Mimpi buruk

100 10 2
                                    

Ibu satu anak itu tidak henti mondar-mandir di depan pintu rumah, kedua tangan saling bertautan meremat satu sama lain karena khawatir, rasa cemas terlukis jelas di wajah. Bagaimana tidak, selepas dia dari pasar dan mendengar bahwa ada keributan terjadi akibat penangkapan anak yang katanya dikutuk, Lucian langsung bergegas pulang. Tidak jauh berbeda dengan Alfred yang juga menunggu kepulangan Julian dengan gelisah, takut hal tidak diinginkan menimpa putranya.

"Ya, Tuhan. Kenapa Julian lama sekali pulangnya, Yah?" racau Lucian.

"Tenang, Bu. Dia pasti baik-baik saja."

Alfred berusaha untuk tetap tenang, dia adalah kepala keluarga jadi harus lebih tegar dari istrinya.

Suara pagar rumah digeser terdengar, di susul kehadiran Julian. Dia sempat heran dengan keberadaan ayah dan ibunya yang sudah menunggu di depan rumah, apa lagi saat melihat raut khawatir yang Lucian tunjukkan.

"Julian, kamu tidak apa-apa, kan, nak?" Tidak sabaran Lucian memeriksa keadaan anaknya.

Seluruh tubuh Julian diperiksa, takut ada luka yang disembunyikan darinya. Beruntung tidak ada yang terjadi, putranya baik-baik saja.

"Aku baik-baik saja, Bu. Kenapa kalian ada di luar?" tanyanya heran.

Alfred berdiri lalu menggiring anak dan istrinya untuk masuk. "Ayo, bicara di dalam saja."

Lucian membawakan dua cangkir kopi untuk suami juga anaknya, meski sudah terlihat lebih tenang, sebagai seorang ibu harap-harap cemas itu masih tersisa, begitu pula rasa takut yang dirasa.

"Sebenarnya ada apa?"

Sejujurnya tanpa jawaban sekalipun, Julian bisa menebak apa yang tengah di pikirkan orang tuanya. Mereka pasti cemas akan peristiwa yang terjadi hari ini. Kabarnya mungkin sudah terdengar di setiap telinga penduduk, sehubungan wilayah tempat tinggal yang kecil, kabar yang menyeruak tentu akan lebih cepat menyebar.

"Kamu pasti sudah tahu, kan, nak? Ibu sangat khawatir denganmu," tutur Lucian.

Diraihnya tangan sang ibu, ia genggam mencoba menyalurkan ketenangan yang bisa diberikan. "Aku baik-baik saja, ibu jangan khawatir."

Tidak ada yang bisa Lucian lakukan selain mengangguk, sebagai wanita hatinya terlalu lembut, tak kuasa menahan tangisnya. Sesak sekali harus melihat anaknya seperti ini, tidak bebas bergaul atau menikmati kehidupan di luar. Selalu saja diikuti serta dihantui ketakutan, seakan tidak ada ketenangan yang murni untuk mereka temui.

"Ayah rasa untuk besok jangan dulu keluar, ya, nak? Tunggu sampai keadaan sedikit tenang," saran Alfred.

Wajah lelaki yang nyaris berkepala lima itu tampak lelah, berapa lama dia menahan beban hidup sebab takdir rumit yang dilaluinya. Julian memang tidak tahu apa saja itu, tapi salah satunya adalah kehadiran dia yang cukup memberatkan kehidupan dalam keluarga kecil ini.

"Aku akan selalu menurutimu, Yah. Besok aku tidak akan keluar, bahkan seandainya ayah ingin melarangku untuk keluar lagi pun, akan aku lakukan." Julian menunduk.

Kini dia sudah paham mengenai alasan ayahnya. Entah demi apa yang jelas sekarang dia tahu, bahwasanya Julian begitu dicintai. Keputusan Alfred merupakan niatan baik untuk melindunginya, itulah kenapa dulu beliau melarangnya keluar.

"Julian-"

"Aku tahu, Bu. Harusnya aku tidak memiliki niat untuk keluar seberapa ingin pun aku melihat dunia. Aku berbeda dengan mereka, aku hanya akan membuat kalian dalam bahaya jika memaksakan keegoisanku."

Berat, sangat berat Julian mengatakan itu. Baik Lucian maupun Alfred tahu, seberapa besar keinginan anak mereka untuk memiliki teman, mencari pengalaman di dunia luar. Mereka tahu, betapa kesepiannya Julian yang hanya bisa menghabiskan waktu di kamar, menenggelamkan diri pada lautan buku dan imaginasi yang tertuang dalam kanvas putih. Sebanyak apa pun rasa sukanya pada dua hobby tersebut, dia tetap merasa kosong, itu semua diketahui oleh Alfred.

The Curse Of Mahana (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang