Keturunan

572 41 13
                                    

Sudah lebih dari beberapa generasi semenjak kutukan itu dikumandangkan, tapi tidak ada satu pun keanehan yang terjadi. Setiap bayi yang terlahir selalu dalam keadaan normal tanpa ada keanehan apa pun, bahkan setiap pemimpin di pemukiman selalu melakukan pengawasan terhadap anak yang baru lahir hingga berumur sepuluh tahun, tapi tidak ada tanda-tanda kutukan itu terjadi. Mereka mulai mengendurkan peraturan yang ada, merasa kutukan yang dulu kaum kegelapan serukan, tidak lebih sebuah gertakan dan syarat untuk menakut-nakuti saja.

Perlahan mereka mulai melupakan. Tidak, lebih tepatnya abai pada kebenaran tentang kutukan tersebut. Mereka tidak lagi takut, tidak lagi waspada.

Kelengahan itu menjadi petaka yang tidak pernah mereka duga.

Malam itu, saat hampir seluruh penduduk bumi terlelap di dalam tidurnya. Gema teriakan pilu terdengar hingga ke penjuru, seperti lolongan serigala di bulan purnama. Lalu lenyap tak bersisa, meninggalkan kesunyian yang terasa begitu dingin dari biasanya.

Di malam yang sama, seorang anak laki-laki terlahir menyapa dunia. Disambut tatapan haru serta senyum suka cita. Bayi laki-laki yang sangat tampan dan berambut hitam kelam, sorot mata yang amat bercahaya, barangkali ketika dewasa dia tentu akan menjadi pujaan kaum hawa. Bibir mungilnya terus berseru berupa tangis bayi yang menyentuh hati sang ayah, pria yang kini tengah menggendongnya disertai gumpalan air menggenang di pelupuk mata.

"Terimakasih telah lahir, nak. Terimakasih." Ia berucap penuh haru seraya mengecup kening si mungil.

-

Julian Draxler, mereka memberi nama. Anak itu tumbuh cepat, meski memiliki ekspresi yang minim, tapi dia memiliki sisi ramah dan murah senyum. Seperti anak pada umumnya dia juga suka bermain, hanya saja Julian belum bisa keluar jauh dari rumah untuk mengelilingi pemukiman tempat dia tinggal. Julian biasa bermain di halaman rumah, dengan balok kecil yang bisa ia susun sesuka hati. Entah itu menjadi rumah, istana, kastil atau bahkan makhluk aneh. Bermain dengan imajinasi yang dimiliki. Orang tuanya pun tidak pernah melarang Julian untuk melakukan apa pun yang dia suka.

Julian yang belum pernah keluar rumah jelas merasa kesepian, kadang iri melihat anak seusianya bisa berlarian bebas bersama teman lain, mereka sering lewat di depan rumah. Dia heran, kenapa ibu atau ayah selalu melarang dirinya keluar, jangankan untuk pergi jauh, melewati pagar rumah saja Julian bisa di marahi habis-habisan.

"Aku ingin bertemu yang lainnya," gumamnya.

Lucian hanya menatap sendu anak semata wayangnya, dia tahu pasti anaknya begitu kesepian. Rasa bersalah selalu menyelinap ke dalam hati, mengurung anak sendiri bukanlah hal yang di inginkan seorang ibu mana pun, tapi Lucian tidak memiliki pilihan lain karena ini demi kebaikan Julian sendiri.

"Maafkan, Ibu, nak," lirihnya.

Semua berawal saat Julian masih berusia tujuh tahun, saat Lucian menemukan perilaku aneh dari anaknya. Lucian yang saat itu sedang memotong sayur untuk dimasak tidak sengaja mengiris jarinya, Julian sudah biasa menemani sang ibu memasak sambil membantu mencuci sayur atau ikut menyiapkan bumbu dapur. Dia mendekat ketika mendengar ibunya meringis. Luka di jari Lucian memang tidak dalam, tapi darahnya tidak juga berhenti terus merembes keluar, bahkan setelah ia mencucinya sekali pun.

"Ibu, kemarikan jarimu." Nada itu terdengar dingin.

Lucian tidak menaruh rasa heran apa pun sebelumnya, menyodorkan begitu saja. Namun, ada yang aneh dengan tatapan putranya dan entah sejak kapan mata hitam Julian berubah merah.

"Nak, ada apa dengan mata-"

Belum selesai Lucian mengutarakan pertanyaannya, Julian sudah menjilat darah di jarinya. Irisan pisau itu hilang, darah tak lagi mengucur dan Julian hanya mengusap sisa darah yang mengalir di sisi jari Lucian dengan tangannya lalu menjilatnya kembali. Lucian membeku, reflek dia membekap mulut tanpa ia sadari air mata sudah meleleh.

The Curse Of Mahana (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang