Taruhan

27 5 0
                                    

Keadaan semakin memburuk, kepergian pangeran Levios menurunkan pertahanan istana secara drastis. Meski pangeran telah berpesan untuk memperkuat keamanan di kediaman sang raja sekali pun, akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

Kerajaan diserang oleh orang dalam, tidak ada yang tahu siapa penggeraknya. Istana nyaris porak poranda, Darick yang saat itu hanya sendirian berada di wilayah istana, terdesak mundur.

Kekosongan yang tercipta di dalam mempermudah para musuh, dampak besarnya sang raja Geelbas Fanze Diavolo berhasil mereka bunuh tepat di atas tempat tidurnya. Kamar luas seketika banjir darah, Darick terpukul mundur tidak bisa berbuat apa-apa.

Saat semua telah ludes dihabisi, Clavanth datang dengan wajah merah padam penuh amarah. Kedatangannya disambut oleh kehancuran kerajaan.

"Darick!" serunya.

Dia berseru di sepanjang lorong istana, kakinya telah basah oleh darah yang berceceran bersama tubuh berserakan para prajuritnya. Panas di perutnya kian menjadi ketika tumpukan mayat memenuhi koridor yang membawanya ketempat sang ayah.

Tanpa peduli apa pun dia mendobrak pintu, pemandangan yang tak mengenakan terpampang di depan mata, keadaan yang jauh lebih mengerikan dari pada di lorong istana. Clavanth menemukan tubuh adiknya yang meringkuk di tembok ujung ranjang, badannya bermandikan darah. Ketika matanya menyusuri naik ke atas tempat tidur, tubuh ayahnya tidak lebih baik dari adiknya. Belasan belati menancap di sekujur tubuhnya, dalam kondisi yang masih sama seperti saat dia meninggalkan tempat ini.

"Apa ... yang terjadi di sini?"

Suara itu bukan berasal dari mulut Clavanth, tapi sosok yang berdiri di mulut pintu. Melihat kakaknya yang baru datang pun tidak tahu apa yang terjadi memberi jawaban bagi Clavanth kalau Levios juga sedang tidak ada saat kejadian.

"Dari mana saja, kau?! Bagaimana ini bisa terjadi?!" murka Clavanth.

Dia maju mencengkeram kerah kakaknya, tidak lagi mempedulikan sopan santun. Kilatan marah tergambar jelas di iris merah Clavanth, dia tidak menyangka jika Levios bisa meninggalkan istana tanpa memberikan kabar apa pun padanya. Jika saja kakaknya memberi tahu, dengan begitu Clavanth akan menggantikan tugasnya.

"Bagaimana?" ulang Levios. "Bukankah seharusnya aku yang bertanya seperti itu? Aku sudah mengirim pesan ke benteng Utara, agar kau kembali."

Tersentak, Clavanth melupakan posisinya. Dia pamit untuk ke benteng Utara, tapi yang sebenarnya terjadi adalah dia pergi ke kastil Elzafra.

"Aku ..."

Levios menarik paksa cengkraman tersebut, tanpa penjelasan pun dia tahu. Kalau adiknya telah berbohong, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya semakin terlihat bodoh. Tidak bisa menjaga ayahnya, pun dibohongi adiknya. Percuma, semua seolah sia-sia, pengorbanannya untuk mengambil darah Jhoan Nieve Diavolo sudah tidak berarti. Dia nyaris mati melawan penjaga yang melindungi makam tersebut demi mendapatkan obat untuk ayahnya, kini seolah lenyap tersapu bagai pasir tersiram.

Ia menyeret langkah menuju Darick, adiknya yang tengah sekarat. Lukanya cukup parah, Levios harus segera menyelamatkan. Dia berlutut, lantas meletakan telapak tangannya di atas dada Darick. Mulutnya menggumamkan sesuatu. Tidak berapa lama Darick membuka mata, mengerjap pelan menemukan kakak tertua ada dihadapan dirinya.

"Kak Levios, pemberontak ... Mereka ..."

"Hn, aku sudah tahu."

Levios melirik ketempat di mana ayahnya berbaring, Darick mengikuti arah pandangnya, lantas menunduk penuh rasa bersalah.

"Ini salahku, karena aku tidak terlalu kuat," lirihnya.

"Tidak, kau sudah berjuang keras untuk melindungi ayah."

The Curse Of Mahana (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang