kamu."

"Intinya, kalau kamu menerima maaf ayah tolong kembali ke rumah ini. Kai juga akan di sini. Maaf, seharusnya ayah mendengarkan ucapanmu. Pasti berat sepuluh tahun lebih kamu hidup sendiri."

Pria berusia senja itu meneteskan air matanya. Sangat menyesal atas perbuatannya.

"Maaf, ayah tak mengakuimu sebagai anak ayah. Ayah tak pernah bertanya kenapa dengan surat itu. Ayah sangat menyesal."

Bukannya Sena tak memaafkan keluarganya. Hanya saja, apa mereka masih menerimanya setelah banyak nyawa melayang ditangannya? Lalu, jika Gabriel dan Atria tau ia dekat dengan ketua The Angel apa semua masih sama? Sena rasa, keluarganya tak akan menerimanya seperti dulu.

Menyesap kopinya, Sena merasa ada yang mengawasinya terang-terangan. Lalu dia mendongak, di seberangnya ada Adrian yang santai memandangnya. Sialan, hampir saja dia menyemburkan kopinya gara-gara melihat Adrian tengah tekikik geli.

Berpindah ke meja Sena, tawanya tak bisa ditahan lagi. Sena hanya menatap datar pria di depannya.

"Tadi gue ke kantor lo, tapi kata si Izana lo gak berangkat. Ternyata nangkring di sini. Nunggu siapa lo? Ah pasti nungguin gue." Hey, apa?! Huh, pede sekali kamu Adrian!

Black Angel Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang