Mati

41 5 0
                                    

"Dia ... dia menangis darah."

Iris merah Julian menghujam, sedetik kemudian tubuhnya telah berpindah dengan tangan yang menembus perut orang tersebut hingga mati di tempat. Mereka kembali mundur, ngeri sendiri melihat bagaimana Julian membunuh seseorang dalam sekali serang.

"Kenapa mundur? Bukankah kalian ingin membunuhku?" Di balik telapak tangan yang berlumur darah Julian menyeringai, luka di sekujur tubuhnya perlahan sembuh, lidahnya terjulur menjilat darah segar yang mengotori tangan. "Kemari, datanglah. Kita berduel hidup mati."

"Julian sudah gila," gumam Font.

Mereka tercekat, kilat merah dari mata Julian kian pekat seolah memotong tubuh mereka secara tidak langsung, setiap menitnya mata itu kian kelam, memburu penuh dendam.

"Julian? Kalian pikir setelah apa yang baru saja terjadi, masih belum cukup menyadarkan kalau Julian sudah mati?" Nada yang keluar begitu rendah, terasa mencekam untuk sekedar didengar.

Mereka meneguk ludah, sosok di depan sudah tak terlihat seperti manusia, tapi layaknya malaikat pencabut nyawa. Air muka penuh keputusasaan, frustasi menenggelamkan sisi kemanusiaannya, tersisa sedikit celah di sudut sanubari Julian, setitik cahaya yang menjadi harapan terakhir sebelum semuanya sirna.

"Maju, ayo, kita selesai semuanya!"

Kilatan petir hitam menyambar di sekeliling Julian, menimbulkan percikan api hitam yang dingin. Udara yang terhirup seolah beku, menyesakan dada mereka yang kian gemetar di tempat.

"Kalau pun aku harus mati, setidaknya aku membalas kematian Ghilbas dan kedua orang tuaku," batinnya berbisik.

Cukup sulit mengendalikan kekuatan yang baru Julian dapatkan, bisa saja kekuatan itu yang akan membunuhnya sendiri, tapi semua sudah tidak lagi berarti. Mati atau pun hidup Julian sudah tidak memiliki tempat untuk pulang, semuanya sudah lenyap.

Namun, kekuatan itu menghilang seketika-- sekaligus memberi napas lega bagi mereka yang nyaris tak mampu menghirup setitik pun udara-- saat pendengaran Julian menangkap suara seseorang yang Ghilbas titipkan padanya. Sheerlyn datang, wajahnya kalut berhiaskan kekhawatiran yang terlukis jelas di wajah ayu gadis tersebut.

"Sheerlyn."

"Kak Ghilbas!!"

Sheerlyn melewati Julian begitu saja, dia membawa diri pada tubuh beku milik Ghilbas. Kali ini Julian yang tercekat, melihat Sheerlyn menangisi jasad kakaknya, seseorang yang telah mengorbankan diri untuknya. Tidak sanggup rasanya untuk sekedar memandang bahu yang kini bergetar hebat oleh kesedihan.  Julian kaku, tidak ada yang bisa dia perbuat bahkan untuk menenangkannya pun dia tidak sanggup.

"Maaf," lirihnya.

"Kak Ghilbas bangun, kak bangun. Ini Sheerlyn, kau bilang akan menyusulku, kak bangun, kumohon," racau Sheerlyn tak kuasa menahan isakan.

Ia membawa tubuh dingin kakaknya ke dalam pelukan, berharap suhu panas miliknya dapat menghangatkan tubuh kakaknya, membangunkan dia kembali. "Kak Ghilbas!"

"Kenapa kalian lakukan ini? Apa salah kakakku?!" teriak Sheerlyn frustasi.

"Karena dia melindungi monster!" tunjuk Jason dengan berang, tidak merasa bersalah bahkan rasa takut yang sempat singgah pun lenyap.

Julian yang ditunjuk terang-terangan hanya bisa menunduk, kini Sheerlyn pun tahu, semuanya sudah berakhir.

"Monster?" gumam Sheerlyn, dia menjatuhkan pandangan pada Julian. Tidak percaya pada apa yang didengarnya.

"Dia itu monster. Lalu kakakmu, Ghilbas ..." Jason menunjuk jasad Ghilbas di pelukan Sheerlyn. "Kakakmu bermaksud melindunginya. Apa kau juga akan melindunginya seperti orang bodoh sama seperti yang kakakmu lakukan?"

The Curse Of Mahana (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang