Chapter 8

1.6K 108 2
                                    

4 Februari 2023

•••

Janji adalah janji, Wawan sudah mengatakannya di hadapan sang tante, ia kan sudah pasrah mengikuti apa pun di depan matanya. Yang terpenting saat ini, dia berusaha menjadi terbaik, bukan hanya untuk Nicole, tetapi juga dirinya sendiri, dan paling utama ... untuk kakek.

"Apa kalian lapar? Kita makan, yuk!" kata Nicole, tersenyum manis ke arah kakek dan Wawan bergantian.

"Nak, kamu lapar?" Kakek Wawan menatap cucunya itu yang agak melongo.

Jujur saja, Wawan lumayan lapar, apalagi sehabis bermain tadi, tenaganya lumayan terkuras dan lelah, tetapi ....

"Ayo aja, kita makan, pasti lapar kan sehabis main tadi? Kakek, mau apa? Kali ini Kakek boleh milih." Oh, Wawan tahu dia tak bisa menolak.

"Mm entah kenapa, Kakek jadi keinget warung lalapan favorit Kakek, sambelnya itu--"

"Oh, ayo kita ke sana aja, Kek! Kakek sebutin aja di mana, kita langsung aja ke sana."

Oh, warung lalapan favorit kakek, Wawan sering ke sana, tetapi hanya membeli telor ceplok dan sayur, serta sambelnya, mereka berdua hanya mengincar sambal yang enak. Namun, sepertinya ... Nicole akan memborongkan semua?

Entahlah, Wawan tak bisa menolak, kakeknya pun merasa tak masalah karena Nicole mempersilakan mereka, sampai akhirnya sampai di warung lalapan yang sesuai dikatakan sang kakek. Penjual lalapan kaget melihat kedatangan Wawan dan kakek, pasti karena melihat mobil, dan mereka lebih kaget melihat sang ratu cantik, Nicole, dengan gaya anggun tanpa babibu masuk ke warung pinggiran tak terlalu besar dan terlihat tak terlalu ramai itu.

High heels menyentuh tanah kotor seakan tak masalah, duduk di kursi sederhana yang tanpa sandaran, Nicole tak peduli.

"Kakek, Wawan, sini!" Nicole tak peduli orang-orang yang melihatnya, wanita muda itu menepuk-nepuk kursi lain di sampingnya dan kini, Wawan duduk di sampingnya itu. Wawan sebenarnya ingin sang kakek sebagai penengah tetapi kakeknya malah duduk di sisi pemuda tersebut yang lain. Di atas kursi roda yang dibantu maid.

Wawan jadi di tengah-tengah.

Mata Wawan mengedar ke sekitar, lihatlah mata-mata insan itu, lalu si penjual, dia agak ragu-ragu dan saling dorong menghampiri hingga akhirnya mendatangi mereka.

"Ma-malam, Mbak, Wan, Kakek ... i-ingin pesan apa?" Biasanya tak begini, ini seakan mereka ada di restoran berpelayan.

"Saya pengen pesen semua menu yang ada di sini, satu-satu, nasinya tiga, minumnya ... susu jahe ada? Wawan Sayang, kamu mau yang mana? Kakek sendiri yang mana?" Itu maid di antara mereka tak ditanyakan? Apa karena dia NPC?

"Wawan Sayang? Siapa ni cewek?" Si penjual yang melayani mereka bergumam, keluarga Wawan? Dia tahu ini bukan orang tuanya karena mereka kenal orang tua Wawan siapa, dua orang tak bertanggung jawab yang kabur tak mau menanggung beban apa pun dan membawa seluruh harta milik orang tuanya.

"Mm air putih aja," kata Wawan, tersenyum kecut ke arah sang wanita kemudian sang pelayan.

"Kakek mau teh tanpa gula."

"Siap, a-akan saya siapkan." Meski bertanya-tanya, mereka tetap fokus mengerjakan apa yang dilakukannya. Rezeki nomplok sih karena Nicole memesan semua jenis lauk yang ada.

Dari mobil dan penampilan, jelas sih orang kaya.

Namun, siapanya Wawan dan kakek?

"Si ayu itu, siapanya Wawan?" Ayu itu artinya cantik, karena memang di sana mengagumi kecantikan Nicole yang terpancar sedemikian rupa.

"Tau, fokus masak aja sono!" Mereka lanjut memasak ....

Di sisi Wawan sendiri ....

"Ta-Tante," kata Wawan, akhirnya, agak berbisik.

"Apa, Sayang?" Berapa kali dia dibilang sayang begitu? Nicole mau membuat jantungnya copot. Kedua pipi Wawan memerah sekarang, dan dia nyaris lupa apa yang mau dia katakan, andai Wawan menatap wajah cantik itu jelas dia akan blank, karena saat ini tersenyum hangat padanya.

Sejak berjanji tadi, sepertinya Nicole lebih sering memanggilnya sayang.

Sadar, Wan!

"Mm itu ... maid Kakek, apa ... enggak ditawari makan?"

"Oh astaga!" Nicole menepuk kening. "Saya nyaris lupa. Kenapa kamu diam saja? Pesanlah sesuatu." Nicole menatap sang maid dan maid itu mengangguk.

"Terima kasih, Nyonya."

"Untung kamu ingatkan, Wan." Nicole tertawa pelan. "Dia memang sangat pendiam sedari tadi, sampai saya lupa soal itu."

Syukurlah kalau begitu, akhirnya Wawan yang tak tega bisa tenang. Maid itu pun langsung memesan tanpa babibu. Memang kelaparan atau takut membantah? Kelihatannya ... takut membantah sih. Apa menang Nicole tak mau apa pun perkataannya dibantah?

Wawan tak mau bertanya-tanya apa pun lagi, apalagi soal apa Nicole yakin dia ingin makan di tempat pinggiran begini, pastilah jawabannya sewot, terlebih Nicole pernah bilang dia memang pernah diberi pelatihan mandiri bertahan hidup. Batu dan dahan pohon besar pasti sering dilewatinya.

Jadi, dia hanya diam usai percakapan tersebut, tetapi Nicole tampak berbincang-bincang dengan kakek soal hal random. Karena Wawan tepat di tengah-tengah mereka, dia merasa jadi penghalang sekaligus kupingnya jadi telepon penghubung keduanya.

"Oh ya, Wan. Kamu mau kuliah jurusan apa?" tanya Nicole tiba-tiba.

Wawan agak terkesiap akan pertanyaan itu. "Mm ... mm ... gamer?"

"Gamer? Jurusan itu ada, Nak?" tanya kakek bingung.

"Eh, ma-maksudku bukan itu ...." Karena terlalu gugup, Wawan jadi asal jawab, ia menatap kakek yang bingung lalu menatap Nicole, mata wanita itu memicing padanya.

"Bu-bukan, Tante. Sa-saya belum kepikiran jurusan apa soalnya saya kuliah pas nanti kerja dengan uang cukup."

"Kamu mau jadi gamer?" Wawan tak menjawab, ia merasa pertanyaan Nicole itu pertanyaan sewot diselingi kemarahan.

"Ma-maaf, Tante ...."

"Enggak, saya serius nanya, kamu mau jadi gamer? Kalau iya, saya ingat seseorang, kenalan saya, yang menghasilkan uang dari sana, dengan peralatan streaming atau gawai memadai. Kalau kamu mau coba, saya bisa bantu, tapi untuk kuliah sebaiknya kamu punya tujuan utama."

Oh, sungguh?

"Itu ... faktor keberuntungan sih, Tan. Dan gak usah, Tan, saya mau kerja lain aja. Tante gak usah repot-repot." Dia merasa tak enak menerimanya, laptop ini saja sudah lumayan mahal.

Nicole sejenak menatap kakek yang kelihatan menatapnya balik, paham arti tatapan tersebut, wanita itu mengangguk.

"Lho, kenapa nolak? Apa gak mau nyoba saja? Kamu gak mau dibantu?" Wawan menggeleng. "Saya hanya membantu, Wawan. Tentunya, itu enggak gratis, saya hanya meminjamkannya, dan sepertinya kamu punya lumayan banyak penggemar di sosial media meski memakai ponsel teman kamu."

Bagaimana Nicole tahu soal itu?

Oh, dia tak akan kaget, Nicole banyak tahu tentangnya, dan sepertinya dia berbicara pada kakek.

Apa dia harus coba peruntungan ini? Jadi, dia ngutang, dan akan membayar suatu hari nanti, ini tak masalah daripada dikasih cuma-cuma. Dia tak enak.

Namun, kalau dia gagal bagaimana? Oh, dia belum coba, dan kalau baru terjun pastinya perlu jungkir balik dulu, kan? Semua streamer begitu.

Haruskah?

"Karena kamu diam, saya anggap itu adalah ya, saya akan kirim keperluan streaming kamu besok."

Woi woi woi apenih?!

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

TANTE ... NIKAH YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang