Suasana kian rumit juga dingin, sorot mata tajam tidak henti menikam mereka. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah saling mendorong untuk menyerang Julian, raut ketakutan menjadi hiburan tersendiri bagi jelmaan iblis itu.
Beberapa saat lalu mereka begitu sumbang menghina, mencaci bahkan dengan berani membunuh. Sekarang lihat mereka hanya seonggok daging lemah yang bisa kapan saja dia bantai tanpa ampun.
"Sudah menyerah?"
Suara rendahnya menarik atensi, seketika mereka terdiam kembali saling lirik dengan nyali menciut.
"Julian, apa kau akan membunuh kami semua? Kau merasa dirimu bukan ancaman, tapi lihatlah sekarang?!" seru Font.
Meski tidak bisa di pungkiri dia juga merasakan ketakutan yang luar biasa setelah meneriakan kalimatnya, apa lagi saat Julian menjatuhkan titik fokus padanya. Seolah tubuh Font bukan miliknya lagi, sulit sekali untuk bergerak meski hanya seujung kuku, terasa begitu kaku.
"Aku bosan mendengar pertanyaan yang sama."
Petir hitam menyambar Font, menjadikannya daging panggang gosong. Kumpulan itu menyebar sebelum petir ikut menyerempet sekeliling, mereka saling menjaga jarak. Kali ini, mereka harus menjaga lisan kalau tidak ingin mati cepat seperti yang sudah-sudah.
"Kau terlalu lama, Felix. Apa yang sedang kau tunggu sebenarnya?" gumam seseorang yang sedari tadi menyaksikan.
Dari balik pelindung dia terus melihat bagaimana Julian mempermainkan mereka semua, padahal jika Julian langsung melenyapkan semuanya, maka akan lebih cepat selesai.
"Hahh, begitu, ya? Kau ingin melihat mereka menderita ketakutan dan memandang dirimu sebagai kematian."
"Sudah selesai, aku tidak lagi mau membuang waktu," desis Julian.
Julian menarik pangkal pedang dengan tangan kirinya, mengusapnya pelan tanpa mengalihkan perhatian dari mereka. Kelam, pancaran yang terpantul dari iris merahnya sebegitu mengerikan.
Sebelum pedang itu berayun menebas seluruhnya, ia mengarahkan bola matanya ke atas setelah memandang Reno beberapa detik, bersamaan dengan itu Reno terangkat melayang di udara, tubuhnya meliuk tak terkendali. Reno tidak bisa mengendalikan diri, beberapa kali tubuhnya menghantam dinding pelindung.
Mengabaikannya, Julian kembali pada sekumpulan orang yang kini berhamburan ke setiap sudut, memukulnya sekencang mungkin berharap bisa memecahkan kaca hitam yang mengurung mereka. Ada pula yang menggunakan benda tumpul untuk menghancurkannya, hasilnya tetap saja percuma.
"Takutlah, menangislah, memohonlah agar kematian mempercepat penderitaan kalian."
Setiap ketuk sepatu Julian terdengar mengancam, bersahutan dengan gumamannya yang seolah menjadi penghantar kematian paling mengerikan. Darah mereka berdesir turun, menciptakan raut pasi. Mengharapkan belas kasih, serta perlindungan yang sia-sia.
Kematian sudah berada di depan mata, tidak ada kesempatan untuk meminta bantuan, selain kematian itu sendiri. Terlambat, rasa takut mereka pun tidak akan menghasilkan kebaikan apa pun.
"Tolong maafkan kami Julian, tolong bebaskan kami!"
Mereka saling berseru memohon yang justru terdengar bagai simponi indah di telinga Julian. Musik yang membangkitkan gairah dan semangatnya, untuk menyiksa.
"Berteriaklah, melolonglah. Rasakan kesakitan, rasakan penyiksaan. Sayatan pedang yang mengenai kulitmu sama sakitnya seperti aku merasakannya dulu!"
Kilas bayangan seorang anak kecil yang tengah disiksa terbesit di benak Julian, lolongan sakitnya, sayatan di tubuh lemahnya, rintih tangisnya. Semua begitu jelas ia dengar dan lihat.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Curse Of Mahana (End)
Fantasía"Dengar wahai bangsa manusia. Aku Jhoan Nieve Diavolo, Raja dari kaum Mahana, penguasa kegelapan. Mengutuk bangsamu, kehancuran akan menimpa dunia, kelak keturunanku akan lahir di tengah-tengah kalian. Merekalah yang akan membalaskan dendam atas pen...